Rabu, 21 Juli 2010

Mengenal Peace Generation; Mengenal Damainya Pemuda Pluralis Memfilsafati Multikulturalisme

Pluralisme adalah faham yang memberikan ruang nyaman bagi paradigma perbedaan sebagai salah satu entitas mendasar kemanusiaan seorang manusia. Sedangkan Parsudi Suparlan (2001) mengatakan multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengagungkan perbedaaan kultur atau sebuah keyakinan yang mengakui pluralisme kultur sebagai corak kehidupan masyarakat.
Multikulturalisme akan menjadi jembatan yang mengakomodasi perbedaan etnik dan budaya dalam masyarakat yang plural. Perbedaan itu dapat terakomodasi dalam berbagai dimensi kehidupan, seperti dunia kerja, pasar, hukum, ekonomi, sosial, dan politik. Dengan demikian, pemahaman bahwa penempatan perbedaan antarindividu, kelompok, suku, maupun bangsa sebagai perspektif tunggal merupakan sebuah kesalahan besar.

Mengapa Harus Lahir Pemuda Pluralis di Negeri Ini?
Jika kita memiliki pemimpin yang menghargai keberagaman (multikulturalismeI) maka kita dengan sendirinya akan beruntung. Tetapi jika kita mengutamakan keberagaman, maka mau tidak mau kita menyimpang dari semboyan Bhineka Tunggal Ika (K. H. Abdurrahman Wahid)

Pemuda. Apa sebenarnya definisi yang tepat untuk pemuda? Sejauh ini terminologi pemuda seringkali begitu lebar dan umum. Tetapi agar tidak terjebak kepada perdebatan definisi kita simak dari karakteristik pemuda. Beberapa karakteristik kepemudaan dari paparan di awal, diantaranya penuh semangat, setiap waktu senantiasa menampilkan energi yang berlimpah dan memancarkan antusiasme.
Idealis, keinginan yang digantung tinggi melahirkan cita-cita. Fokus kepada tujuan bukan kepada realita. Kritis, keingintahuan yang besar akan membuat mempertanyakan dan membandingkan setiap kondisi dan keadaan yang belum dimengerti atau senantiasa terdorong untuk menyampaikan apa yang diketahuinya. Berani, seorang pemuda belum memiliki banyak pikiran sehingga langkah yang diambil taktis dan cepat. Pemikiran yang pendek justru melahirkan keberanian yang jarang dimiliki oleh orang yang lebih banyak pertimbangan. Pengorbanan, bergerak dan berjuang mengejar cita-cita sering lupa pada diri sendiri atau menjadikan diri itu sebagai jaminan yang diberikan dalam mengisi perjuangan sehingga menjadi sebuah pengorbanan.
Kembali Gus Dur mengingatkan, memang harus pemuda yang memfilsafati keberagaman dengan arif. Mengapa harus pemuda, karena merekalah yang nantinya akan menjadi pemimpin bangsa ini. Gus Dur bercita-cita agar bangsa ini nantinya beruntung dengan memiliki pemimpin yang tidak mendahulukan kebhinekaan sebagai landasan, tetapi menjadikan ke-tunggal ika-an sebagai nafas perjuangan dan cita-cita pembangunan. Karenanya,harus tumbuh pemuda-pemuda pelopor yang menghargai keberagaman. Pemuda-pemuda harapan bapak bangsa itu harus segera lahir, tidak esok, tidak sepuluh tahun lagi, tetapi sekarang, hari ini juga.
Sedemikian urgennya kesadaran multikulur sehingga pendidikan multikultural menjadi komitmen global sejalan dengan rekomendasi UNESCO, Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi UNESCO tersebut memuat empat seruan: (1) pendidikan seyogyanya mengembangkan kesadaran untuk memahami dan menerima sistem nilai dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, ras, etnik, dan kultur; (2) pendidikan seyogyanya mendorong konvergensi gagasan yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan solidaritas dalam masyarakat; (3) pendidikan seyogyanya membangun kesadaran untuk menyelesaikan konflik secara damai; dan (4) pendidikan seyogyanya meningkatkan pengembangan kualitas toleransi dan kemauan untuk berbagi secara mendalam.
Pendidikan multikultural memberikan kebermanfaatan untuk membangun kohesifitas, soliditas dan intimitas antaretnik, ras, agama, dan budaya telah memberikan dorongan bagi pemuda dalam menanamkan kesadaran menghargai orang, budaya, dan agama, lain.
Dalam sebuah kelakarnya Gus Dur mengingatkan, jika Indonesia ingin damai, maka harus ada pemahaman yang secara ikhlas dan cerdas menghargai perbedaan sebagai bagian dari kekayaan budaya bangsa. Kesadaran multikultur harus dibangun sedini mungkin. Cita-cita Indonesia damai 2020 sangat bergantung pada penanaman berbangsa secara komperehensif.

Mengenal Peace Generation; Mengenal Pahlawan Perdamaian Belia Indonesia
Peace Generation merupakan sebuah komunitas yang bergerak di bidang resolusi konflik dan perdamaian di kalangan anak muda (youth). Lahir di Yogyakarta pada 10 Juni 2002, Peace Generation terbentuk berdasarkan kesepakatan antara peserta dan panitia Youth Camp for Democracy and Peace (YCDP) yang diselenggarakan oleh Komunitas Cinta Damai Universitas Gadjah Mada dengan Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM pada 27 Mei-1 Juni 2002, di Pondok Tingal, Magelang.
Keanggotaan komunitas ini bersifat terbuka. Mereka yang concern dan mau bekerja untuk perdamaian dapat menjadi bagian dari Peace Generation. Meskipun begitu, melalui kegiatan Peace Camp yang diadakan secara rutin, para alumni program Peace Camp akan secara langsung menjadi bagian dari Peace Generation. Hingga kini, program Peace Camp sendiri telah diadakan sebanyak empat kali; Youth Camp for Democracy and Peace (YCDP), 27 Mei-1 Juni 2002, di Pondok Tingal, Magelang, Student Camp for Peace yang diselenggarakan bagi pelajar SMU se-DIY di Wanagama, 7-11 Mei 2003, Peace in Our Neighbourhood bagi mahasiswa tahun pertama dan kedua, 23-27 Januari 2005, di Wanagama, dan Feeling Peace in Our School bagi pelajar SMU se-DIY dan Jawa Tengah, 13-17 Januari 2007, di Omah Jawi, Kaliurang. Visi dari Peace Generation adaah mewujudkan masyarakat damai, sedangkan misi dari Peace generation adalah menjadikan Peace Generation sebagai wahana eksperimentasi keberbedaan dan menawarkan alternatif penyelesaian konflik nirkekerasan pada masyarakat. Adapun nilai-nilai yang menjadi dasar pemikiran dan aktivitas Peace Generation :
1. Youth, dimaknai sebagai spirit personil Peace Generation yang aktif, kreatif, dan dinamis sesuai dengan jiwa muda.
2. Pluralism, bahwa pada dasarnya manusia diciptakan dengan latar belakang berbeda-beda, sifat, kondisi fisik dan psikis yang berbeda. Perbedaan ini menandakan bahwa tiap individu mempunyai potensi unik yang berbeda pula. Nilai ini berintisari bahwa perbedaan tidak sekedar diketahui (to be revealed), tetapi perlu ada penghargaan (respect), dan pemahaman (understanding) sehingga perbedaan menjadi bagian dari aktivitas sehari-hari.
3. Non Violence, bahwa dalam setiap aktivitas maupun respon terhadap konflik yang terjadi di masyarakat, Peace Generation berusaha untuk menggunakan alternatif-alternatif penyelesaian masalah dengan cara nir-kekerasan.
4. Participation, berlandaskan pada kesadaran bahwa Peace Generation adalah bagian dari masyarakat sehingga berbagai aktivitas yang dilakukannya merupakan wujud partisipasi dan apresiasi kepada lingkungannya. Participation juga menjadi acuan bahwa Peace Generation merupakan wahana partisipasi dan aktualisasi anggota dalam rangka memberikan kontribusi positif kepada masyarakat.

C. Catatan Damai Generation dalam Menyusuri Jalan Panjang Menemukan Kesadaran Multikulturalisme
”Beri aku 10 pemuda, akan aku guncangkan dunia” ( Sukarno).
Perubahan. Sebuah kata ajaib yang diharapkan banyak orang, terutama dalam kondisi sulit dan penuh ketidakpastian. Perubahan, akan menjadi daya kekuatan yang kita cari dan perjuangkan.
Peace generation bukan hanya semata komunitas dengan rutinitas pertemuan dengan tanpa memberi kontribusi positif kepada masyarakat. Peace Generation adalah wujud nyata dari kesadaran sekolompok pemuda bahwa tongkat estafet kepemimpinan bangsa ini sebentar lagi akan mereka genggam, dan sekaranglah saatnya untuk belajar menjadi pahlawan untuk bangsanya, belajar untuk mencintai rakyat dan masyarakatnya dengan cara-cara damai. Mereka menyusun agenda-agenda pembelajaran tersebut dalam sebuah agenda damai, yang akan menuntun mereka menjadi pahlawan yang memimpin dengan car-cara damai, dan menjadi pembawa damai untuk mayarakatnya. Agenda-agenda ini merupakan pembuktian, bahwa mereka adalah generasi muda yang menjadi bagian dari solusi untuk bangsa ini, bukan bagian dari masalah. Merekalah harapan perdamaian masa depan Indonesia, yang belajar untuk menjadi “silent hero” dan bukan “pahlawan” yang haus publikasi.
Tidak salah jika hidup memburu kedamaian. Meskipun sesulit apapun bentuknya, damai selalu menjadi tujuan hidup terakhir kita. Namun sejalan dengan itu pula, damai seolah menjadi utopis, sebuah konstruksi yang tidak pernah tercapai. Entah dimana kelak kita menemukan nilai damai (peace) itu?
Setiap tanggal 21 September, sejak Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2001 melalui resolusi 55/282, ditetapkanlah Hari Perdamaian Internasional. Ini adalah salah satu upaya demi menuai kedamaian hidup bersama di muka bumi. Jalan menuju perdamaian pun ramai diserukan oleh semua orang kahir-akhir ini, lebih-lebih oleh badan internasional sekelas PBB. Perdamaian seperti suatu idealita kehidupan yang didamba-dambakan bersama. Namun, di tengah gejolak konflik perang yang berkepanjangan dan ancaman inkonsistensi terhadap sistem dunia khususnya negara-negara adikuasa, perdamaian seperti sebuah utopia! Ia pun menjadi proyek sarat kepentingan di pentas global.
Saat ini waktunya kita mulai mengurai sebuah perspektif baru tentang perdamaian yang sedikit terlewatkan oleh institusi-institusi global di atas. Dari Jogja melalui buku Pelangi Damai di Sudut Jogja, nilai kedamaian itu bisa dihadirkan dalam setiap kesempatan kapan dan dimana pun. Karena perdamaian, ala perspektif buku ini, adalah suatu yang dekat, familiar, dan siapa pun dapat mewujudkannya. Ia bukan barang ’dagangan’ yang harus dilegokan dalam pentas lelang internasional! Namun, nilai perdamaian dapat dimulai dari diri sendiri, berlanjut kepada lingkungan keluarga, lingkaran sosial masyarakat, nasional, dan hingga dirasakan ke pentas internasional.

Pesan Damai Dari Jogja, Sebuah Buku Catatan Damai Peace Generation
Hadirnya buku ini seperti hendak menegaskan bahwa damai ada di sekitar, tepatnya di komunitas kecil dimana kita berkumpul. Buku ini terbit dari hasil diskusi dan ‘gerilya’ ke tempat-tempat bersejarah yang menjadi simbol dan spirit perdamaian di kota Jogja. Penulisnya terdiri dari satu tim berjumlah sekitar 40 orang. Mereka adalah generasi muda usia 18-22 tahun. Mereka berkumpul dan membuat komunitas yang menamakan diri Peace Generation (Pisgen) yang berpusat di salah satu serambi ruangan (pinjaman dari) Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM. Siapa pun yang siap menyebarkan virus perdamaian bisa masuk dan bergabung bersama mereka.
Prestasi komunitas yang berdiri sejak 10 Juni 2002 ini tergolong cemerlang baik dalam negeri khususnya di lokal Jogja dan sesekali terlibat di berbagai kegiatan pemuda perdamaian di kancah internasional. Komunitas ini seperti sebuah rumah bagi semua generasi muda yang ada di Jogja dengan latar belakang berbeda baik agama, ras, etnis dan suku. Pisgen telah melakukan penyebaran virus perdamaian khususnya kepada generasi muda dimulai dari Jogja untuk Indonesia. Terbukti di daerah-daerah rawan konflik seperti Aceh dan Ambon komunitas ini telah menambatkan jejaringnya.
Setiap tahun mereka melakukan kegiatan yang dikemas dalam bentuk Peace Camp dalam rangka membicarakan perdamaian dan segala macam aksiomanya. Sejak tahun 2002 komunitas ini telah melahirkan lima angkatan yaitu Youth Camp for Democracy and Peace (YCDP),Student Camps For Peace (SCP), Peace in Our Neighbourhood (PION), Feeling Peace in Our School (PIOS), dan terakhir adalah Jogja Peace Amizing Race (JPAR) dihelat pada awal tahun 2008 dan telah menghasilkan buku memoar penting ini.
Tim penulis melakukan pengamatan dan penggalian sumber informasi di sembilan tempat yang meneguhkan city of tolerance bagi Jogja. Mereka mewawancarai tokoh di daerah-daerah yang menjadi simbol dan identitas pluralisme kota gudek yang terbina dengan baik hingga hari ini. Sembilan tempat itu adalah Kraton Jogja, Komuinitas Gayam 16, Padepokan Bagong Kassudiardja, Komunitas Eben Ezer, LSM Kebaya, YAKKUM, Fakultas Kedokteran UGM, Pura Jagatnata, Vihara Budha Prabha. Penulis buku ini mencari nilai perdamaian yang diperjuangkan di balik sembilan tempat di atas.
Cara penyajiannya cukup enak dan enteng karena diceritakan oleh orang pertama (Aku) plus dengan sokongan gambar yang sesuai. “Aku” muncul sebagai sosok mahasiswa baru yang tidak menahu tentang Jogja. Saat itulah dimulai perjalanan panjang dan sarat nilai perdamaian di balik ornamen sejarah dan eksotisme simbol-simbol budaya yang melekat di Jogja. Hikmah di balik perjalanan itu pada akhirnya menyentuh persoalan pluralisme dan multikulturalisme yang bakal melahirkan toleransi, tenggang rasa, dan kedewasaan sikap di antara kelompok masyarakat yang plural. Melalui buku ini kita akan menemukan bagaimana mengenal dan menerima sebuah kenyataan hidup kita yang heterogen; bagaimana merawat perbedaan itu supaya tetap tumbuh indah memesona.
Napak tilas perdamaian ini dimulai di Kraton Jogja. Simbol kraton bagi rakyat Jogja adalah segala-galanya karena dari situlah titik tolak kehidupan mereka dimulai. Rakyat Jogja merasakan ketenangan dan kedamaian berada di bawah kraton dan raja khususnya Sultan Hamengku Bowono IX, dimana pada waktu itu Belanda dan Jepang bergantian ingin menguasai Jogja. Ornamen tradisi kraton seperti instrumen musik lokal dengan tari-tarian indah semampai merupakan mediasi demi mencapai ketenangan dan kenyamanan bersama bagi rakyat Jogja di tengah gedebus genderang perang penjajah.
Upaya kraton untuk melindungi rakyat agar aman juga terlihat dari catatan historis pembangunan Selokan Mataram. Selokan ini dibangun atas inisiatif sultan HB IX demi menyelamatan rakyat Jogja yang diincar menjadi pekerja rumosha oleh Jepang (hlm 17).
Ekspedisi selanjutnya sampai di Komunitas Gayam 16. ”Aku” semakin yakin bahwa jalan menuju damai begitu banyak. Salah satunya adalah seni tradisi warisan nenek moyang seperti gamelan yang dikembangkan di komunitas ini. Pada perangkat gamelan akan ditemukan perpaduan birama dari instrumen yang komplit menjadi irama merdu dan kaya akan makna ihwal sebuah penciptaan yang kuat dan murni. Kedekatan seni dengan nilai-nilai perdamaian juga ditemukan di Padepokan Bagong Kassudiardja, sebuah komunitas seni yang sekarang digawangi seniman Butet Kertarajasa, putra kedua Bagong Kassudiardja. Bagi kedua komunitas di atas peran seni bisa dipahami sebagai active non-violence (ANV), sebuah upaya halus dan indah demi menggugah kesadaran kemanusian. Seni selalu menawarkan solusi nir-kekerasan terhadap berbagai masalah yang ada di tengah masyarakat kita (hlm. 39).
Selanjutnya, ”aku” yang terus melanglang sudut-sudut kota Jogja menemukan bagian penting dari dinamika kota besar, yatiu Komunitas Eben Ezer, sebuah komunitas anak jalanan (pengamen, pemulung, waria dan PSK) yang berpusat di Stasiun Lempuyangan (hlm 47). Ia menemukan rahasia terdalam di balik kota Jogja yang terkenal berpendidikan, berbudaya dan halus pembawaannya. Kisah perjalanan itu dirasakan semakin lengkap ketika ia sempat bertandang ke LSM KEBAYA alias Keluarga Besar Waria Yogyakarta, sebuah lembaga penggiat masalah eksistensi waria di Jogja. Di lembaga ini kita dapat menemui Mami Vin, seorang penggerak yang tak kenal lelah sehingga berhasil membawa nama KEBAYA sebagai lembaga waria paling solid di Jogja bahkan di Indonesia.

Membangun Solidaritas
Persinggahannya di Eben Ezer dan KEBAYA mengajarkan tentang solidaritas antar sesama demi menggapai kebersamaan dan kedamaian. Solidaritas yang dibentuk pun bukan sekedar solidaritas deskriptif tapi normatif. Solidaritas normatif adalah bentuk solidaritas dimana seorang tidak hanya merasa simpati semata tetapi sikap itu diterjemahkan dan diintegrasikan secara afektif, kognitif dan aksi untuk membantu mereka yang membutuhkan (hlm. 57-58). Ujian solidaritas itu akan dietemukan ketika kita singgah di YAKKUM, sebuah komunitas bagi penyandang cacat atau kaum difabel yang terletak di Jalan Kaliurang KM 13.5. Di sini rasa manusiawi akan diuji ketika berhadapan dengan sosok insan yang ternyata tidak sesempurna kita. Kesadaran tentang potensi dan kekuarangan manusia akan terketuk di sana.
Tentang resolusi konflik dan cara kita bergaul dengan anak bangsa yang sempat bersitegang dengan kita dapat kita pelajari dari perjalanan sang tokoh ketika mampir ke Fakultas Kedokteran Internasional UGM dimana mayoritas mahasiswanya berasal dari Malaysia. Bagaimana kita membayangkan kelancangan negeri Pak Cik itu ketika mengklaim hasil ciptaan dan tradisi tulen bangsa Indonesia? Namun, napak tilas tokoh utama kita ini mengajarkan bagi semua bangsa bahwa dialog dan silaturahmi adalah aksi terpenting demi mewujudkan perdamaian bersama. Mahasiswa Malaysia yang tinggal di Jogja merasa bisa tenang dan nyaman belajar oleh karena sikap generasi muda kita yang bertanggung jawab untuk mewujudkan kedamaian di negeri ini.
Di bagian akhir memoar perjalanan ini pembaca akan menemukan kekayaan budaya dan agama yang ada di Jogja. Ada Vihara Budha Prabha di jalan Brigjen Katamso dan Pura Jagatnata di Banguntapan. Dua simbol pluralisme agama itu mengisyarakat kompleksitas budaya dan tradisi Jogja sebagai Indonesia mini. Namun demikian, masih banyak budaya dan simbol tradisi sebagai penjunjung nilai perdamaian yang tidak terangkum dalam memoar perjalanan singkat ini. Sehingga di akhir perjalanan sang tokoh menuliskan: “ dan ini bukan akhir dari sebuah perjalanan…..” (hlm 107) karena jalan menuju damai memang masih panjang tetapi bukan berarti jauh.

Mereka Adalah Pemuda yang Memfilsafati Keberagaman
When I born, I Black,
When I grow up, I Black,
When I go in Sun, I Black,
When I scared, I Black,
When I sick, I Black
And when I die, I still Black…

And you White fella,
When you born, you Pink,
When you grow up, you White,
When you go in sun, you Red,
When you cold, you Blue,
When you scared, you Yellow,
When you sick, you Green
And when you die, you Gray…
And you calling me Colored??

Puisi ini masuk menjadi nominasi puisi terbaik 2005 untuk festival anti rasisme ke 11 yang berlangsung di Yunani. Puisi ini ditulis oleh seorang anak Afrika yang bernama Aly El Shaly.
Sebuah kritik pedas terhadap rasisme. Sebuah keragaman atas keberagaman. Dalam konteks keindonesiaan, puisi ini dapat dilihat sebagai gambaran fenomena gesekan bahkan konflik lintas suku, agama, dan antar aliran kepercayaan (SARA) di Indonesia dekade ini.
Dalam kajian filsafat, pembicaraan “kedirian” yang kemudian mendefinisikan eksistensi antara we and the others mendapatkan tempat tersendiri. Eksistensi diri dan cara pandang dalam melihat “yang lain” ini membawa konsekuensi sosial bagaimana sang subyek menempatkan dan memperlakukan “yang lain”. Prinsip, pandangan hidup, keyakinan, identitas, agama yang menjadi sumber identitas diri, nyatanya cenderung melahirkan ekspresi yang menganggap rendah terhadap the others, bahkan tak jarang meniadakan the others. Karena itu, dalam konteks keragaman hidup, mengakui perbedaan saja tidak cukup. Lebih dari itu, mengakui dan memberi ruang hidup bagi eksistensi ”yang lain” serta serius membangun koeksistensi yang dibangun atas dasar trusth dan semangat kebersamaan seharusnya menjadi artikulasi diri dalam menyenandungkan irama kehidupanbersama entitas lain.
Plato mengibaratkan orang yang berfilsafat seperti orang yang keluar dari gelapnya gua gelap gulita tanpa penerangan melihat terangnya cahaya pencerahan. Maksudnya dengan berfilsafat orang akan diterangi cahaya kebijaksanaan sehingga mampu membeda-bedakan segala sesuatu secara benar. Sedangkan tanpa berfilsafat, orang hanya akan hidup dalam kegelapan ketidaktahuan yang menyesatkan.
Filsafat berakar kata philos dan sophia yang berarti gandrung akan kebenaran. Ciri dari kegandrungan adalah adanya upaya seseorang untuk mengejar sesuatu yang menjadi kesenangannya. Demikian pula bagi orang yang gandrung akan kebenaran, ia akan mencari kebenaran itu sampai kapanpun dan dimanapun kebenaran itu berada.
Filsafat menurut Wittgenstein bertugas ”menunjukkan pada lalat yang terperangkap pada sebuah botol untuk keluar dari masalahnya”. Artinya, dengan berfilsafat akan mengajak orang untuk memikirkan segala tindak-tanduknya dalam kerangka kebenaran tanpa harus menghancurkan kebenaran orang lain guna menemukan jalan keluar terbaik dari sebuah permasalahan. Dengan demikian berfilsafat bertujuan untuk mencari sebuah kebenaran dari sebuah masalah dengan berpikir kritis, sistematis, radikal dan universal tanpa merugikan orang lain.
Multikultutralisme memberikan pengandaian akan adanya kesadaran bagi setiap komunitas dengan identitas kultural tertentu dan posisinya sebagai bagian dari harmoni kehidupan. Dalam hal ini multikulturalisme meniscayakan keragaman dan pluralitas. Titik tekan pluralisme dan multikulturalisme adalah terletak pada domain bangunan kesadaran akan keragaman. Jika pluralisme mengisaratkan kesadaran dibangun atas individu dengan cita-cita ideal adanya personal right yang mengarah pada liberalisme dan masyarakat komunikatif, adapun multikulturalisme dibangun atas kesadaran kolektif sebuah komunitas yang mengarah pada pembentukan masyarakat madani yang multi etnik, keragaman agama dan identitas sosial yang lain
Seperti yang dicatat oleh Peace Generation, perjalanan dalam Jogja Peace Amazing Race menjadi refleksi keberagamaan yang seharusnya bisa menempatkan semangat toleransi dalam menyikapi pluralitas budaya dan agama.
Di sisi lain nampak bahwa ajaran untuk menghormati keberagamaan yang lain belum bisa diterjemahkan secara baik oleh kalangan mayoritas. Di sinilah perlunya membangun kesadaran bersama akan penghormatan terhadap keragaman identitas sosial termasuk indetitas dan ekspresi keberagamaan, seminoritas apapun jumlah “pemilik” identitas sosial tersebut. Tidak saja mengakui akan adanya keragaman, akan tetapi juga merayakan keragaman itu dalam irama dan harmoni kehidupan. Dalam konteks ke Indonesiaan, keragaman menjadi sebuah kekayaan multikultural. Adapun bingkai kebersamaan bisa dikibarkan dalam semangat nasionalisme.
Dan inilah yang dilakukan oleh anak-anak muda ini dalam memfilsafati keberagaman. Mereka mengenal keberagaman untuk kemudian mencintai kemanusiaan secara lebih kompleks. Mereka tidak mengenal “others” karena bagi mereka semuanya adalah kita, adalah Indonesia. Mereka adalah generasi kini yang sadar, semangat keberagaman dalam Sumpah Pemuda yang dahulu didengungkan di eranya, kini harus mereka warisi.
Kau membuatku mengerti hidup ini
Kita terlahir bagai selembar kertas putih
Tinggal dilukis dengan tinta pesan damai
Dan terwujud harmoni

Sepenggal lagu milik Padi tersebut membawa saya pada kesyukuran besar. Bahwa di persada ini telah lahir anak-anak muda yang akan mengajari Indonesia untuk mengerti bahwa harmoni akan terwujud dengan tinta pesan damai. Dan harapan Gus Dur akan lahirnya pemimpin-pemimpin yang mencintai keragaman Indonesia kini bukanlah harapan semu. Indonesia telah memilikinya, mereka, anak-anak muda yang berbuat dengan karya nyata, yang benar-benar mempelajari indahnya keberagaman dengan benar-benar menjadi bagian dari keberagaman tersebut, seperti yel al selalu mereka nyanyikan: Viva La Diferentia. Mereka memfilsafati multikulturalisme dengan mengubur konflik dan merayakan keberagaman.
Berpijak dari berbagai argumentasi dan narasi di atas, maka upaya-upaya untuk melakukan revitalisasi nasionalisme harus selalu disemaikan. Upaya ini juga harus didorong dengan penguatan wacana dan artikulasi multikulturalisme. Multikulturalisme adalah modal dasar dalam membangun dan mempertahankan eksistensi kebangsaan dan memperkuat semangat kebersamaan dalam mengahdapi berbagai tantangan baik dari dalam maupun dari luar. Asa itu nampaknya cukup bisa diharapkan dari generasi muda sebagai penerus bangsa ketika kita menatap Peace generation.




DAFTAR PUSTAKA
Colletta N. J. dan Kayam U. 1997. Kebudayaan dan Pembangunan. Jakarta: Obor.

Kymlicka W. 2003. Kewargaan Multikultural. Jakarta: LP3S. File pdf diunduh melalui www.scribd.org

Sularto S. (ed.). 1999. Visi dan Agenda Reformasi. Yogyakarta: Kanisius.

Raho B. 2004. Sosiologi-Sebuah Pengantar. Jakarta: Dian Ilmu

Peace Generation, 2008. Pelangi Damaidi Sudut Jogja. Yogyakarta:PSKP UGM

Banks, J. 1993. Multicultural Education: Historical Development, Dimension, and Practice. Review of Research in Education. File pdf diunduh melalui www.scribd.org

Cunningham, William G. dan Paula A. Cordeiro. 2003. Educational Leadership A Problem-Based Approach: Second Edition. United States of America: Tara Whorf. File pdf diunduh melalui www.scribd.org



http://www.lampungp ost.com/cetak/ berita.php? id=2010010701374 263

http://www.peacegeneration.wordpress.org/home

http://www.poetrylibrary.org.uk/queries/faps/#27

http://bina-damai.net/images/downloads/Profil_JPG.pdf.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar