Rabu, 21 Juli 2010

POSITIVE ATTITUDE, SIKAP KRITIS, KREATIF DAN INOVATIF MODAL DASAR MAHASISWA SEBAGAI SEORANG PROBLEM SOLVER.

Mengenal Peace Generation;

Memahami Damainya MAHASISWA Pluralis menyikapi Multikulturalisme

Mengapa Harus Lahir Pemuda Pluralis di Negeri Ini?

Jika kita memiliki pemimpin yang menghargai keberagaman (multikulturalismeI) maka kita dengan sendirinya akan beruntung. Tetapi jika kita mengutamakan keberagaman, maka mau tidak mau kita menyimpang dari semboyan Bhineka Tunggal Ika (K. H. Abdurrahman Wahid)

Kembali Gus Dur mengingatkan, memang harus generasi muda yang memfilsafati keberagaman dengan arif. Mengapa harus generasi muda, karena merekalah yang nantinya akan menjadi pemimpin bangsa ini. Gus Dur bercita-cita agar bangsa ini nantinya beruntung dengan memiliki pemimpin yang tidak mendahulukan kebhinekaan sebagai landasan, tetapi menjadikan ke-tunggal ika-an sebagai nafas perjuangan dan cita-cita pembangunan. Karenanya,harus tumbuh pemuda-pemuda pelopor yang menghargai keberagaman. Pemuda-pemuda harapan bapak bangsa itu harus segera lahir, tidak esok, tidak sepuluh tahun lagi, tetapi sekarang, hari ini juga. Dan yang pasti, pemimpin pluralis akan berjuang untuk keseluruhan bangsa Indonesia, dan bukan atas nama suku, agama, ataupun ras. Karena pemimpin pluralis mencintai bangsanya dengan berbagai kekayaan keragaman.

Sedemikian urgennya kesadaran multikulur sehingga pendidikan multikultural menjadi komitmen global sejalan dengan rekomendasi UNESCO, Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi UNESCO tersebut memuat empat seruan: (1) pendidikan seyogyanya mengembangkan kesadaran untuk memahami dan menerima sistem nilai dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, ras, etnik, dan kultur; (2) pendidikan seyogyanya mendorong konvergensi gagasan yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan solidaritas dalam masyarakat; (3) pendidikan seyogyanya membangun kesadaran untuk menyelesaikan konflik secara damai; dan (4) pendidikan seyogyanya meningkatkan pengembangan kualitas toleransi dan kemauan untuk berbagi secara mendalam.[1] Pendidikan multikultural memberikan kebermanfaatan untuk membangun kohesifitas, soliditas dan intimitas antaretnik, ras, agama, dan budaya telah memberikan dorongan bagi generasi muda dalam menanamkan kesadaran menghargai orang, budaya, dan agama, lain.

Dalam sebuah kelakarnya Gus Dur mengingatkan, jika Indonesia ingin damai, maka harus ada pemahaman yang secara ikhlas dan cerdas menghargai perbedaan sebagai bagian dari kekayaan budaya bangsa. Kesadaran multikultur harus dibangun sedini mungkin. Cita-cita Indonesia damai 2020 sangat bergantung pada penanaman berbangsa secara komperehensif. [2]

Mengenal Peace Generation; Mengenal Pahlawan Perdamaian Belia Indonesia

Peace Generation merupakan sebuah komunitas yang bergerak di bidang resolusi konflik dan perdamaian di kalangan anak muda (youth). Lahir di Yogyakarta pada 10 Juni 2002, Peace Generation terbentuk berdasarkan kesepakatan antara peserta dan panitia Youth Camp for Democracy and Peace (YCDP) yang diselenggarakan oleh Komunitas Cinta Damai Universitas Gadjah Mada dengan Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM pada 27 Mei-1 Juni 2002, di Pondok Tingal, Magelang.[3]

Melalui kegiatan Peace Camp yang diadakan secara rutin, para alumni program Peace Camp akan secara langsung menjadi bagian dari Peace Generation. Setiap tahun mereka melakukan kegiatan yang dikemas dalam bentuk Peace Camp dalam rangka membicarakan perdamaian dan segala macam aksiomanya. Hingga kini, program Peace Camp sendiri telah diadakan sebanyak enam kali; Youth Camp for Democracy and Peace (YCDP), 27 Mei-1 Juni 2002, di Pondok Tingal, Magelang, Student Camp for Peace yang diselenggarakan bagi pelajar SMU se-DIY di Wanagama, 7-11 Mei 2003, Peace in Our Neighbourhood bagi mahasiswa tahun pertama dan kedua, 23-27 Januari 2005, di Wanagama, dan Feeling Peace in Our School bagi pelajar SMU se-DIY dan Jawa Tengah, 13-17 Januari 2007 di Omah Jawi, Kaliurang Jogja Peace Amizing Race (JPAR) dan terakhir adalah Peace Adventura yang dihelat pada akhir tahun 2009.[4] Visi dari Peace Generation adaah mewujudkan masyarakat damai, sedangkan misi dari Peace generation adalah menjadikan Peace Generation sebagai wahana eksperimentasi keberbedaan dan menawarkan alternatif penyelesaian konflik nirkekerasan pada masyarakat. Adapun nilai-nilai yang menjadi dasar pemikiran dan aktivitas Peace Generation[5]:

  1. Youth, dimaknai sebagai spirit personil Peace Generation yang aktif, kreatif, dan dinamis sesuai dengan jiwa muda.
  2. Pluralism, bahwa pada dasarnya manusia diciptakan dengan latar belakang berbeda-beda, sifat, kondisi fisik dan psikis yang berbeda. Perbedaan ini menandakan bahwa tiap individu mempunyai potensi unik yang berbeda pula. Nilai ini berintisari bahwa perbedaan tidak sekedar diketahui (to be revealed), tetapi perlu ada penghargaan (respect), dan pemahaman (understanding) sehingga perbedaan menjadi bagian dari aktivitas sehari-hari.
  3. Non Violence, bahwa dalam setiap aktivitas maupun respon terhadap konflik yang terjadi di masyarakat, Peace Generation berusaha untuk menggunakan alternatif-alternatif penyelesaian masalah dengan cara nir-kekerasan.
  4. Participation, berlandaskan pada kesadaran bahwa Peace Generation adalah bagian dari masyarakat sehingga berbagai aktivitas yang dilakukannya merupakan wujud partisipasi dan apresiasi kepada lingkungannya. Participation juga menjadi acuan bahwa Peace Generation merupakan wahana partisipasi dan aktualisasi anggota dalam rangka memberikan kontribusi positif kepada masyarakat.

C. Catatan Damai Peace Generation dalam Menyusuri Jalan Panjang Menemukan Kesadaran Multikulturalisme

”Beri aku 10 pemuda, akan aku guncangkan dunia” (Presiden Soekarno).

Setiap tanggal 21 September, sejak Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2001 melalui resolusi 55/282, ditetapkanlah Hari Perdamaian Internasional. Ini adalah salah satu upaya demi menuai kedamaian hidup bersama di muka bumi. Jalan menuju perdamaian pun ramai diserukan oleh semua orang kahir-akhir ini, lebih-lebih oleh badan internasional sekelas PBB. Perdamaian seperti suatu idealita kehidupan yang dambakan bersama. Namun, di tengah gejolak konflik perang yang berkepanjangan dan ancaman inkonsistensi terhadap sistem dunia khususnya negara-negara adikuasa, perdamaian seperti sebuah utopia. Perdamaian seolah hanya menjadi proyek sarat kepentingan di pentas global.[6]

Saat ini waktunya kita mulai mengurai sebuah perspektif baru tentang perdamaian yang sedikit terlewatkan oleh institusi-institusi global di atas. Dari UGM melalui Peace Generation, nilai-nilai perdamaian dihadirkan dalam setiap kesempatan kapan dan dimana pun. Karena perdamaian ala peace generation, adalah suatu yang dekat, familiar, dan siapa pun dapat mewujudkannya. Perdamaian bukan komuoditas isu yang harus dilegokan dalam pentas lelang internasional. Namun, nilai perdamaian dapat dimulai dari diri sendiri, berlanjut kepada lingkungan keluarga, lingkaran sosial masyarakat, nasional, dan hingga dirasakan ke pentas internasional.

Peace generation bukan semata komunitas dengan rutinitas pertemuan dengan tanpa memberi kontribusi positif kepada masyarakat. Peace Generation adalah wujud nyata dari kesadaran sekolompok generasi muda bahwa tongkat estafet kepemimpinan bangsa ini sebentar lagi akan mereka genggam, dan sekaranglah saatnya untuk belajar menjadi pahlawan untuk bangsanya, belajar untuk mencintai rakyat dan masyarakatnya dengan cara-cara damai. Mereka menyusun agenda-agenda pembelajaran tersebut dalam sebuah agenda damai, yang akan menuntun mereka menjadi pahlawan yang memimpin dengan cara-cara damai, dan menjadi pembawa damai untuk mayarakatnya. Agenda-agenda ini merupakan pembuktian, bahwa mereka adalah generasi muda yang menjadi bagian dari solusi untuk bangsa ini, bukan bagian dari masalah. Merekalah harapan perdamaian masa depan Indonesia, yang belajar untuk menjadi “silent hero” dan bukan “pahlawan” yang haus publikasi.

Prestasi komunitas yang berdiri sejak 10 Juni 2002 ini tergolong cemerlang baik dalam negeri khususnya di lokal Jogja dan sesekali terlibat di berbagai kegiatan pemuda perdamaian di kancah internasional. Komunitas ini seperti sebuah rumah bagi semua generasi muda khususnya mahasiswa UGM dengan latar belakang berbeda baik agama, ras, etnis dan suku. Peace Generation telah melakukan penyebaran virus perdamaian khususnya kepada generasi muda dimulai dari Gadjah Mada, dimulai dari Jogja untuk Indonesia. Terbukti di daerah-daerah rawan konflik seperti Aceh dan Ambon komunitas ini telah menambatkan jejaringnya.

PION adalah bukti ketanggapan mahasiswa-mahasiswa ini dengan fenomena maraknya tawuran pelajar yang terjai di Yogyakarta kala itu. Jatuhnya beberapa korban jiwa membuat mereka tak hanya merasa cukup menitipkan masalah ini pada solusi represif institusi kepolisian. Mereka berbuat, dan PION adalah dedikasi mereka dalam menyelamatkan pelajar Yogyakarta dari ancaman perpecahan. Hal yang ssama juga mereka lakukan ketika terjadi perang SARA antara beberapa asrama mahasiswa yang ada di Yogyakarta. Dan yang menjadi poin utama bahwa ketika mahasiswa-mahasiswa ini belum mampu mencapai rnah publik, apa yang mereka lakukan dengan bahasa ke-muda-an mereka justru menjadi pemecahan masalah yangtak hanya efektif, namun juga damai dan tidak menimbulkan permusuhan sebagai bom waktu masalah yang baru.

Satu yang perlu dicatat adalah kegiatan non-agenda yang mereka lakukan selama gempa Yogyakarta 2006 berlagsung. Mereka tidur bersama ara pengungsi di tenda-tenda, melakukan program recovery dengan focus pemulihan psikis anak-anak korban gempa. Dua bulan mereka membagi diri untuk berada di Piyungan, Bantul, dan Klaten untuk menjadi sahabat bagi anak-anak yang tak hanya kehilangan rumahnya, tetapi juga orangtuanya, sahabatnya, atau mungkin gurunya. Dua bulan mereka datang sebagai konselor bagi anak-anak yang bahkan problematika paska gempa mereka tidak terbesit oleh para pembuat kebijakan.

Mereka Adalah Pemuda yang Memfilsafati Keberagaman

When I born, I Black,

When I grow up, I Black,

When I go in Sun, I Black,

When I scared, I Black,

When I sick, I Black

And when I die, I still Black…

And you White fella,

When you born, you Pink,

When you grow up, you White,

When you go in sun, you Red,

When you cold, you Blue,

When you scared, you Yellow,

When you sick, you Green

And when you die, you Gray…

And you calling me Colored??[7]

Puisi ini masuk menjadi nominasi puisi terbaik 2005 untuk festival anti rasisme ke 11 yang berlangsung di Yunani. Puisi ini ditulis oleh seorang anak Afrika yang bernama Aly El Shaly. Sebuah kritik pedas terhadap rasisme. Sebuah keragaman atas keberagaman. Dalam konteks keindonesiaan, puisi ini dapat dilihat sebagai gambaran fenomena gesekan bahkan konflik lintas suku, agama, dan antar aliran kepercayaan (SARA) di Indonesia dekade ini.

Pembicaraan “kedirian” yang kemudian mendefinisikan eksistensi antara we and the others telah embuat rasa kemanusiaan kemudian dilukai. Eksistensi diri dan cara pandang dalam melihat “yang lain” ini membawa konsekuensi sosial bagaimana sang subyek menempatkan dan memperlakukan “yang lain”. Prinsip, pandangan hidup, keyakinan, identitas, agama yang menjadi sumber identitas diri, nyatanya cenderung melahirkan ekspresi yang menganggap rendah terhadap the others, bahkan tak jarang meniadakan the others. Karena itu, dalam konteks keragaman hidup, mengakui perbedaan saja tidak cukup. Lebih dari itu, mengakui dan memberi ruang hidup bagi eksistensi ”yang lain” serta serius membangun koeksistensi yang dibangun atas dasar trust dan semangat kebersamaan seharusnya menjadi artikulasi diri dalam menyenandungkan irama kehidupan bersama entitas lain.[8]

Dan inilah yang dilakukan oleh anak-anak muda ini dalam memfilsafati keberagaman. Mereka mengenal keberagaman untuk kemudian mencintai kemanusiaan secara lebih kompleks. Mereka tidak mengenal “others” karena bagi mereka semuanya adalah kita, adalah Indonesia. Mereka adalah generasi kini yang sadar, semangat keberagaman dalam Sumpah Pemuda yang dahulu didengungkan di eranya, kini harus mereka warisi.

Peace Generation, Manifesto Agent of Change Universitas Gadjah Mada

Kau membuatku mengerti hidup ini

Kita terlahir bagai selembar kertas putih

Tinggal dilukis dengan tinta pesan damai

Dan terwujud harmoni

Sepenggal lagu milik Padi tersebut membawa saya pada kesyukuran besar. Bahwa di persada ini telah lahir anak-anak muda yang akan mengajari Indonesia untuk mengerti bahwa harmoni akan terwujud dengan tinta pesan damai. Dan harapan Gus Dur akan lahirnya pemimpin-pemimpin yang mencintai keragaman Indonesia kini bukanlah harapan semu. Indonesia telah memilikinya, mereka, anak-anak muda yang berbuat dengan karya nyata, yang benar-benar mempelajari indahnya keberagaman dengan benar-benar menjadi bagian dari keberagaman tersebut, seperti yel al selalu mereka nyanyikan: Viva La Diferentia. Dari Gadjah Mada, melalui Peace generation, kini saatnya meretaas optimitas akan pemimpin masa depan yang mempunyai kecakapan dan kesiapan untuk menunaikan pertanggunganjawaban terhadap pembangunan, pemeliharaan dan perkembangan kebudayaan dan hidup kemasyarakatan.

Mereka adala mahasiswa-mahasiswa yang sadar akan amanat konstitusi. Bahwa anggaran negara sebesar 20 persen yang dibiayai oleh rakyat melalui pajak untuk kelangsungan pendidikan mereka, memiliki konsekuensi tanggung jawab akan baktimereka untuk negeri. Terbukti, mereka adalah generasi muda yang berjiwa muda, penuh kebanggan, percaya diri dan berprestasi. Mereka adalah mahasiswa yang bangga akan keluhuran budaya Indonesia, memelihara keragaman Indonesia, dan yakin bahwa kejayaan Indonesia yang lebih besar masih menanti di masa depan. Mahasiswa-mahasiswa ini berorientasi pada peluang bukan rasa cemas, dipacu dengan energi positif bukan energi negatif, dengan wawasan yang terus menyongsong hari esok, dan dengan terus menonjolkan sikap moderat dan pluralisme sebagai kunci sukses. Jika UGM pernah mencatatkan nama Arko Jatmiko peneliti bonggol pisang, Leo Begawan robot Semar, Syammahfuz peneliti keramik kotoran sapi yang digelari Young Inovator Scientist oleh PBB, ataupun Annisa Gita Srikandini peraih beasiswa fullbright, merekalah mahasiswa-mahasiswa yang bekerja keras untuk kelangsungan Peace Generation. Mereka mahasiswa berprestasi, namun bukan mahasiswa berprestasi untuk dirinya sendiri. Leo pergi ke Sepang Malaysia tidak hanya untuk memamerkan robot Semar karyanya, namun juga untuk membuktikan, anak muda Indonesia datang ke Malaysia tidak hanya datang sebagai TKI, tapi scientist yang kompeten dan dihargai ke-Indonesia-annya. Syammhfuz mengembangkan perusahaan dengan mitranya peternak sapi krena tak ingin hanya menggantungkan pengentasan kemiskinan masyarakat pada MDG’s. Nilai-nilai “tidak hanya mencemaskan dirinya sendiri” inilah yang dipelajari melalui agenda-agenda Peace Generation.

Berpijak dari berbagai argumentasi dan narasi di atas, maka upaya-upaya untuk melakukan revitalisasi nasionalisme harus selalu disemaikan. Upaya ini juga harus didorong dengan penguatan wacana dan artikulasi multikulturalisme. Multikulturalisme adalah modal dasar dalam membangun dan mempertahankan eksistensi kebangsaan dan memperkuat semangat kebersamaan dalam mengahdapi berbagai tantangan baik dari dalam maupun dari luar. Asa itu nampaknya cukup bisa diharapkan dari generasi muda sebagai penerus bangsa ketika kita menatap Peace generation. Mengutip pernyataan Rektor UGM yang menyatakan mahasiswa UGM diharapkan menjadi mahasiswa yang tidak lagi cemas dengan dirinya sendiri, tetapi cemas dengan apa yang terjadi di sekitarnya, inilah wujud nyata ketika mahasiswa telah sadar akan potensinya untuk membangun lingkungannya.

Inilah konsistensi dari sebuah integritas, kesadaran anak negeri untuk mengerti, bahwa tugas besar dimulai hari ini. Inilah modernisator-modernisator muda yang akan meyelesaikan gagasan-gagasan besar yang belum dirampungkan pendahulunya guna menjawab tantangan kebangsaan baru. Modernisator yang menjaga gelora nasionalisme, dan terus bertumbuh semangat internasionalisasi Indonesia. Mereka adalah generasi pertama abad-21 yang dinamis merangkul perubahan dan dinamika sosial yang tumbuh di masyarakat dengan kehangatan pluralisme yang moderat. Generasi damai ini percaya kebangsaan Indonesia, kebhinekaan, demokrasi, dan pluralisme harus mereka bangun dalam nasionalisme yang sehat. Telah begitu banyak diberitakan Mahasiswa yang membakar ban bekas dalam menyuarakan aspirasi serta keinginannya, namun anak-anak muda ini, mereka membakar semangat kebangsaanya untuk memperjuangkan idealisme dan cita-cita ke-Indonesia-an mereka, cita cita kerukunan dan harmoni Indonesia dalam keberagaman.

DAFTAR PUSTAKA

Colletta N. J. dan Kayam U. 1997. Kebudayaan dan Pembangunan. Jakarta: Obor.


Kymlicka W. 2003. Kewargaan Multikultural.
Jakarta: LP3S. File pdf diunduh melalui www.scribd.org


Sularto S. (ed.). 1999. Visi dan Agenda Reformasi.
Yogyakarta: Kanisius.

Raho B. 2004. Sosiologi-Sebuah Pengantar. Jakarta: Dian Ilmu

Peace Generation, 2008. Pelangi Damaidi Sudut Jogja. Yogyakarta:PSKP UGM

Banks, J. 1993. Multicultural Education: Historical Development, Dimension, and Practice. Review of Research in Education. File pdf diunduh melalui www.scribd.org

Cunningham, William G. dan Paula A. Cordeiro. 2003. Educational Leadership A Problem-Based Approach: Second Edition. United States of America: Tara Whorf. File pdf diunduh melalui www.scribd.org



http://www.lampungp ost.com/cetak/ berita.php? id=2010010701374 263

http://www.peacegeneration.wordpress.org/home

http://www.poetrylibrary.org.uk/queries/faps/#27

http://bina-damai.net/images/downloads/Profil_JPG.pdf.



[1]Cunningham, William G. dan Paula A. Cordeiro. 2003. Educational Leadership A Problem-Based Approach: Second Edition. United States of America: Tara Whorf. File pdf diunduh melalui www.scribd.org

[8] Mengutip pernyatan Riansyah dalam Riansyah, Menguhkan Koeksistensi, Menumbuhkan Proeksistensi, Analisis Media Bulan Januari 2007, Puspek Averroes Malang file pdf diunduh melalui www.scribd.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar