Selasa, 20 Juli 2010

We act Locally?

“Kelak, akan tercatat dalam sejarah dunia. Sebuah bangsa besar yang terletak di antara Samudera Hindia dan Pasifik, serta benua Asia dan Australia. Mereka menjadi kuli di negeri sendiri, menjadi budak bagi bangsa lain.” Demikian kutipan dari Ir Soekarno, Presiden RI pertama kita.

Mungkin perkataan Bung Karno di atas dapat benar-benar terjadi dalam sepuluh-dua puluh tahun ke depan. Saat kita tidak lagi memiliki sesuatu — yang saya lebih suka menyebutnya dengan “Tekno-Nasionalis Euforia”.

Seharusnya Malu

Beberapa waktu lalu, seseorang bernama Aaron Taylor Kuffner a.k.a Zemi17, seakan telah membuat ‘tamparan’ keras bagi generasi muda Indonesia. Pasalnya, ia telah membuat karya yang disebut sebagai GamelaTron. Apa itu?

“GamelaTron adalah koleksi dari instrumen musik milik Indonesia yang bernama gamelan. Kami menambahkan kata Tron mengacu pada gamelan versi elektronik yang mereka mainkan. Gamelan ini dijalankan oleh ‘lengan-lengan bermesin’ yang berjumlah 117 buah, ” seperti dijelaskan Zemi17 dalam situsnya.

Tugas dari lengan-lengan tersebut, yakni sebagai martil yang bekerja bersama lewat jaringan yang dikontrol dari komputer. Sebagai otak inti dari masing-masing instrumen yang mereka mainkan, sebuah mikroprosesor yang bisa menginteprestasikan sinyal musik dibenamkan di dalamnya.

Dilansir Reuters, sejak pertama diluncurkan tahun lalu, berbagai kota telah mereka satroni untuk mempertunjukkan orkestra unik ini. Termasuk New York, Pennsylvania dan Connecticut. Bahkan, robot gamelan ini sudah punya basis penggemar sendiri.

Sejak 2004 sampai 2006, Zemi17 telah tinggal di Indonesia. Ia fokus pada riset mengenai gamelan klasik di Yogyakarta dan Bali. Riset studinya ini berfokus pada dua hal yang menjadi akar dari Gamelan: Sekaten dari Jawa Tengah dan Slonding dari Bali.

Lalu ke manakah pemuda-pemuda Indonesia lainnya saat Zemi17 berkarya membuat GamelaTron ? Relakah kita bila ada ‘orang asing’ realitanya justru lebih cinta akan khasanah budaya kita? Ironis.

Tangisan Ibu Pertiwi

Nasionalisme. Apalah artinya, jika seorang warga negara justru lebih mencintai budaya asing, sementara budaya asli yang merupakan akar dari budayanya sendiri mati tergerus. Siapa yang tidak mengenal arti kata 12 huruf yang berbunyi N-A-S-I-O-N-A-L-I-S-M-E. Tanyakan pada guru PPKN atau PMP sewaktu kita duduk di bangku SD. Saya rasa kita sudah ‘kenyang’ dengan arti kata ini.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hedonisme diartikan sebagai pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup (KBBI, edisi ketiga, 2001). Secara umum para hedonis tersebut hanya berpikir pada hasil dan bukan proses.

Kedua hal ini mungkin tidak ada kaitannya secara langsung. Andai kedua hal ini dikaitkan, Anda mungkin bisa menjawab sendiri jika ditanya, porsi mana yang lebih besar antara nasionalisme vs hedonisme ini bagi pemuda-pemudi Indonesia.

Mungkin saat ini, ibu pertiwi sedang menangis merasakan greget nasionalisme bangsa ini tergerus oleh mesin-mesin ‘asing’ yang telah mencabut akar-akar budaya kita sendiri. Seolah membuat generasi muda kita lupa akan keagungan nilai budaya Indonesia, seperti gamelan, misalnya.

Tengoklah sekeliling kita. Tanyakan pada mereka dan diri kita sendiri, apakah masih peduli akan kekayaan budaya bangsa ini? Jawab secara jujur, apakah kita mengetahui keindahan nada-nada pentatonis macam pelog dan slendro?

Bagi beberapa dari kita yang berada di Jawa bertahun-tahun, apakah kita bisa memainkan melodi ensembel musik dari bonang, saron, rebab dan siter? Slenthem, gender, gambang dan demung? Jangankan bermain, tahu bentuknya saja tidak.

Semakin ironis karena muda-mudi kita lebih pandai menghentakan jari-jarinya pada keypad BlackBerry atau iPhone, dibanding menghentakannya untuk belajar Gamelan. Memainkan serta belajar menggunakan aplikasi-aplikasi baru, kita akui memang jauh lebih menarik daripada belajar budaya daerah.
Sentuhan Teknologi

Sore itu seorang teman, seorang mahasiswa di Bandung, mengirimkan email. Ia mendiskusikan mengenai pemanfaatan teknologi bagi kemajuan bangsa. Ia pun berkata kepada saya soal pidato Emil Salim, mantan Menteri Lingkungan Hidup di era Presiden Soeharto.

“Nusantara kaya dengan lautan, hutan tropis dan sumber daya mineral. Ketiganya merupakan potensi yang jika diberdayakan dengan sentuhan sains dan teknologi yang tepat dapat menjadi sumber keunggulan Bangsa Indonesia.” kata Profesor Emil Salim dalam pidatonya yang berjudul ‘Technology for Sustainable Development: The Case of Indonesia’, di Auditorium Campus Centre UGM, Jumat (19/6/2009).

Dari pidato tersebut, Profesor Emil membuat kesimpulan, bahwa masyarakat Indonesia, khususnya kalangan terdidik, harus kreatif dalam mengembangkan dan menginternasionalkan potensi lokal yang sebetulnya telah melekat dalam tradisi bangsa.

Sebenarnya banyak jalan untuk membangun bangsa ini melalui aplikasi teknologi. Sebut saja JENI, sebuah program yang dimiliki SUN Microsystem Indonesia untuk membuat aplikasi berbasis open source. Lihatlah tim dari bangsa ini yang menjadi juara International Robo Games yang digelar 12-14 Juni 2009 di San Francisco, AS.

Belum lagi maraknya kantong-kantong komunitas nasionalis, yang kini banyak bertebaran di Facebook, Twitter, Plurk, dan beberapa situs jejaring lainnya layaknya IndonesiaUnite!. Di Facebook, misalnya, telah banyak grup-grup yang bertujuan menggalang nasionalisme. Demi menumbuhkan rasa bangga sebagai bangsa. Sebut saja: Forum Komunikasi Peserta CETAK REKOR: Memerah Putihkan FACEBOOK.

Hal-hal di atas, walaupun kecil namun memiliki tujuan yang sama, yakni: menumbuhkan semangat nasionalisme. Seperti yang telah dicita-citakan para pendahulu kita. Inilah semangat terpenting yang harus ada, ditengah kompleksitas permasalahan bangsa ini.

Merdeka

Tulisan ini tidak ditujukan kepada kita agar mengubah diri secara frontal dan memojokan hal-hal tertentu. Tapi minimal kita harus berkaca pada diri masing-masing. Apa kontribusi kita bagi bangsa yang telah merdeka selama 64 tahun ini?

Mungkin kita bukanlah ahli dan pakar di bidang teknologi, atau seseorang yang dikaruniai IQ tinggi untuk mencipta sesuatu yang berguna bagi bangsa ini. Namun saya yakin kita semua pasti memiliki talenta, walaupun kecil. Nah, gunakanlah. Apapun posisi dan bidang pekerjaan, kita tetap harus produktif. Produktif demi kemajuan bangsa ini.

Dalam kesempatan ini, marilah kita ciptakan sebuah semangat, kegilaan, kebersamaan, serta produktivitas tinggi berbasis teknologi. Demi kemajuan bangsa ini. Merdeka!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar