Kamis, 22 Juli 2010

Aren’t I The Lucky Ones?

Saya bertumbuh di tengah keluarga yang hangat. Saya, dan kedua adik perempuan saya memang tidak hidup dalam materi berlebih, namun kami mensyukuri limpahan hal penting lain, yang buat kami lebih dari sekedar materi. Bapak adalah satu-satunya laki-laki yang kami kenal di rumah. Sedikit berbeda dengan teman-teman kami yang lain, kami “dipaksakan” untuk menjalani aktivitas dengan terencana. Pulang sekolah sekitar jam 11 siang, kami punya jam bermain sampai jam satu, selepas itu kami harus tidur siang, jam 3 kami memulai untuk melakukan aktivitas yang lain, mengaji dan les bahasa Inggris. Kadang kami iri dengan teman-teman sebaya kami,tapi melihat apa yang kami dapatkan sekarag, kesempatan dan harga manis yang kami peroleh sekarang, tidak ada yang kami syukuri selain bapak yang sangat berkorban untuk kami.

Kami berhasil menjalani masa sekolah, masa SMA dan masa SMP di sekolah favorit di kota ini. Saya dan adik tertua saya alhamdulilah berkesempatan mengenyam pendidikan di Universitas Negeri terbaik di kota ini. Dan itu semua karena kerja keras orangtua kami. Kadang kami berfikir orangtua kami terlalu kolot, tapi itu dulu. Ketika kami masih belum bisa mengejawantahkan dengan baik cara kami disayangi dengan sangat special oleh kedua orangtua kami. Bapak yang berkantor jauh di ujung kota sana selalu memiliki waktu untuk mengantar dan menjemput kami dari kegiatan les kami. Bapak selalu memiliki energy berlebih untuk kami.

Satu hal yang saya pelajari dari bapak adalah konsistensi dan keteladanan. Hal tersebut yang kemudian membentuk kami, untuk menjadi anak yang mengerti pentingnya merencanakan semua hal, dan menyenangkannya untuk menjadi anak manis yang berjalan dalam koridor relijiusitas yang moderat. Kami tahu, selelah apapun bapak dengan pekerjaannya, bapak tidak akan tidur sebelum kami selesai belajar. Kami selalu belajar dengan bapak dan ibu di samping kami, menunggui kami dengan sabar. Itu juga yang pada akhirnya membuat kami tahu diri. Bahwa nilai raport yang baik adalah hal yang selalu ditunggu bapak setiap enam bulan sekali. Kami selalu ingin bapak dan ibu tersenyum setiap kali wali kelas kami membagikan raport kepada mereka.

Bapak tidak pernah marah dengan meledak-ledak, bapak hanya mendiamkan kami. Dan buat kami kemarahan bapak yang seperti itu jauh lebih membuat kami tidak nyaman. Pernah bapak marah kepada kami bertiga karena kami memilih untuk menonton film daripada membantu tetangga yang sedang memiliki hajat. Saya ingat bapak membelikan saya komputer sebagai hadiah kelulusan SMP saya. Betapa malu kami dengan bapak pada waktu itu. Di tengah lingkungan rumah kami, bapak disegani karena jujur, tidak banyak bicara, tetapi tulus membantu. Bapak hanya akan absen meronda jika encoknya benar-benar tidak tertahan. Bapak tidak akan berfikir dua kali untuk mendonorkan darahnya buat siapa saja yang memungkinkan dibantu. Satu yang saya ingat, bapak baru saja pulang dari tugas di Bali waktu itu, dan bapak langsung bergegas berangkat ke rumah tetangga untuk memasangkan lampu untuk membantu penerangan tetangga yang membutuhkan.

Di rumah, kami memiliki beberapa kursi lipat, bapak sendiri yang membelinya. Kursi itu dipinjamkan untuk tetangga yang membutuhkan. Dan sepeser pun bapak tidak pernah meminta uang sewa. Katanya, motivasinya sangat sederhana: Biar dicatat sebagai amal, biar sama gusti diganti dengan dimudahkan jalan anak-anakku mendapat masa depan yang lebih baik.

Ibu adalah perempuan kuat dan berkarakter dalam pandangan saya. Sulit bagi saya membayangkan ibu dengan latar belakangnya pada waktu itu, mau menjadi istri PNS golongan bawah. Setelah beranjak dewasa dan tahu biaya les untuk kami tidak murah, saya baru mengerti bahwa ibu sangat cermat mengelola gaji bapak agar cukup untuk memenuhi semua kebutuhan kami. Ibu tidak seperti ibu muda lainnya yang up date terhadap gaya pakaian terbaru. Ibu lebih memilih kami berbahasa Inggris dengan lancar daripada sekedar berganti-ganti baju setiap arisan RT. Ibu sangat kreatif membuat mahar, dan untuk orang-orang sekampung, ibu membuatkannya dengan iklas, tidak meminta apapun.

Saya memang senang menulis sejak kecil. Berbagai lomba saya ikuti. Ketika Sekolah Dasar, bapak yang mengetikkan karangan yang saya buat. Semenjak SMP saya memang beberapa kali mendapatkan hadiah dari lomba menulis. Pada waktu saya SMP memang lomba menulis tidak sebanyak ketika saya duduk di SMA. Beranjak SMA saya mulai terbiasa membeli barang-barang yang saya inginkan dengan uang hadiah lomba. Lebih dari itu, saya mensyukuri banyaknya kesempatan yang datang kepada saya lewat kemenangan-kemenangan tersebut. Beberapa universitas meminang saya untuk menjadi mahasiswa, namun ketika itu Gadjah Mada masih menjadi harapan besar untuk saya.

Beranjak kuliah, tidak ada yang banyak berubah dari diri saya. Bapak tetap saja bapak yang selalu mengingatkan saya untuk tidak bepergian diluar aktivitas kuliah selain hari jumat sabtu dan minggu. Bapak masih saja terus meng update jadwal ujian saya, dan terus saja memantau IPK saya. Itu pula yang membuat teman-teman saya heran, katanya mereka terbiasa membicarakan kuliah hanya pada saat meminta uang semesteran.

Adik pertama saya adalah anak bapak yang memiliki “sense of art” yang paling tinggi. Dia sangat berbakat menggambar, bermain musik, dan menari. Adik saya menari untuk sendratari Ramayana. Dia sangunis melankolis di keluarga kami. Tenang, namun tetap fokus pada tujuan.

Melihat apa yang dilakukan adik bungsu saya sekarang ini, saya seperti dejavu dengan apa yang saya kerjakan di masa-masa SMA saya. Ririn seperti memiliki kekuatan yang tidak pernah habis untuk mengerjakan apa yang dia yakini penting untuk dia kerjakan. Ririn sangat menyukai dunia jurnalistik. Ketertarikan saya dengan ririn memang dalam bidang yang tidak jauh berbeda dengan saya. Mata Ririn tidak lepas dari channel TV 1 dan Metro TV. Ririn mengawali mimpinya dari usia yang masih sangat-sangat muda. Dan Tuhan menghadiahinya sederet kejuaraan lomba menulis atas kerja keras dan konsistensinya. Saya luar biasa bangga dipercaya oleh Tuhan untuk memiliki Ririn sebagai adik saya. Tidak masalah buat saya banyak orang yang memanggil saya, “Mbaknya Ririn”. Bahkan ketika saya berkumpul dengan teman-teman saya, ada gurat kekecewaan yang saya baca dari mereka ketika mereka bertanya, “Ririn mana? Kok ga diajak?”

Ririn adalah “Miss Good Planner”. Sangat disiplin,perfeksionis, keras, dan prinsipil. Saya banyak belajar dari ririn untuk bekerja dengan totalitas. Di tengah aktivitas menggunungnya sebagai anggota FKPO Dinas Pendidikan Propinsi DIY, Kontributor untuk rubrik Muda Kompas, News Anchor di salah satu TV lokal di DIY, Ririn masih mendapatkan peringkat Big Five, bukan dikelasnya tetapi di Sekolahnya.

Status facebooknya hari ini adalah, being alone makes me grow , so what am I afraid of ?Menurut analisa saya, tanpa bermaksud melebihkan, tidak sulit untuk ririn menjalani masa-masa cinta monyet sebagaimana teman-temannya kebanyakan. She’s quite loveable. Smart Idea, Humble, Good Looking...Tapi apa jawabnya? Oalah mbak, gak usah pasang status in a relationship juga aku ini udah eksis plus heboh kok di facebook, hehe. I’d love your joke sistaaa….

Dengan keluarga yang hangat, adik-adik yang manis yang sangat membantu saya untuk membahagiakan orangtua kami, apalagi alasan saya untuk tidak bersyukur, Thank’s God for a whole Happy life I’ve got….Alhamdulilah….


Tidak ada komentar:

Posting Komentar