Rabu, 21 Juli 2010

MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS DAN FEMINISASI KEMISKINAN

Kemiskinan merupakan permasalahan global yang dipandang sebagai permasalahan kemanusiaan paling krusial. Arus globalisasi dan pesatnya perkembangan teknologi ternyata tidak berkorelasi positif terhadap penurunan jumlah masyarakat miskin di dunia.Ironisnya laju globalisasi tidak hanya meningkatkan jumlah masyarakat miskin di dunia melainkan juga kesenjangan yang semakin lebar antara penduduk kaya dan miskin. Pada tahun 2001 tercatat masih ada sekitar 800 juta masyarakat dunia yang kekurangan pangan dan di tahun 2005 UNDP mencatat sekitar 3 milyar orang di dunia hidup kurang dari US$ 2 per hari.[1] Oleh karena itu upaya pengentasan kemiskinan global kemudian menjadi agenda prioritas dalam kerangka kebijakan di banyak negara dan juga organisasi internasional, termasuk PBB.

Sebuah konsensus dalam kerangka Millennium Development Goals telah disepakati msyarakat internasional sebuah komitmen global. Pada tahun 2000, para pemimpin dari 189 negara sepakat untuk mengentaskan kemiskinan dengan mengadopsi UN Millennium Declaration pada 2000 Millennium Summit di New York, Amerika Serikat. Dalam deklarasi tersebut tercantum komitmen MDGs. MDGs terdiri dari 8 goals, 18 target, dan lebih dari 40 indikator dalam berbagai aspek pembangunan ekonomi dan sosial yang mesti dicapai oleh semua negara pada tahun 2015.[2] Dalam upaya pengentasan kemiskinan global, MDGs menargetkan upaya mengurangi setengah proporsi dari jumlah penduduk yang pendapatannya kurang dar US$ 1 per hari antara tahun 1990 dan 2015.[3]

Terlepas dari perdebatan bagaimana menentukan indikator kemiskinan dan tidak mengabaikan hasil yang telah dicapai melalui program-program dalam kerangka MDGs, menarik untuk dilihat apakah MDGs sebagai sebuah ”resep” untuk mengentaskan kemiskinan telah sesuai dengan apa yang diyakini kacamata. Paper ini akan membahas apakah MDGs akan mampu memecahkan masalah kemiskinan dunia. Namun untuk mengetahui hal tersebut tentunya kita harus melihat bagaimana kedua perspektif tersebut mendefinisikan penyebab dari masalah kemiskinan dunia.

Dimensi Feminis dalam Implementasi MDG’s di Indonesia

Dalam konteks pembicaraan kemiskinan global, Indonesia adalah laboratorium besar untuk menganalisis bagaimana penetrasi kepentingan global telah mengatur hampir semua dimensi kehidupan kebernegaraan. Globalisasi memperlihatkan 2 (dua) dimensi yakni, pertama dimensi ekonomi dan korporasi (economic and corporation globalization). Kedua, dimensi politik dan negara (political and state globalization).[4] Melalui mesin-mesin globalisasi di atas, negara-negara maju semakin memperkokoh hegemoni mereka untuk mengatur dan mengontrol sumber-sumber di dunia

Persoalan keperempuanan di Indonesia muncul ketika SAP, diadopsi oleh IMF dan Bank Dunia. Paket SAP diterapkan diberbagai negara dengan fokus memotong uang belanja publik untuk menyeimbangkan anggaran pemerintah dan hutang.[5] Dalam perspektif lain, Desai memberi argumentasi bahwa SAP telah mempengaruhi perempuan secara mendunia sebab pengaturan tersebut telah membuat peranan perempuan banyak berubah dari kemungkinan perempuan menjadi produser menjadi nonproduser, dan krisis yang diakibatkan diambil dari bantuan “dana sosial” yang mengakibatkan lagi keterpurukan perempuan.[6]

Kondisi ini diungkapkan oleh Bernard Andrew Mudho, seorang pakar independen PBB on human rights of structural adjustment policies and foreign debt yang menyatakan, terdapat fakta meyakinkan yang menunjukkan hampir semua kebijakan yang diambil negara-negara berkembang (developing countries) dalam menghadapi efek hutang luar negeri yang berakibat negative pada pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya rakyat karena mengandung syarat-syarat tertentu dari pihak pemberi hutang, telah mengakibatkan perluasan kemiskinan ketimbang menguranginya. Apa yang disebut dengan syarat-syarat oleh Mudho, seperti perubahan-perubahan kebijakan Negara yang mesti disesuaikan dengan agenda pasar bebas dan liberalisasi ekonomi – dengan impak semisal pencabutan subsidi atas pelayanan publik dan kebijakan privatisasi sektor-sektor kepentingan umum.[7]

Hak dalam melakukan pekerjaan terabaikan akibat kompetisi yang mengedepankan comparative advantages. Represi atas hak untuk membentuk dan bergabung dalam serikat buruh atas nama “global economy”. Hak setiap orang mendapatkan jaminan sosial (social security) akibat kebijakan privatisasi. Kebijakan pencabutan subsidi atas desakan globalisasi telah menyebabkan situasi menjadi amat sulitnbagi keluarga miskin untuk menikmati fasilitas kesehatan dan pendidikan. Selain itu, CESCR juga menilai potensi negatif dari perdagangan bebas yang didesakkan World Trade Organisation (WTO). Kebijakan Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) telah berdampak buruk pada keamanan pangan, pengetahuan penduduk adat, dan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan.[8] Lebih jauh, dampak globalisasi tersebut juga membentuk pola relasional berbasis gender yang tidak adil, yang salah satunya bersumber pada aksesibilitas sumber daya.

Analisis feminis dapat digunakan untuk membongkar pola relasi ketidakadilan tersebut. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender antara lain stereotype, dominasi, diskriminasi, beban ganda, dan kekerasan.[9]

Beralihnya fungsi pemerintah sebagai pemegang kewajiban pemenuhan social welfare menjadi tanggung jawab individu (self-care) berdampak marginalisasi kelompok-kelompok rentan seperti kelompok perempuan, kelompok anak, kelompok miskin, dan kelompok rentan lainnya.[10] Marjinalisasi ini dikarenakan kelompok rentan ini tersingkir tidak saja oleh kinerja prinsip daya beli menentukan jaminan penikmatan hak, tetapi juga oleh penghapusan jaring pengaman sosial.[11] Fenomena komodifikasi melalui mekanisme pasar layanan sosial mendasar seperti pendidikan, kesehatan, permukiman, air bersih, pangan yang kini terjadi merupakan bukti empiris marjinalisasi kelompok rentan. Kondisi ini diperparah dengan politik kebijakan anggaran publik yang menghilangkan subsidi layanan sosial mendasar dan subsidi lain yang dibutuhkan untuk menopang kehidupan warga negara. Doktrin neoliberal menganggap alokasi anggaran tersebut dianggap membuang sumber finansial secara cuma-cuma yang sebenarnya bisa dialokasikan ke sektor lain yang lebih menguntungkan dan berpotensi mengakumulasi peningktan keuntungan ekonomis.

Dampak sistem ekonomi neoliberal terhadap pengalaman perempuan dalam perspektif feminisme berbeda satu perempuan dengan perempuan yang lain. Oleh karenanya dalam menganalisis dampak tersebut harus berangkat dan merujuk dari pengalaman perempuan itu sendiri. Hal ini sesuai dengan nilai-nilai feminisme yang menitikberatkan pada pengetahuan dan pengalaman individu perempuan. [12]

Seiring dengan fenomena globalisasi, muncul feminisme global guna menjawab penindasan terhadap perempuan akibat dari kebijakan dan praktik-praktik globalisasi. Feminisme global menekankan bahwa penindasan terhadap perempuan di satu bagian dunia seringkali disebabkan oleh apa yang terjadi di bagian dunia yang lain.[13] Charlotte Bunch mengidentifikasi 2 (dua) tujuan jangka panjang feminisme global :

  1. Hak setiap perempuan atas kebebasan memilih, dan kekuatan untuk mengendalikan hidupnya sendiri di dalam dan di luar rumah. Memiliki kekuasaan atas hidup dan tubuh perempuan sendiri merupakan hal yang esensial untuk memastikan adanya rasa kebanggaan dan otonomi pada setiap perempuan
  2. Penghapusan semua bentuk ketidakadilan dan penindasan dengan menciptakan tatanan sosial dan ekonomi yang lebih adil secara nasional dan internasional. Hal ini berarti keterlibatan perempuan dalam perjuanagan kebebasan nasional, dalam perencanaan pembangunan nasional, dan perjuangan bagi perubahan di tingkat lokal dan global.[14]

MDGs Dalam Perspektif Feminis Liberal

Feminis liberal mengkritik globalisasi yang dianggap bertanggung jawab atas keadaan yang tidak equal, dengan kemiskinan dan ketidakseimbangan utara-selatan. Bentuk eksploitasi wanita ini dapat dilihat dari kebutuhan Malaysia akan tenaga kerja wanita dari Indonesia dan Filipina.

Dalam kaitannya dengan kebijakan luar negeri, feminis liberal melihat bagaimana rasionalitas pria kemudian membawa pada kebijakan decisive atas nama kepentingan nasional. Signifikansi lain feminis liberal pada hubungan internasional adalah bagaimana feminisme dapat meningkatkan tendensi perdamaian dan kooperasi karena pendekatan-pendekatan yang dibawa oleh feminisme yang jauh dari aplikasi kekerasan dan power yang dekstruktif.

Untuk memberikan fondasi kritik yang kuat, feminis liberal berusaha mendefinisikan untuk mendapatkan metode yang empiris. Feminis liberal menggunakan gender sebagai kategori teoretis untuk menyatakan bias dalam konsep hubungan internasional. Dalam perspektif ini, gender dimengerti bukan hanya pembedaan pria-wanita secara biologis namun lebih ke dalam konstruksi sosial yang asimetris tentang maskulinitas-feminisitas. Konsep feminis liberal dalam hubungan internasional sendiri tidak netral dengan inklusi gender secara murni, namun berasal dari struktur sosial politik dimana unsur hegemoni maskulinitas mengalami institusionalisasi.

Dalam level analisis konvensional, negara, individu, dan sistem internasional dipandang sebagai unit yang terpisah. Dalam pandangan feminis liberal, dekonstruksi feminis terhadap realis juga menyentuh masalah power karena feminis menganggap power sebagai suatu identitas yang kompleks dan yang membentuk personalitas khusus dan bukan akumulasi pengaruh oleh pandangan realis. Perspektif feminisme normatif tidak lagi melihat diskriminasi dalam bentuk oposisi biologis –pria dan wanita- ataupun pemikiran maskulin-feminin. Lebih jauh, feminis normatif melihat politik pengetahuan, yaitu bagaimana dan darimana posisi tertentu didapatkan dari suatu hirarki. Feminisme liberal memandang manusia terlahir dengan hak-hak yang sama, oleh karena itu mereka memperjuangkan hak-hak yang sama bagi laki-laki dan perempuan.

Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam perspektif feminis liberal hubungan gender terkonstruksi secara historis dan kultural, oleh karena itu tidak akan sama di satu tempat dengan tempat yang lain.[15] Namun setidaknya terapat satu penilaian yang sama bahwa batasan gender dan negara yang menjadi salah satu aktor utama dalam politik internasional telah ‘menyingkirkan’ perempuan dari kehidupan politik domestik dan internasional.[16] Maskulinitas telah mendominasi berbagai konsep dalam hubungan internasional serta mendominasi pembahasan tentang agenda kebijakan domestik maupun internasional.

Akibat dari dominasi maskulinitas tersebut, maka konsep-konsep utama yang sering digunakan dalam analisis hubungan internasional seperti kekuasaan (power), rasionalitas, keamanan, kedaulatan dan kepentingan nasional lebih bersifat androsentris.[17] Hal ini berdampak pada kebijakan yang berhasil diformulasikan dalam analisis tersebut lebih cenderung bersifat maskulin. Salah satu contoh adalah bagaimana perspektif realis yang mendominasi dalam teori hubungan internasional membuat power menjadi fokus utama dalam kebijakan internasional. Kepentingan nasional didefinisikan secara power centric dimana konsep kedaulatan dan keamanan tradisional menjadi prioritas utama dalam politik internasional. Untuk bertahan dari dunia yang anarkis maka setiap negara harus mampu berjuang (struggle for power) dengan mengandalkan kekuatan mereka masing-masing (self-help).

Menurut perspektif feminis liberal, rasionalitas yang dibangun oleh perspektif realis yang akhirnya mendefinisikan kepentingan nasional dan kedaulatan adalah kemampuan untuk mengatasi ancaman eksternal membuat kepentingan nasional diinterpretasikan sebagai interaksi yang bersifat exogenous dan bukan bersifat endogenous.[18] Hal ini mencerminkan bagaimana pandangan maskulin dalam melihat dunia sebagai tatanan yang anarki. Dalam perspektif feminis liberal, analisa tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa pengeluaran militer dunia menunjukkan peningkatan tajam.[19] Lalu apa hubungannya jika dikaitkan dengan konteks kemiskinan?

PBB dan seluruh badan-badannya menghabiskan anggaran sebesar $ 20 milyar per tahun untuk membiayai kegiatannya. Ini berarti PBB mengambil sekitar $ 3 dari setiap penduduk dunia. Jika kita bandingkan dengan pengeluaran militer dunia yang mencapai $ 1.118 milyar maka berapa banyak jumlah yang diambil dan dipergunakan untuk membangun persenjataan yang seharusnya bisa didistribusikan kepada penduduk dunia untuk mengurangi jumlah masyarakat yang berpendapatan kurang dari $ 1 per hari. Data lain menunjukkan pada tahun 1998 jumlah pengeluaran militer dunia sebesar $ 780 milyar sedangkan jika dibandingkan dengan pengeluaran di sektor sosial di seluruh negara berkembang hanya sekitar $ 40 milyar (UNDP,1998). Di Amerika Serikat sendiri pada tahun 2006 total pengeluaran untuk anggaran militer dan perang mencapai 41% dari keseluruhan budgetnya. Sedangkan budget yang dialokasikan untuk mengatasi kemiskinan hanya mencapai 12% dari jumlah keseluruhan.[20]

Di sisi lain feminis liberal melihat bahwa perempuan selalu menjadi korban termasuk dalam konteks kemiskinan. Melihat dari komposisi penduduk dunia dimana jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari laki-laki, dari sekitar 1 milyar penduduk dunia yang berpendapatan kurang dari $ 1 per hari sebagian besar merupakan perempuan. UNDP mencatat sekitar 60% dari jumlah pekerja untuk keluarga yang tidak dibayar adalah perempuan.[21] Aktivitas ekonomi yang berkembang sampai saat ini membuat pembagian antara aktivitas produktif yang sebagian besar didominasi laki-laki sedangkan peran perempuan dalam aktivitas domestik lebih banyak diabaikan dan dianggap tidak produktif secara ekonomi. Bahkan perempuan dibayar 20-50 % lebih rendah daripada laki-laki jika dibandingkan dalam pekerjaan yang sama.[22] Oleh karena itu kapitalisme global juga memiliki peran dalam membuat perempuan menjadi korban dalam pembangunan.

Structural Adjusment Program (SAP) yang diusung oleh lembaga multilateral seperti IMF juga membawa dampak yang memberatkan terutama terhadap kelompok perempuan.[23] Kebijakan SAP mensyaratkan pemotongan berbagai pembiayaan dan subsidi sosial. Hal ini berdampak negatif bagi perempuan terutama di negara berkembang yang biasanya di tangan merekalah beban untuk memenuhi kebutuhan sosial keluarga harus terpenuhi. Tanggung jawab seorang ibu termasuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan lainnya bisa terpenuhi. Jelas dampak bagi perempuan jika negara memotong subsidi di sektor sosial akan menyulitkan perempuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut bagi keluarganya.

Mulai tahun 1970-an gerakan feminis ini mulai mendapat tempat baik di dalam proses pembuatan kebijakan maupun perkembangan gender mainstreaming dalam pembuatan kebijakan publik. Beberapa konsep emansipasi dalam pembangunan seperti Women in Development (WID) maupun Gender and Development (GAD) telah banyak dipakai meskipun belum mewujudkan kondisi yang ideal. Kebanyakan upaya tersebut hanya mengakomodasi hak-hak perempuan dan kesetaraan gender sebagai nilai dalam pembangunan. Selama ini hanya kelompok feminis liberal yang banyak berpengaruh dalam gerakan emansipasi tersebut. Perjuangan mereka hanya sebatas agar wanita mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki, sedangkan masalah konstruksi gender secara historis dan kultural tidak menjadi perhatian oleh kelompok ini.

MDGs merupakan instrumen yang cukup feminis dalam mengatasi masalah kemiskinan dunia. Prinsip charity yang secara eksplisit termuat dalam komitmen MDGs mencerminkan pendekatan yang jauh dari nilai-nilai maskulinitas. Dalam komitmen tersebut masalah kemiskinan tidak ditangani dengan cara self-help maupun persaingan diantara aktor internasional melainkan membutuhkan kedermawanan. Pendekatan yang melihat upaya mengatasi kemiskinan sebagai bentuk kedermawanan memang sangat menonjol meskipun tidak dominan.[24]

Mencantumkan “Promote gender equality and empowerment of women” (goal 3) dalam salah satu tujuan MDGs merupakan kulminasi dari advokasi dan aksi yang dilakukan oleh gerakan perempuan dunia selama bertahun-tahun. Prioritas terhadap upaya promosi kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan merupakan upaya untuk mengakomodasi hak-hak perempuan dan kesetaraan gender sebagai nilai dalam pembangunan.[25] Tidak hanya itu, tujuan MDGs lainnya seperti mengurangi tingkat kematian anak dan meningkatkan kesehatan ibu juga merupakan bentuk upaya mewujudkan equal oportunities bagi perempuan. Selama ini bagi kelompok feminis liberal tanggung jawab menjaga dan memelihara anak (childcare) dianggap membebani perempuan dan mampu menghambat perempuan untuk memperoleh kesempatan yang setara dengan laki-laki. Oleh karena itu perempuan menuntut pembagian peran dan tanggung jawab yang sama dalam keluarga serta peran negara untuk menyediakan childcare facilities.[26]

Dengan demikian MDGs merupakan konsep dan upaya penanggulangan kemiskinan yang dinilai cukup feminis paling tidak bagi kelompok feminis liberal. Feminisme dalam MDGs tidak hanya tercermin dalam tujuan-tujuan yang tercantum di dalamnya tetapi juga pendekatan yang digunakan untuk mengatasi masalah kemiskinan dunia. Namun demikian, bagi kelompok feminis lain MDGs belum bisa mengatasi permasalahan gender terutama secara historis maupun kultural.



[1] Haris-White, Barbarra Poverty and Capitalism, December 2005, http://www3.qeh.ox.ac.uk/pdf/qehwp/qehwps134.pdf

[2] Delapan tujuan dari MDGs meliputi: mengentaskan kemiskinan ekstrim dan kelaparan; mencapai pendidikan dasar universal; mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; mengurangi tingkat kematian anak; meningkatkan kesehatan ibu; memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya; menjamin kelangsungan lingkungan hidup; mengenbangkan kemitraan global untuk pembangunan.

[3] Haris-White, Barbarra Poverty and Capitalism, December 2005, http://www3.qeh.ox.ac.uk/pdf/qehwp/qehwps134.pdf

[4] M. Ridha Saleh, Ecoside : Politik Kejahatan lingkungan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Jakarta,

Walhi, 2005, hal. 50

[5] Gadis Arivia mengutip Wiegersma dalam Feminisme Global : Melokalkan yang Global,

Mengglobalkan yang Lokal, Kompas 20 Desember 2002

[6] Gadis Arivia mengutip Desai, ibid

[7] Lihat A. Patra M. Zen, Tak Ada Hak Asasi yang Diberi, Jakarta, YLBHI, 2005, hal. 9

[8] ibid, hal. 26

[9] Rio Ismail, Risma Umar, Titi Soentoro, Suara Mayoritas yang Samar : Studi tentang Respon Partai

Politik terhadap Kepentingan Perempuan Menjelang Pemilu 2004, Jakarta, Solidaritas Perempuan,

2004, hal. 13 – 21

[10] Komite PBB untuk Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya mengidentifikasi kelompok rentan sebagai berikut : petani yang tidak memiliki tanah, pekerja di desa, pengangguran di desa, pengangguran di kota, kaum miskin kota, anak-anak, usia lanjut, dan kelompok khusus lainnya. Lihat Asbjorn Eide, Hak Atas Standar Hidup yang Layak Termasuk Hak Pangan dalam Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya: Esai-Esai Pilihan, Ifdhal Kasim dan Johanes da Masenus Arus (ed.), Jakarta, 2001

[11] B. Herry Priyono dalam Keretaku Tak Berhenti Lama : Globalisasi: Peluang dan Hukuman, op.cit

[12] Nilai-nilai feminisme pada prinsipnya mencakup nilai-nilai yang mencakup : pengetahuan dan pengalaman personal; rumusan tentang diri sendiri; kekuasaan personal; otentitas; kreativitas; sintesis; personal is political (diri sendiri bersifat politis); kesataraan; hubungan sosial timbal balik; kemandirian ekonomi; kebebasan menentukan orientasi seksual; kebebasan reproduksi; identifikasi diri pada perempuan; perubahan sosial; dan berkekuatan politik dalam masyarakat. Lihat Arimbi Heroepoetri & R. Valentina, Percakapan tentang Feminisme Vs Neoliberalisme, Jakarta, debtWATCH Indonesia dan Institut Perempuan, 2004

[13] Lihat Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif Kepada Arus Utama Pemikiran Feminis, Yogyakarta, Jalasutra, 2005, hal. 330

[14] Charlotte Bunch dalam Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought, ibid

[15] Jacqui True, ‘Feminism’, in Scott Burchil, Scott, Richard Devetak, et all, Theories of International Relations. Basingstoke: Palgrave. p. 237-238.

[16] Ibid, p. 237

[17] Ibid, p. 254

[18] Ibid, p. 255

[19] Dalam laporan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) mencatat jumlah pengeluaran militer dunia pada tahun 2006 mencapai $ 1.118 milyar, senilai dengan 2,5% GDP dunia .

Sumber Friends Committee on National Legislation, February 15, 2007 dalam Anup Shah, World Military Spending, http://www.globalissues.org/Geopolitics/ArmsTrade/Spending.asp.

[20] Sumber Friends Committee on National Legislation, February 15, 2007 dalam Anup Shah, World Military Spending, http://www.globalissues.org/Geopolitics/ArmsTrade/Spending.asp.

[21] Sumber UN, The Millenium Development Goals Report 2007, New York http://www.huwu.org/ millenniumgoals/pdf/mdg2007.pdf

[22] Gill Steans, Gender and International Relations: An Introduction, Polity Press: Cornwall, 1998, p. 136.

Ibid, p. 142.

[23] Ibid, p. 142.

[24] Muhadi Sugiono, Kemiskinan, Konsep, dan Pendekatan, makalah dipresentasikan dalam seminar tentang ’Kemiskinan Global’, dalam Diplomatic Course V Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fisipol, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 17 Maret 2006.

[25] Steans, op. cit. p. 17.UNDP, Millenium Development Goals: National Reports A Look Trough Gender Lens, May 2003., p. 2.

[26] Steans, op. cit. p. 17.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar