Masalah politik keimigrasian di Australia merupakan salah satu masalah yang sangat penting untuk pemahaman dalam rangka mengetahui arah kebijakan pemerintah Australia dalam bidang keimigrasian
Kemenangan Howard pada tahun 2001 sangat dipengaruhi oleh kebijakan imigrasi. Beberapa hari sebelum pemungutan suara, Howard menolak kedatangan 433 pencari suaka di kapal
Pendahuluan
Berbicara masalah politik keimigrasian di Australia, ada beberapa variabel terkait dengan masalah tersebut. Bob Birrell (2001), salah satu pakar terkemuka mengenai masalah politik keimigrasian di Australia mengatakan setidak-tidaknya ada tiga unsur utama dalam membicarakan masalah politik keimigrasian di Australia, yaitu:
- Masalah Kepentingan (Interests);
- Masalah Hak-hak imigran (Migrant’s Rights);
- Masalah Kekuasaan Negara (State’s Power);[2]
Politik keimigrasian di Australia secara umum mencerminkan kombinasi antara kepentingan domestik serta kepentingan internasional yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan keimigrasian / Migration Act 1958.[3]
Isu keimigrasian yang selalu didukung oleh dua partai mayoritas di parlemen membawa dampak yang menguntungkan bagi pihak eksekutif yang menjadi “decision maker” dalam pembuatan kebijakan keimigrasian, sehingga setiap muncul perubahan dalam kepentingan politik keimigrasian dapat segera direalisasikan secara mudah melalui amandemen undang-undang.
Secara domestik, di bawah kepemimpinan Perdana Menteri John Howard, kebijakan keimigrasian di Australia pada umumnya didominasi oleh kombinasi tiga elemen utama diantaranya: kepentingan rasional ekonomi, “nation building”, serta isu keamanan (security). Artinya, kebijakan keimigrasian akan selalu diarahkan pada asas efisiensi, pembangunan watak warga negara Australia serta menjaga integritas wilayah kedaulatan nasional Australia. Sedangkan secara Internasional, kebijakan keimigrasian di Australia selalu memperhatikan letak geopolitik negara tersebut yang memaksa Australia menggunakan pendekatan kewilayahan[4].
Lembaga Keimigrasian Australia
Kelembagaan
Secara kelembagaan the Department of Immigration and Multicultural Affairs merupakan suatu badan (Agency) departmental yang berada di bawah pemerintahan federal Australia. Lembaga ini dipimpin oleh seorang menteri yang juga merupakan anggota parlemen Federal Australia. Oleh karena itu Menteri DIMA bertanggung jawab kepada parlemen federal (federal parliament). Segala bentuk kebijakan (policy) maupun proses pembuatan UU tentunya harus berhubungan dengan parlemen federal. Menteri DIMA adalah ‘the Agency Minister’.
Kewenangan
Dalam menegakkan hukum keimigrasiannya, legal basis kebijakan Imigrasi Australia dilandaskan pada Migration Act 1958 bahwa berdasarkan UU ini dimana DIMA bekerja sebagai executive body dan menteri yang memimpin DIMA mempunyai beberapa hak eksekutif (discretionary executive power) dalam membuat Migrant Regulations dan Migration Directives serta berwenang menerima, memberikan, dan mengabaikan permohonan gugatan. Dalam menegakkan hukum keimigrasiannya, Australia mengenal tiga sistem peradilan gugatan (appeals) keimigrasian, yaitu merit review (the Tribunals) dan judicial review (the Courts) dan the Minister. Dalam sistem peradilan ini, DIMA sebagai badan pemerintah federal dapat mengajukan tersangka kasus pidana keimigrasian (projusticia) ke peradilan (the Courts)[5].
Selain itu pengaturan tentang pengadilan tinggi diatur di dalam konstitusi federal Australia pasal 51 nomor xix, xxvii, xxix dan pasal 71 konstitusi federal menyatakan :
“51. Legislative powers of the parliament. The parliament shall, subject to this Constitution, have power to make laws for the peace, order and good government of the Commonwealth with respect to :
naturalization and aliens
Immigration and emigration
External affairs
71. Judicial power and courts. The judicial power of the Commonwealth shall be vested in the Federal Supreme Court, to be called the High Court of
Kantor Pusat (Central Office) DIMA mempunyai 9 (sembilan) divisi utama yang membantu menteri dalam melaksanakan tugas-tugas penting departemen yang memiliki fungsi-fungsi utama di dalam kehidupan masyarakat yang salah satunya adalah “Refugee and Humanitarian Division”. Ini merupakan bukti bahwa pemerintah
Sektor keimigrasian dalam bidang kebijakan terhadap pencari suaka (asylum seekers) juga mengalami perubahan yang signifikan. Pemerintah lebih memperketat jalur banding ke pengadilan bagi mereka yang status pengungsinya ditolak oleh DIMIA. Lebih lanjut, pada tahun 1992, di bawah pemerintahan Perdana Menteri Paul Keeting, DIMIA mengajukan Rancangan Undang-Undang yang mewajibkan para pejabat DIMIA untuk menempatkan para ilegal imigran yang ada di Australia di Tempat Detensi Keimigrasian (Immigration Detention). Hal senada juga berlaku terhadap para pencari suaka yang masuk ke
Dalam penyusunan suatu kebijakan keimigrasian di Australia melibatkan beberapa “client politics” yang merupakan suatu kelompok aktor politik yang berasal dari luar (external stakeholders) seperti para pengusaha, kelompok etnik maupun kelompok yang pro terhadap program migrasi pemerintah Australia lainnya[8]. Keberadaan kelompok ini sangat di akomodasi oleh pemerintahan partai buruh pada saat itu, seperti dibentuknya lembaga multikultural Australia yang merupakan wadah bagi para aktor lobi etnik yang mempunyai jaringan khusus dengan pemerintah federal untuk memberikan pengaruh dalam penyusunan program migrasi di Australia. Ataupun, di bentuknya biro penelitian keimigrasian yang menjadi wadah bagi para intelektual di bidang keimigrasian untuk menghasilkan produk penelitian yang bisa membantu pemerintah dalam penetapan kebijakan keimigrasian.
Namun demikian, sejak awal tahun 1990an, eksistensi kelompok ini mendapatkan tantangan yang disebabkan oleh dua hal utama. Pertama, munculnya kelompok aktor yang berada di luar jaringan politik yang dibentuk pemerintah. Mereka pada umumnya menentang program migrasi pemerintah dengan cara memobilisasi masyarakat untuk menentang program migrasi tersebut. Kedua, dengan alasan banyak lahan pekerjaan yang direbut oleh para pekerja migran dan bertambahnya biaya beban tanggungan bagi kehidupan mereka di Australia, kelompok ini secara intens memberikan ‘serangan’ kepada pemerintah federal atas kebijakan keimigrasian yang telah dibuat.
Lebih lanjut, debat mengenai masalah keimigrasian ini juga ditransformasi dalam isu mengenai masalah biaya beban tanggungan dan kerugian Australia itu dikaitkan dengan masalah antara migrasi dan multikulturalisme. Pasalnya, menurut opini masyarakat, semakin multikultural maka akan semakin banyak para migran, dan inilah yang tidak dikehendaki oleh mereka.[9]
Perlu diketahui, bahwa pada akhir tahun 1980an, Australia membentuk suatu kebijakan yang dinamakan “bipartisanship consensus”, artinya ada suatu kesepakatan antara dua partai utama (labour dan coalition) untuk menempatkan isu keimigrasian di luar agenda debat politik. Lebih lanjut, konsensus ini melibatkan pula aktor lainnya yang termasuk di dalam kelompok “client politics” yang tentunya memberikan dukungan terhadap kebijakan pemerintah di bidang keimigrasian.[10]
Isu keimigrasian di Australia juga tetap rentan terhadap masalah politisasi, khususnya kepentingan politik domestik di Australia. Salah satu aspek politik domestik yang sering terkait dengan kasus internasional adalah dinamika politik berupa pertarungan atau konflik politik. Penanganan kasus Kapal Tampa oleh Perdana Menteri Australia John Howard adalah hasil dinamika politik domestik.
Teori Kebijakan Publik
Menteri DIMA juga mempunyai kekuasaan berupa ‘ministrial discretion’ (diskresi oleh Menteri DIMA). Dalam hal ini, menteri dapat melakukan intervensi terhadap suatu keputusan administratif yang dibuat oleh pejabat DIMA, maupun menteri dapat mengeluarkan suatu keputusan yang tidak diatur oleh peraturan perundang-undangan jika keadaan tersebut dimaksudkan untuk kepentingan publik (public interest). Misalnya, jika ada sebuah permohonan visa yang telah ditolak oleh pejabat DIMA maupun oleh pengadilan, maka menteri bisa menarik kembali keputusan tersebut dan mengganti dengan keputusan yang baru. Ataupun, dalam suatu kondisi tertentu, menteri DIMA dapat mengeluarkan suatu keputusan administratif yang tidak diatur di dalam peraturan perundang-undangan.[11]
Namun demikian, masalah ‘ministrial discretion’ ini banyak ditentang oleh kalangan baik akademisi, maupun para kelompok-kelompok kepentingan (interest groups). Mereka berpendapat, bahwa pengertian “sepanjang menyangkut kepentingan publik” itu tidak ada parameternya, oleh karena itu bisa saja menteri DIMA mengeluarkan kebijakan yang hanya menguntungkan bagi partainya maupun diri sendiri.
Australia juga mengembangkan suatu konsep baru dalam melakukan proses penentuan status terhadap pengungsi melalui kebijakan “offshore processing center” dengan bekerjasama melalui negara-negara di kawasan pasifik, yaitu Nauru dan PNG yang menjadi tempat “processing center”. Australia juga telah mengembangkan “regional cooperative arrangements” yang terdiri dari departemen imigrasi Australia (DIMA), aparatur keimigrasian Indonesia (termasuk POLRI dan TNI AL) serta IOM dan UNHCR yang tujuannya adalah untuk melakukan “intercept” terhadap calon pencari suaka yang mencoba masuk ke Australia secara ilegal melalui Indonesia sebagai negara transit. Dalam hal ini menurut Menteri DIMA, Senator Amanda Vanstone, kebijakan tersebut jauh lebih efisien dibandingkan dengan melakukan “processing” di “mainland” Australia yang akan memakan biaya yang sangat besar.
Meskipun dalam banyak kasus, praktek “offshore processing” ini banyak mendapat kritik dan perlawanan secara hukum dari berbagai kalangan karena bertentangan dengan kewajiban Australia sebagai pihak penandatangan konvensi 1951 mengenai pengungsi, namun karena keberpihakan dari sistem politik dan sistem hukum negara-negara yang menerapkan konsep ini selalu menjadikan pemerintah sebagai pihak pemenang.
Kasus Tampa
Kepentingan
Peristiwa konkrit yang terjadi ketika itu adalah pada masalah pencari suaka yang ada di kapal Tampa. Pemerintah Howard yang pada saat itu sedang menghadapi pemilu tahun 2001 memanfaatkan isu tersebut dalam kampanye pemilunya. Ditambah dengan bersamaan munculnya isu terorisme pada saat penyerangan teroris ke gedung WTC dan pentagon di Amerika Serikat. Hasilnya 77 % rakyat Australia mendukung keputusan Howard untuk menolak masuk para “asylum seekers”.[12]
Pada saat itu, pemerintahan Howard yang sedang menjadi incumbent government memanfaatkan isu keimigrasian untuk meraup sisa suara (margin voters) dari pihak oposisi partai buruh untuk memenangkan pemilihan umum.
Masalah kepentingan ini akhirnya dapat ditarik kesimpulan bahwa banyak kelompok-kelompok kepentingan (interests groups) di Australia yang ingin terlibat dalam pembuatan suatu kebijakan keimigrasian. Meskipun peranan mereka cukup eksis di masyarakat akan tetapi pemerintah yang sedang berkuasalah yang pada akhirnya menentukan arah kebijakan tersebut. Hal ini ditambah pula bahwa eksekutif (pemerintah) diberikan hak yang luas dalam menentukan siapa saja yang diperbolehkan masuk ataupun keluar dari wilayah Australia sebagaimana tercantum di dalam konstitusi federal Australia tahun 1901, Pasal 51, nomor xix, xxvii, xxix.
“51. Legislative powers of the Parliament. The Parliament shall, subject to this Constitution, have power to make laws for the peace, order, and good government of the Commonwealth with respect to:
(xix) Naturalization and aliens
(xxvii) Immigration and emigration
(xxix) External affairs”
Kekuasaan Negara
Dalam kasus
Penutup
Masalah politik keimigrasian di Australia merupakan salah satu masalah yang sangat penting untuk pemahaman dalam rangka mengetahui arah kebijakan pemerintah Australia dalam bidang keimigrasian. Australia telah mengeluarkan UU mengenai “Border Protection” yang salah satu dari isinya adalah mengeluarkan beberapa wilayah di Australia dari “migration zone” (exicised), seperti Christmas Island, Cocos/Keeling Island, Ashmore Reefs, serta beberapa instalasi-instalasi di lepas pantai milik Australia. Artinya adalah bagi seseorang yang masuk ke salah satu wilayah Australia dimaksud secara ilegal untuk mencari suaka tidak lagi diperlakukan sebagai “onshore entry” melainkan sebagai “offshore entry” yang membawa konsekuensi bahwa mereka tidak dapat lagi melakukan permohonan untuk mendapatkan visa Australia sebagaimana biasanya dan tidak dapat mengajukan keberatan/banding kepada lembaga pengadilan maupun tribunal imigrasi untuk mengajukan klaim status keimigrasiannya. Lebih lanjut, bagi mereka yang masuk secara ilegal ke salah satu wilayah tersebut harus ditempatkan pada “Immigration Detention House” sambil menunggu proses penentuan status keimigrasiannya ditetapkan (mandatory detention).
Namun walaupun dalam banyak kasus, praktek “offshore processing” ini banyak mendapat kritik dan perlawanan secara hukum dari berbagai kalangan karena bertentangan dengan kewajiban Australia sebagai pihak penandatangan konvensi 1951 mengenai pengungsi, namun karena keberpihakan dari sistem politik dan sistem hukum negara-negara yang menerapkan konsep ini selalu menjadikan pemerintah sebagai pihak pemenang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Brendan O’Connor, ‘The Intellectual Origins of WelfareDependency’, Australian Journal of Social Issues, Vol. 36, No. 3, August 2001, hal. 221-236.
2. Paul Kelly, The End of Certainty: Power, Politics and Business in
3. Williams, P. (2002)
4. 203.122.254.169:8080/amlibweb/lib/Subjects/Issues/immigration.pdf
5. Bob Birell dikutip dalam http://www.workpermit.com/australia/general-skilled-migration.htm
6. Prof James Pulp dalam artikelnya diunduh dari www.multiculturalaustralia.edu.au/library/select/Documents/by/Subject/under/Cultural-Studies
7. www.businessandlaw.vu.edu.au/immlaw/migration_law.asp
8. http://www.aph.gov.au/library/pubs/CIB/2001-02/02cib05.htm
9. Protocol Relating to the Status of Refugees, opened for signature
10. John Tully dalam
11. http://www.australia-migration.com/page/Migration_Information/9
12. http://www.anu.edu.au/pad/reporter/volume/32/14/opinion/tampa2.html
[1] Brendan O’Connor, ‘The Intellectual Origins of WelfareDependency’, Australian Journal of Social Issues, Vol. 36, No. 3, August 2001, hal. 221-236.
[2] Bob Birell dikutip dalam http://www.workpermit.com/australia/general-skilled-migration.htm
[3] Prof James Pulp dalam artikelnya diunduh dari www.multiculturalaustralia.edu.au/library/select/Documents/by/Subject/under/Cultural-Studies
[4] www.businessandlaw.vu.edu.au/immlaw/migration_law.asp - 30k -
[6] Protocol Relating to the Status of Refugees, opened for signature
[7] 203.122.254.169:8080/amlibweb/lib/Subjects/Issues/immigration.pdf
[8] Paul Kelly, The End of Certainty: Power, Politics and Business in Australia, 2nd edition, Allen and
Unwin, St Leonards, 1994, hal.261.
[9] John Tully dalam
[10] Williams, P. (2002)
[11] http://www.australia-migration.com/page/Migration_Information/9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar