Rabu, 21 Juli 2010

Melihat Model of Democracy ala David Held; Melihat Akomodasi Multikulturalisme dalam Demokrasi Kosmopolitan

“a form of government in which, in contradistinction to monarchies and aristocracies, the people rule… (and it) entails a state in which there is some form of political equality among the people” (David Held)

Secara garis besar, pokok-pokok pemikiran Held dalam buku Models of Democracy dikonsepkan dalam dua poin besar, yakni :

  1. aid to decision-making process: means to legitimate the decisions of those voted into power
  2. popular power: a form of life in which citizens are engaged in self-government and self-regulation

Held memaparkan ada 13 model demokrasi (10 model utama dan 3 varian) dari sekitar abad ke-8 SM sampai dewasa ini. Model itu dia beri label secara berurutan: Model demokrasi klasik, republikanisme protektif, republikanisme dan perkembangan, demokrasi protektif, demokrasi developmental, demokrasi langsung, dan akhir dari politik, demokrasi kompetisi elite, pluralisme, demokrasi legal, demokrasi partisipatif, demokrasi deliberatif, otonomi demokrasi, dan demokrasi kosmopolitan.

Di era global ini, Held memprediksi dan menawarkan model demokrasi kosmopolitan sebagai kelanjutan bentuk itonomi demokrasi. Skenario Held ini dipengaruh observasinya melihat prioritas ekonomi global dan pemain utama hubungan multilateral (G1, G7, G8) terhadap struktur politik global. Asumsi Held bahwa dalam dunia yang penuh dengan hubungan global dan regional yang semakin intensif, dengan "komunitas nasib" yang saling melengkapi, prinsip otonomi membutuhkan sebuah penegakan dalam jaringan-jaringan regional dan global maupun pemerintahan lokal dan nasional (hlm. 357).

Oleh sebab itu, menurut Held, pada tataran masyarakat ekonomi dan sipil sedang dan akan berkembang karakteristik penting, yakni munculnya solusi nonnegara dan nonpasar dalam organisasi masyarakat sipil (hlm. 358). Sedangkan di level pemerintahan, Held mencatat satu poin penting yakni perubahan permanen dari proporsi yang kapasitas kekuatan koersif negara-bangsa yang makin berkembang bagi institusi regional dan global (hlm. 360).

Beberapa Model Demokrasi

Held menuliskan model demokrasi ini ke dalam tigabelas model, meskipun akhirnya ia menemukan beberapa model tersebut ke dalam sepuluh model yang saling melengkapi. Pertama, model demokrasi klasik Athena, dimana model ini menempatkan sejarah awal demokrasi yang berasal dari kota di Yunani itu. Kedua, republikanisme protektif dan republikanisme perkembangan, yang merupakan proses wal berkembangnya persatuan antar-kota yang ada di Eropa menjadi sebuah negara republik. Ketiga, demokrasi protektif dan demokrasi developmental, dimana demokrasi ini menempatkan pengetahuan berpolitik bagi individu, dan bukan menyandarkan mereka pada perlindungan penguasa. Keempat, demokrasi langsung, yang menempatkan tiap individu memilih dan merealisasikan keinginan sesuai dengan apa yang mereka butuhkan. Kelima, demokrasikompetisi elite, yang berisi metode pwmilihan elite politik yang mampu mengambil keputusan yang diperlukan. Keenam, pluralisme, yaitu mementingkan kebebasan politik bagi minoritas. Ketujuh, demokrasi legal, yang mementingkan prinsip mayoritas yang mampu berfungsi dengan pantas dan bijak. Kedelapan, demokrasi partisipatif, yaitu sebuah hak yang sama pada kebebasan dan pengembangan diri yang dapat diperoleh dalam sebuah 'masyarakat partisipatif'. Kesembilan, demokrasi deliberatif, yaitu persyaratan kelompok politik yang dilakukan dengan kesepakatan warga negara yang bebas dan berdasarkan pada nalar. Kemampuan "justifikasi mutual", keputusan politik merupakan dasar utama untuk mencari permasalahan kolektif. Dan kesepuluh, otonomi demokrasi dan demokrasi kosmopolitan, demokrasi yang mementingkan kesetaraan dalam sebuah komunitas nasib yang saling melengkapi.

Sejalan dengan model demokrasi konsosiasional, David Held (2000) pun mengajukan model demokrasi kosmopolitan yang diyakini mampu mengatasi kebuntuan demokrasi liberal. Model demokrasi kosmopolitan lahir sebagai respon terhadap tantangan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang semakin plural bahkan tidak lagi mengenai batas-batas teritorial suatu negara. Sistem kekuasaan dipandang seperti suatu jejaring (network) yang saling terkait antarberbagai kelompok masyarakat dan bangsa. Jejaring kekuasaan ini meliputi seluruh institusi kekuasaan, baik di level suprastruktur maupun infrastruktur, institusi ekonomi, masyarakat sipil, dll. Demokrasi ini mengakui perbedaan-perbedaan kultural yang ada sebagai suatu kesetaraan, sehingga setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu dan sebaliknya secara bebas terlibat dalam mengembangkan kehidupan kultural masing-masing. Dalam perspektif demokrasi kosmopolitan, budaya merupakan sumberdaya yang perlu menjadi acuan dalam pengambilan kebijakan.

Pada praktiknya, model demokrasi kosmopolitan menganut sejumlah prinsip yang dapat diadopsi dalam perumusan kebijakan. Prinsip-prinsip tersebut adalah :

  1. Kapasitas untuk menentukan pilihan secara mandiri. Prinsip ini mengakui bahwa semua kelompok masyarakat (termasuk juga kelompok etnik) memiliki kapasitas untuk menentukan pilihan secara mandiri. Prinsip ini mengharuskan adanya komitmen terhadap otonomi dan pengakuan hak-hak dan kewajiban untuk menegakan hukum sebagai aturan main dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
  2. Adopsi terhadap prinsip-prinsip dan aturan main berdasarkan hukum yang berlaku. Hukum menjadi mekanisme untuk membatasi bentuk dan ruang lingkup tindakan individual maupun kolektif dalam berbagai institusi, baik pemerintah, pelaku usaha, maupun civil society. Untuk menjamin penegakan hukum, maka sejumlah standar pun ditetapkan agar ada kesetaraan bagi semua anggota masyarakat, sehingga jalan kekerasan untuk mencapai tujuan tidak dibenarkan.
  3. Perumusan peraturan dan penegakan hukum. Prinsip ini berlaku bagi setiap level institusi dan seluruh anggota masyarakat, sehingga bersifat non diskriminatif. Prinsip ini juga berlaku sebagai bentuk pengawasan dan pengendalian terhadap berbagai praktik penggunaan kekuasaan dan otoritas lembaga pemerintahan.
  4. Prioritas kolektif. Prinsip ini mendasari perumusan kebijakan agar setiap kebijakan yang dihasilkan dilandaskan pada skala prioritas yang mengacu pada kepentingan publik, yakni kepentingan sebagian besar kelompok masyarakat (bukan hanya kepentingan kelompok mayoritas). Penyusunan skala prioritas dalam agenda setting kebijakan publik perlu memperhatikan komitmen terhadap otonomi demokrasi sebagai landasan bagi keberlangsungan demokratisasi.
  5. Prinsip keadilan sosial. Prinsip mendasari pembuatan kebijakan sebagai mekanisme untuk menjamin distribusi sumberdaya-sumberdaya secara adil, menghindarkan eksploitasi sumberdaya untuk kepentingan sesaat atau kepentingan segelintir orang.
  6. Prinsip relasi non koersif. Demokrasi kosmopolitan menekankan penyelesaian konflik melalui manajemen konflik dan mekanisme resolusi yang berbasis governance, dengan melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan. Penggunaan paksaan hanya diperkenankan setelah seluruh mekanisme negosiasi tidak dapat dilakukan lagi. Namun, kekuasaan ini pun tetap diterapkan oleh institusi yang memiliki kewenangan legal untuk melakukan paksaan dan menjatuhkan sanksi.
  7. Keanggotaan lintas budaya. Melalui prinsip ini, demokrasi kosmopolitan memberikan peluang bagi setiap anggota masyarakat yang berbeda-beda dapat saling berinteraksi bahkan dapat menjadi anggota dari berbagai organisasi yang beragam, tanpa memandang asal etnisitas, ras, agama, atau ideologinya. Keanggotaan organisasi kemasyarakatan bersifat terbuka, sehingga dapat memperluas akses partisipasi publik.

Ketujuh prinsip tersebut menegaskan bahwa multikulturalisme dan demokrasi menjadi dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan dalam merumuskan suatu desain kebijakan publik yang mengakui kesederajatan berbagai budaya. Demokrasi tidak mungkin hidup dalam sebuah masyarakat bila demokrasi tidak diserap ke dalam dan menjadi kebudayaan serta pranata-pranata sosial dari masyarakat tersebut. Begitu pula halnya demokrasi tidak mungkin hidup bila tidak didukung nilai-nilai budaya yang merupakan patokan bagi pedoman etika dan moral, baik secara sosial, legal, ekonomi dan politik yang berlaku pada tingkat individual maupun pada tingkat kemasyarakatan.

Prinsip demokrasi hanya mungkin dapat berkembang dan hidup secara mantap dalam sebuah masyarakat sipil yang terbuka, yaitu yang warganya mempunyai toleransi terhadap perbedan-perbedaan dalam bentuk apa pun. Adanya kesetaraan dalam derajat kemanusiaan yang saling menghormati, yang diatur oleh hukum yang berkeadilan dan beradab yang mendorong kemajuan dan menjamin kesejahteraan hidup warganya. Di antara prinsip-prinsip mendasar dari demokrasi adalah kesetaraan derajat individu dengan meniadakan hierarki sosial berdasarkan atas rasial, suku bangsa, kebangsaan, ataupun kekayaan dan kekuasaan. Kemudian adanya kebebasan (freedom), individualisme dan individualitas, toleransi terhadap perbedaan-perbedaan, konflik-konflik, dan adanya konsensus dalam proses politik; hukum yang adil dan beradab, dan prikemanusiaan.

2 komentar: