Rabu, 21 Juli 2010

TREN OUTSOURCING R&D DI NEGARA BERKEMBANG OLEH MNC’s; Meretas Optimisme Melalui MNC’s

‘ the time of absolute and exclusive sovereignity...has passed. It’s theory was never match by reality’ [1]

November tahun lalu, saat berlangsungnya pertemuan tingkat tinggi WTO (World Trade Organization), kota Seatle di Amerika Barat hampir berubah menjadi Jakarta. Polisi anti huru hara terlihat di setiap sudut kota, aktivis LSM anti-globalisasi berdemontasi meneriakan slogan, peluru karet dan gas air mata ditembakkan, kaca-kaca toko dan rumah makan hancur, para demonstran lari kocar kacir, yang tidak mampu lari ditangkapi. Untuk dua hari itu, suasana kota Seatle tidak lebih baik dibandingkan keadaan di Jembatan Semanggi Jakarta pada masa pemerintahan Habibie.

Alasan para demonstran menentang globalisasi bermacam-macam, yang jelas mereka menuduh globalisasi tidak demokratis, merusak lingkungan, mengurangi pekerjaan, menimbulkan pengangguran dan menghambat kenaikan gaji. Perusahaan mulitnasional asing yang meruapakan ujung tombak implementasi globalisasi mereka anggap perampok dan secara umum merusak ekonomi nasional.[2]

Globalisasi; Sebuah Jalan Kesejahteraan?

Era globalisasi tidak bisa terelakkan. Ia telah menelisik menjadi bagian dari kehidupan manusia dan menembus sekat budaya, agama dan geografis, menjadi satu lingkaran korporasi global. Dunia yang raksasa seakan menciut menjadi kecil tanpa penghalang apapun. Hal ini berlaku di bidang ekonomi, politik dan budaya.

Orang pun pecah dalam memandang dampak globalisasi. Tidak sedikit orang yang mengutuk globalisasi sebagai ancaman laten terhadap stabilitas pembangunan suatu negara. Mereka menganggap integrasi global sebagai bentuk penggerogotan terhadap kemakmuran, penghambat pembangunan, serta penindasan bagi yang lemah dan pengangkatan bagi yang kaya. Globalisasi seakan menjadi momok menakutkan yang harus diserang.

Ada sebagian yang memuji globalisasi sebagai sebuah era menuju kesejahteraan. Globalisasi ingin dijadikan sebagai sebuah kesempatan dalam meningkatkan perekonomian, dan memperbaiki pembangunan Integrasi global ingin dijadikan sebagai peluang emas untuk menggalang solidaritas global; membantu negara miskin untuk lebih maju dan mendorong negera berkembang. Beberapa tokohnya adalah Jagdish Bhagwati, Stanley Fischer, Thomas Freidmen, dan sederetan tokoh lainnya.

Martin Wolf dengan bukunya Why Globalization Work (2004) yang diterjemahkan dalam edisi Indonesia Globalisasi, Jalan Menuju Kesejahteraan ini termasuk dari deretan tokoh yang berasumsi positif terhadap globalisasi. Ia menganggap globalisasi sebagai peluang emas untuk meningkatkan kesejahteraan sebuah negara. Dengan pelbagai pengalaman empiriknya di bidang ekonomi internasional, ia melakukan pembelaan dan pemujaan terhadap globalisasi dan mengalihkan pelbagai asumsi negatif menjadi peluang emas yang harus segera direbut untuk mencapai kesejahteraan rakyat.[3] Anthony Giddens (1999) mengatakan bahwa globalisasi adalah kekuatan tak terbendung, mengubah segala aspek kontemporer dari masyarakat politik dan ekonomi. Hal ini adalah devinisi universal tentang globalisasi. Tetapi Martin Wolf lebih mengarah pada sisi ekonomi globalisasi. Globalisasi dalam hal ini tidak lebih adalah pergerakan bebas barang, jasa, buruh, dan modal secara integral atau istilah lazimnya adalah pasar bebas. [4]

Pasar bebas inilah yang oleh banyak antiglobalisasi diserang dan dihujat habis-habisan. Globalisasi dianggap sebagai roda penggerak perekonomian kapitalis yang akan mengantarkan negara kaya makin kaya dan negara miskin makin tercekik. Asumsi semacam ini bagi Martin Wolf sama sekali tidak benar. Bahkan Martin Wolf mengatakan bahwa orang yang mengatakan pasar sebagai virus pencipta kemiskinan dan kesenjangan sama sekali tidak tahu akan peta perekonomian global secara menyeluruh.

Karena pasar bebas dengan IMF dan Bank dunia sebagai anak kandungnya, dalam sepanjang perjalannya telah banyak membantu meningkatkan kesejahteraan bagi beberapa negara. Dalam hal ini Martin Wolf menyebut Cina dan India sebagai salah satu negara yang menjadikan pasar bebas sebagai peluang untuk meningkatkan kesejahteraan. Pada pertengahan tahun 1970 di India, saat itu Martin Wolf menjabat sebagai ekonomi senior divisi Bank Dunia untuk India, perekonomiannya lumpuh total. Berjuta orang terbenam dalam kemiskinan yang seakan tampa harapan. Lingkungan hidup mengancam.

Ketika itulah India mempunyai inisiatif untuk merevolusi; revolusi hijau yang mengubah produktifitas pertanian dan revolusi liberalisasi yang lebih mengutamakan pilihan kebebasan individu dan menghamba pada pasar bebas. Pelan-pelan India meninggalkan kekonyolan “raja pengontrol” pseudo Stalinis dan memeluk semangat usaha individual dan pasar. Hasilnya antara tahun 1980 dan tahun 2000, GDP riil perkapita India meningkat lebih dari dua kali lipat. Ini juga terjadi di Cina yang mencapai peningkatan kesejahteraan ekonomi lebih prestesius setelah meliberalisasi sistem perekonomiannya.[5]

Di samping itu juga, Martin Wolf menepis anggapan bahwa pasar bebas akan menciptakan ketimpangan. Para kritikus pesimis adanya ketimpangan dengan pasar bebas yang akan bergilr pada konflik global yang lebih akut. Malah justru sebaliknya bagi Martin Wolf, pasar bebas akan memperkuat solidaritas kemanusiaan global. Thomas Friedmen mengemukakan bahwa tidak ada dua negeri yang memiliki restoran McDonald pernah saling berperang. Sebuah penegasan bahwa negeri yang menganut pasar bebas, dengan McDonald sebagai simbolnya, tidak akan pernah terjadi konflik.

Pasar bebas adalah arena pertemuan yang lebih mengutamakan pilihan individual. Individu lebih aktif dan lebih bebas apa yang sejatinya ia pilih. Sehingga tidak ada paksaan, pengekangan dan penindasan. Yang ada adalah kemerdekaan tiap individu untuk memilih dan berkompetisi. Bukan berarti individu terlepas dari solidaritas kemasyarakatan, tapi bagaimana nilai-nilai kemasyarakatan itu terbentuk dari individu-individu yang merdeka dalam mimilih. Sehingga dengan pilihannya itulah masyarakat akan lebih mengetahuI bagaimana mengkondisikan pilihannya di tengah percaturan global.

Negara bukan berarti tidak ada kendali dalam pasar bebas. Ada hukum yang mengontrol kebebasan masyarakat dikendalikan oleh negara. Tapi bukan hukum yang dibuat dan diciptakan oleh penguasa. Hukum tersebut juga bisa menjerat penguasa. Artinya dalam hal ini harus ada sistem demokrasi konstitusional untuk berjalannya pasar bebas secara dinamis. Sebuah hukum yang mengotrol kebebasan individu dan mengotrol pemerintah. [6]

Globalisai dan MNC


Seburuk itukah citra perusahaan multinasional asing dan globalisasi? Data-data hasil penelitian di beberapa negara yang dilakukan OECD baru-baru ini menceritakan hal lain seperti dilaporkan majalah terkemuka The Economist. Data-data tersebut memberikan pandangan pertama kontribusi perusahaan-perusahaan asing terhadap ekonomi domestik nasional. Walaupun studi OECD tersebut dilakukan hanya terhadap negara-negara maju, tapi bukankah LSM yang paling kritis terhadap globalisasi di Seatle juga lebih banyak berasal dari LSM negara maju?

Tapi satu hal yang ditakuti oleh para anti-globalisasi yang mendapat pembenaran adalah bahwa perusahaan multinasional asing makin penting peranannya terhadap perkembangan ekonomi nasional suatu negara. Perusahaan multinasional asing memegang peranan besar dalam peningkatan produksi dan membuka lapangan pekerjaan baru di negara-negara OECD. Contohnya, dari data-data komparatif terakhir yang dapat dikumpulkan sampai dengan tahun 1996, perusahaan asing memghasilkan 15.8% dari total fabrikasi yang dihasilkan di Amerika, atau naik dari 13.2% pada tahun 1989 dan dari 8.8% pada tahun 1985. Perusahaan asing menciptakan 11.4% lapangan pekerjaan fabrikasi, naik dari 10.8% pada tahun 1989. Inggris, Swedia dan Kanada menunjukkan kecenderungan yang sama. Yang paling menonjol di Irlandia, perusahaan asing menyumbang 66% dari total produksi dan 47% lapangan kerja.[7]

Akan tetapi perusahaan multinasional asing tidak selalu dominan di semua negara, di Jerman dan Prancis misalnya mereka memberikan kontribusi yang hampir sama dengan perusahaan domestik nasional. Di Jepang, kekuatan ekonomi ke dua didunia, perusahaan asing masih sangat sedikit dan mereka hanya mempekerjakan 0.8% dari jumlah total lapangan kerja di Jepang. [8]

Burukkah bila perusahaan asing memegang peranan penting dalam ekonomi nasional ? Kenyataanya tidak demikian. Bukti pertama, dalam soal gaji, perusahaan asing membayar pegawainya lebih tinggi dibandingkan gaji rata-rata nasional. Di Amerika misalnya, perusahaan asing membayar 4% lebih tinggi pada tahun 1989 dan 6% lebih tinggi pada tahun 1996 dibandinngkan perusahaan domestik.[9]

Bukti ke dua, perusahaan asing menciptakan lapangan pekerjaan lebih cepat dibandingkan perusahaan domestik sejenis. Di Amerika, jumlah lapangan kerja yang diciptakan perusahaan asing mencapai 1.4% per tahun dari 1989 s/d 1996, bandingkan dengan 0.8% yang diciptakan oleh perusahaan domestik. Di Inggris dan Perancis, lapangan kerja di perusahaan asing naik 1.7% per tahun, sebaliknya lapangan kerja di perusahaan domestik malah menyusut 2.7%. Hanya di Jeman dan Belanda, perusahaan asing tidak banyak beda dengan perusahaan domestik[10].


Bukti ke tiga, perusahaan asing tidak segan-segan mengeluarkan biaya di bidang Pendidikan, Pelatihann dan di bidang Penelitian (R&D) di negara di mana mereka menanamkan investasinya. Jumlahnya mencapai 12% dari total pengeluaran R&D di Amerika. Di Perancis 19% dan mencapai 40% di Inggris. Bukti ke empat, perusahaan asing cenderung mengekspor lebih banyak dibandingkan perusahaan domestik. Tahun 1996, perusahaan asing di Irlandia mengekspor 89% dari produksinya, bandingkan dengan 34% yang dilakukan perusahaan domestik. Di Belanda perbandingannya adalah 64% dan 37%, Perancis 35.2% dan 33.6%, dan Jepang 13.1% dan 10.6%. Tapi keadaannya terbalik di Amreika, perusahaan domestik nasional mengekspor 15.3% dari total produksi mereka, sedangkan asing hanya 10.7%. Negara-negara miskin OECD menerima berkah lebih besar dari adanya investasi asing . Ambil contoh negara Turki, gaji pekerja perusahaan asing adalah 124% di atas rata-rata domestik nasional. Jumlah pekerja juga meningkat 11.5% per tahun dibandingkan dengan 0.6% rata-rata domestik.[11]

Tren R&D MNC’s di Negara Berkembang; Meriset kembali manfaat MNC bagi ekonomi dalam negeri

Salah satu tren dalam bidang inovasi belakangan ini adalah kecendrungan negara-negara maju seperti US, Jepang, dan negara-negara Eropa Barat mengalihkan departemen R&D dan upaya-upaya inovasi mereka ke negara-negara berkembang. Cina, India, dan negara-negara Eropa Timur menjadi tujuan utama pengalihdayaan (outsourcing) tersebut; dan negara-negara Asia lainnya (seperti Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Filipina) dan Afrika Selatan menyusul di belakang.[12]

Tentu itu merupakan sebuah tren yang cukup mengejutkan, mengingat sebelumnya proses atau aktivitas yang dialihdayakan umumnya bukan merupakan proses yang termasuk kompetensi inti perusahaan. Sedangkan R&D dan inovasi, seperti yang kita ketahui, sering dianggap sebagai kompetisi inti perusahaan.

Mengapa perusahaan di negara-negara maju bersedia melakukan hal tersebut? Katakanlah biaya R&D di negara-negara berkembang lebih murah, tetapi bukankah itu beresiko dalam jangka panjang terutama mengingat adanya kemungkinan kebocoron hasil-hasil riset karena infrastruktur perlindungan hukum hak cipta intelektual di negara-negara berkembang belum sesempurna di negara-negara maju?

Biaya, tentu saja, adalah salah satu alasan utama. Beberapa negara berkembang menawarkan insentif bagi perusahaan dari negara maju yang mendirikan pusat R&D di negara asalnya. Cina malah mengeluarkan peraturan yang mengharuskan perusahaan multinasional yang ingin mengakses pasar Cina harus membuka pabrik di negeri Tirai Bambu tersebut.[13]

Tetapi bukan hanya itu saja yang menjadi motor pendorong. Pendorong lainnya adalah kekurangan tenaga kerja ahli di dalam negeri masing-masing. Jumlah insinyur warga negara US tidak mencukupi kebutuhan dalam negerinya. Selain karena pergeseran demografis (semakin sedikitnya jumlah anak per penduduk dan semakin banyaknya jumlah manula), mahasiswa setempat kurang berminat masuk ke jurusan sains dan engineering. Sementara di sisi dunia lain, para mahasiswa dari India dan Cina justru berduyun-duyun masuk ke jurusan-jurusan sains dan engineering. Ketika sekolah-sekolah di US menghasilkan sekitar 250 ribu lulusan di bidang teknologi, Cina menghasilkan 650 ribu lulusan di bidang yang sama. Memang kita bisa memperdebatkan perbedaan mutu lulusan kedua negara, namun tidak semua pekerjaan riset membutuhkan lulusan dari sekolah terbaik. Selama pengetahuan dasar yang dibutuhkan mencukupi, pelatihan internal di perusahaan yang ditambah dengan on job training mampu menutupi kekurangan lulusan negara-negara berkembang tersebut.[14]

Alasan-alasan berikutnya bersifat strategis. Cina, India, Eropa Timur, dan beberapa negara Asia lainnya adalah pasar yang menjanjikan. Perusahaan multinasional yang masuk ke pasar-pasar tersebut segera belajar solusi yang dibuat untuk pasar global sering tidak cocok dengan kondisi lokal. Penduduk Cina, sebagai contoh, lebih menyukai software berbahasa Cina meski kemampuan berbahasa Inggris mereka cukup baik. Di India, masih banyak penduduk yang buta aksara sehingga perusahaan handset telepon genggam harus menciptakan handset khusus tanpa tulisan teks. Dalam upaya mengembangkan produk untuk kebutuhan lokal tersebut, perusahaan multinasional tersebut merasa perlu mengembangkan pusat R&D di daerah setempat.

Di samping itu, beberapa negara berkembang telah berhasil mengembangkan kemampuan khusus di bidang teknologi. India terkenal dengan keahlian sistem informasinya, Cina dengan pengembangan mobil-mobil kecil, dan Rusia dengan pembuatan pesawat terbangnya. Kemampuan kelas dunia tersebut menjanjikan pengembalian investasi R&D yang tinggi bagi perusahaan-perusahaan yang mampu memanfaatkannya.

Kemudian kompetisi yang semakin ketat membuat daur hidup produk semakin sempit. Produk-produk baru harus diluncurkan terus menerus tanpa henti. Untuk menghasilkan produk-produk baru dengan kecepatan tinggi, R&D perusahaan yang hanya bekerja 8-12 jam per hari sudah tidak mencukupi lagi. R&D harus bekerja 24 jam sehari! Untuk melakukan hal itu, pendirian R&D di beberapa negara adalah salah satu pilihan terbaik. Teknologi telekomunikasi dan Internet juga mempermudah koordinasi dan kolaborasi antar beberapa pusat R&D yang terletak berjauhan.

Tren lainnya yang bisa diamati adalah semakin canggihnya kegiatan R&D yang dipercayakan kepada negara-negara berkembang tersebut. Bila awalnya produk yang dikembangkan masih berupa produk-produk dasar yang tidak terlalu penting, saat ini riset-riset yang lebih canggih seperti pembuatan material baru sudah mulai dilakukan. Hak-hak paten sudah mulai mengalir keluar dari lembaga-lembaga R&D di India dan Cina.

Resiko tentu ada. Kompleksitas pengelolaan jaringan R&D yang menyebar di mancanegara membutuhkan kemampuan tambahan baru. Tetapi bagi perusahaan-perusahaan yang berhasil mengelola resiko dan kompleksitas tersebut dengan baik, mereka akan mendapatkan diri mereka berada di depan para pesaingnya.

Meretas Optimisme Bersama MNC; Sebuah Rational Optionkah?

Walaupun penulis tidak menemukan secara rinci data-data kuantitatif kontribusi MNC bagi perekonomian Indonesia, kontribusi modal asing dan keberadaan perusahaan asing di Indoensia terhadap perkembangan ekonomi Indonesia sangat besar, bahkan pada masa krisis moneterpun. Sebagai contoh adalah industri migas. Sejauh ini perusahaan asing hanya diberikan kesempatan untuk investasi langsung di industri hulu dalam bentuk PSC. Hasilnya sangat nyata, produksi minyak dan gas bumi dari lapangan yang dikelola langsung oleh perushaan asing atau yang berbentuk joint venture terus meningkat, sedangkan produksi minyak perusahaan nasional Pertamina sendiri malah menurun. Jumlah pegawai perusahaan asing PSC dan perusahaan jasa penunjang asing terus meningkat. Gaji dan fasilitas yang diberikan juga lebih baik dibandingkan gaji rata-rata pekarja perusahaan nasional. Beberapa perusahaan asing industri migas bahkan menjadikan Indoensia sebagai kantor pusat dan mulai meningkatkan investasi di bidang pendidikan, pelatihan dan penelitian, contoh perusahaan-perusahaan asing yang giat melakukannya adalah kelompok usaha asing multinasional Unocal, Caltex dan Schlumberger.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa perusahaan asing di samping menanam modal dan menciptakan lapangan pekerjaan baru, secara tidak langsung mereka juga membawa pengetahuan manajemen dan etika busines yang lebih profesional. Tuduhan bahwa globalisasi dan masuknya perusahaan multinasional asing merusak lingkungan juga tidak selalu benar. Sebagai contoh adalah pengelolaan hutan Indonesia yang selama 34 tahun dilindungi pemerintah dan hak kelola sumber daya hutan hanya diberikan kepada perusahaan domestik, ternyata malah merusak hutan dan lingkungan karena berbagai alasan, misalnya manajemen yang tidak profesional dan kasus-kasus KKN yang menyebabkan tidak efektifnya pengawasan dan pengendalian kerusakan lingkungan. Di lain pihak industri migas yang sudah lama mengalami 'globalisasi' malah tidak menimbulkan kerusakan lingkungan yang berarti.

Dengan fakta-fakta di atas, masih perlukah meragukan peranan perusahaan multinasional asing dan manfaat globalisasi? Mungkin para aktivis anti-globalisasi dan anti-asing perlu mengadakan penelitan mendalam sebelum turun ke jalan. Ataukah aksi mereka di Seatle hanya sekedar cari muka?

Tren ini, semoga bisa dimanfaatkan Indonesia juga. Semoga!

DAFTAR PUSTAKA

1. Berlian, Samsuddin, 2007. Globalisasi, Jalan Menuju kesejahteraan; Yayasan Obor Indonesia. Terjemahan dari Why Globalization Work oleh Martin Wolf

2. Giddens, A. 1990. The Consequence of Modernity. Cambridge: Polity Press

3. Ropelewski, Robert. 1995. “Boeing Keeps Sharp Focus on China”, Interavia Bussiness and Technology (November)

4. Stephen H (1976).The International Operation of International Firm; A Study of Direct Foreign Investment. (Cambridge, MA: MIT Press) dalam bahan kuliah Perusahaan Multinasional dalam Ekonomi Politik Internasional oleh Mochtar Mas;oed, 1997

5. “The Invanders are welcome?” The Economist, 8 Januari 2004

6. www.csrcampaign.org/why/default/aspx

7. http://www.oecd.org/document/36/0,3343,en_2649_34849_1962020_1_1_1_37467,00.html

8. www.libraries.rutgers.edu/rul/rr_gateway/research_guides/busi/company.shtml

9. http://www.rd.com.pk/values.html



[1] Quote oleh Boutros-Boutros Gali

[2] Disarikan dari www.kompas.com ; diunduh 12 Desember 2008

[3]Samsuddin Berlian, Globalisasi, 2007. Jalan Menuju kesejahteraan; Yayasan Obor Indonesia. Terjemahan dari Why Globalization Work oleh Martin Wolf

[4]Giddens, A. 1990. The Consequence of Modernity. Cambridge: Polity Press

[5] Ibid, hal 171

[6] Sebagaimana statement Stephen dalam Hymer, Stephen H (1976).The International Operation of International Firm; A Study of Direct Foreign Investment. (Cambridge, MA: MIT Press) dalam bahan kuliah Perusahaan Multinasional dalam Ekonomi Politik Internasional oleh Mochtar Mas;oed, 1997.

[7]The European Bussines Campaign ; Diakses dari www.csrcampaign.org/why/default/aspx

[9] “The Invanders are welcome?” The Economist, 8 Januari 2004

[10] ibid

[11] ibid

[14]Robert Ropelewski. 1995. “Boeing Keeps Sharp Focus on China”, Interavia Bussiness and Technology (November)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar