Rabu, 21 Juli 2010

Indonesia, Izinkan Saya Mencintaimu Dengan Tidak Hanya Sekedar Iklan

Saya suka sekali melihat iklan. Entah mengapa saya suka sekali melihat bagaimana orang mengemas sedemikian rupa wajah dagangannya menjadi sempurna, tanpa cela. Tapi kali ini sebuah iklan saya lihat sangat lain, karena mempertanyakan keabsahan diri.
Waktu kudibangun dulu aku bertanya jadi apa
Akankah besar ataukah kecil
Jadi pujaan atau terabaikan

Dalam hati saya bergumam, untung saja iklan itu hanya berbicara tentang semen. Karena saya berharap pahlawan-pahlawan bangsa ini jangan pernah mendengar lagu itu. Kenapa? Saya takut mereka membayangkan ibu pertiwi ini dewasa ini? Kenapa saya sedemikian takut? Karena sekarang ini Indonesia adalah parodi iklan. Siapa nanti yang akan menjawab hari ini apakah negeri ini jadi pujaan? Atau terabaikan? Semuanya kabur, kalaupun ada yang mau menjawab, saya takut mereka hanya beriklan.
Masih tentang iklan semen tadi, saya benar-benar dibuat heran, di zaman ketika orang lupa bagaimana bercermin melihat ke diri sendiri, masih ada iklan yang justru mempertanyakan eksistensi diri sendiri. Apakah tidak takut dagangannya tidak laku. Sudah, jawab saja akan besar, tidak perlu mempertanyakan jadi pujaan atau terabaikan, habis perkara. Namun lagi-lagi saya maklum, namanya saja iklan yang aneh.
Nama saya Ririn Oktaviani, pelajar kelas 2 SMA yang hendak menulis nasionalisme di kalangan anak muda. Sebelumnya saya berfikir, apa yang akan saya tuliskan ini tidak akan menjadi menarik. Dalam hati saya, nasionalisme macam apa yang bisa diberikan oleh gadis 17 tahun berseragam abu-abu seperti saya? Mencapai ranah pemerintah jelas mustahil bagi saya, menjaga perbatasan? lebih tidak masuk akal bagi saya.
Saya bingung, nasionalisme macam apa yang harus saya tulis. Kalaupun saya harus menulis nasionalisme di kalangan generasi muda, berarti saya harus bicara tentang nasionalisme macam apa yang tersemat dalam diri generasi saya. Saya bingung harus memulai dengan apa, karena tidak mungkin saya menuliskan berapa kali tawur pelajar dan mahasiswa menjadi headline di media massa, ataupun memaparkan berapa banyak generasi muda bangsa ini yang kemudian terpuruk oleh facebook. Kalaupun saya harus menceritakan berapa banyak generasi muda negeri ini yang masih mendengarkan karawitan dan lain sebagainya, siapa yang harus saya ceritakan?
Meskipun demikian, saya, Ririn oktaviani, pelajar kelas 2 SMA, belum cukup sampai hati untuk mengatakan negeri ini terabaikan dan tidak jadi pujaan. Tidak, paling tudak saya lebih berbesar hati untuk meyakini bahwa negerri ini belum jadi pujaan, dan tidak boleh terabaikan. Namun sekali lagi saya sadar, tidak mungkin saya dapatkan jawaban bagaimana bangsa ini menjadi pujaan jika saya terus saja hanya beriklan.
Sudah terlalu banyak orang beriklan. Bicara cinta pada Indonesia. Lihat saja berdasarkan laporan dari suatu Lembaga Riset SDM di region Asia Tenggara menunjukkan bahwa Indonesia mempunyai daya saing terendah dari 49 negara yang diteliti, dan mereka yang seharusnya paling resah dengan kondisi ini belum juga berbuat apa-apa. Namun tak pernah lelah mereka beriklan, bahwa mereka cinta Indonesia.
Kemiskinan adalah bagian dari wajah bangsa ini. Dari data BPS (2000) menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia Tahun 1999 mencapai 37.1 juta (18.0%), bila dibanding Tahun 1996 sekitar 34.5 juta (17.7%) yang berarti bahwa terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin sekitar 0.3% dari penduduk Indonesia. Jika mencermati dan mendalami angka tersebut membuat kita tercengang sebab ternyata bahwa ada sekitar 37.1 juta penduduk yang hidup dalam kemiskinan. Hal ini sebenarnya merupakan masalah yang sangat serius dan urgen untuk segera ditangani. Mereka terus saja berdebat, tanpa tahu rakyat sudah lelah menunggu mereka lekas berbuat. Dan terus saja mereka beriklan, mereka cinta Indoesia.

Saya Berfikir Maka Saya Ada
Permasalahan bangsa ini memang sedemikian pelik. Karenanya saya yakin butuh kekuatan besar untuk merampungkan segala problematika. Dan pemuda, adalah golongan yang harus pertama kali diberi pertanyaan, yakni bagaimanakah cara terbaik untuk mencintai bangsa ini?
Barangkali saya akan mendapat jawaban dari pertanyaan tersebut dengan berfilsafat. Plato mengibaratkan orang yang berfilsafat seperti orang yang keluar dari gelapnya gua gelap gulita tanpa penerangan melihat terangnya cahaya pencerahan. Maksudnya dengan berfilsafat orang akan diterangi cahaya kebijaksanaan sehingga mampu membeda-bedakan segala sesuatu secara benar. Sedangkan tanpa berfilsafat, orang hanya akan hidup dalam kegelapan ketidaktahuan yang menyesatkan.
Filsafat berakar kata philos dan sophia yang berarti gandrung akan kebenaran. Ciri dari kegandrungan adalah adanya upaya seseorang untuk mengejar sesuatu yang menjadi kesenangannya. Demikian pula bagi orang yang gandrung akan kebenaran, ia akan mencari kebenaran itu sampai kapanpun dan dimanapun kebenaran itu berada.
Filsafat menurut Wittgenstein bertugas ”menunjukkan pada lalat yang terperangkap pada sebuah botol untuk keluar dari masalahnya”. Artinya, dengan berfilsafat akan mengajak orang untuk memikirkan segala tindak-tanduknya dalam kerangka kebenaran tanpa harus menghancurkan kebenaran orang lain guna menemukan jalan keluar terbaik dari sebuah permasalahan. Dengan demikian berfilsafat bertujuan untuk mencari sebuah kebenaran dari sebuah masalah dengan berpikir kritis, sistematis, radikal dan universal tanpa merugikan orang lain.
Tuhan mengajak saya untuk berfilsafat ketika saya menyaksikan tayangan Kick Andy beberapa bulan yang lalu. Saya berfilsafat dan pada akhirnya saya bangga dengan Indonesia. Andy Noya menghadirkan anak-anak bangsa yang berfilsafat dalam mencintai bangsanya. Betapa tidak? Di kala “senja” datang seperti 10 tahun belakangan ini, ternyata banyak prestasi anak bangsa yang terus bermunculan. Carilah ahli apa saja. Ingin ahli mikroskop electron? Ada 13 nama asli warga Negara Indonesia. Butuh ahli torpedo? 40 nama bisa disodorkan. Mereka serta ratusan anak bangsa lain dengan keahlian khusus bertebaran di negeri asing, mempersembahkan karya.
Andy Noya memperkenalkan seseorang yang tidak asing bagi keluarga saya kepada Indonesia. Beliau adalah Mas Agus, yang dulu mengajar les privat matematika kakak tertua saya untuk membiayai kuliahnya. Mas Agus yang dahulu menggenjot sepeda dari Gondolayu hingga rumah saya di Godean hanya demi menebus uang praktikumnya Mas Agus adalah salah satu diantara ratusan anak bangsa yang memiliki andil besar dibidang teknologi mitigasi pasca gempa, tingkat dunia. Berasal dari keluarga berekonomi serba mepet, kini dia sudah berhasil, melanglang buana di berbagai penjuru dunia. Tumbuh tanpa didampingi sang ayah, ketika dia masih sekolah, ibunya bekerja sebagai pembantu rumah tangga (dengan penghasilan hanya Rp 25.000,00 per bulan). Meski tinggal di tengah kota dan diapit tembok beton raksasa, namun tidak berarti membuat rumahnya yang hanya terbuat dari anyaman bambu menjadi ikut terlindung dari bocor dimusim penghujan. Tak kuat membayar biaya pemasangan listrik, membuat ia dan ibunya hanya diterangi dengan beberapa buah lampu teplok dari kaleng bekas setiap malam harinya. Sehingga untuk belajar malam, dia pun harus rela menumpang belajar di serambi masjid, setelah solat magrib sampai dengan sehabis solat isya.
Saat hendak masuk kuliah (di salah satu PTN terbaik di Indonesia) dan kesulitan biaya, tidak jarang Mas Agus berkeluh kepada ibu saya. Bukan supaya dicarikan biaya atau beasiswa, melainkan justru lebih ingin dicarikan kerja sambilan saja karena Mas Agus berprinsip tidak ingin mendapatkan sesuatu secara cuma-cuma.
Tapi masa sulit seperti itu, kini, tinggal menjadi masa lalu. Karena tak selang lama setelah kelulusan jenjang sarjananya, Mas agus mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi di Eropa. Dan setelah lulus S2, hanya selang setahun dari kepulangannya di Indonesia, ternyata dia mendapat kesempatan menuntut ilmu lebih tinggi lagi. Yaitu, S3 di Australia. Bahkan karena dianggap penting, desertasi S3 nya ssampai dijadikan proyek oleh PBB. Sebuah perjalanan emas, salah seorang anak bangsa.
Andy Noya mengenalkan saya pada Yudhistira Virgus. Pada tahun 2004 seorang anak bangsa berhasil meraih medali emas dalam Olimpiade Fisika Internasional di Pohang, Korea Selatan. Dari ratusan finalis yang ikut, dia mampu menjadi salah satu peraih medali emasnya dan mengalahkan 73 negara, termasuk Amerika Serikat. Tak mau ketinggalan dengan tim olimpiade bidang fisika, peraih emas olimpiade bidang Astronomi Internasional di Ukraina (2004) pun adalah seorang anak indonesia. Dengan belajar hanya menggunakan fasillitas “astronomi” seadanya, bahkan hanya bersekolah di sebuah kota kecil sebelah timur propinsi Jogjakarta, tepatnya Kabupaten Klaten. Bintang bangsa itu bernama Masyur Aziz. Masyur Aziz berhasil meraih medali emas olimpiade astronomi.
Satu nama lagi yang tak boleh lupa disebut adalah George saa. Betapa tidak, profesor fisika dari 30 negara hanya membutuhkan waktu tiga hari untuk menentukan pemuda17 tahun asal Jayapura, Papua, ini meraih emas dari tiga minggu waktu penjurian. Bahkan sebelum nama-nama peraih medali lainnya diumumkan. Paper bertajuk Infinite Triangle and Hexagonal Lattice Networks of Identical Resistor itu memenuhi semua syarat: kreatif, jelas, menyelesaikan masalah, dan yang terpenting idenya orisinal. George, yang biasa dipanggil Oge, memaparkan cara menghitung hambatan dari dua titik sembarang pada suatu jaring-jaring resistor yang membentuk segi tiga yang jumlahnya tak terhingga.
Menurut Ketua Yayasan Tim Olimpiade Fisika Indonesia, Profesor Yohanes Surya, Oge mengerjakan dengan hasil yang luar biasa dan akurat. Dalam dialog interaktif bersama Andy noya terpapar bahwa prestasi membanggakan bangsa ini bisa lepas kalau saja Oge tidak main kucing-kucingan dengan mamanya. Saat itu ia mendapat beasiswa ke Jakarta dari Pemerintah Daerah Papua setelah menjuarai Olimpiade Kimia tingkat daerah. Frangky Albert Saa, kakak tertuanya, membantu pelarian "anak mama" ini ke Jakarta, Juli 2003. Mereka yakin sang mama pasti akan melarang si bungsu pergi dari rumah. Pas menjelang George naik pesawat, baru ibunya dikabari. "Mama menangis selama dua minggu," kata Frangky. Oge memang berotak encer sejak kecil. Selama SD hingga SMP ia selalu meraih peringkat satu, padahal sering bolos sekolah. "Kalau tak ada uang 'taksi', saya tidak bisa ke sekolah," ujarnya.
Ayahnya, yang hanya pegawai rendahan di Dinas Kehutanan, sering tak punya uang untuk ongkos angkutan umum? ya 'taksi' itu? meski hanya Rp 1.000. Dia juga harus membantu ayahnya berkebun agar mereka lima bersaudara terhidupi. Tentu saja buku cetak barang langka bagi George. Beruntung, otaknya yang cerdas mampu meng-"kopi" penjelasan guru dikelas. Saat di kelas empat, gurunya menawari dia ikut ebtanas layaknya siswa kelas enam. Lagi, mamanya melarang karena kakaknya, Agustinus, saat itu duduk di kelas enam. "Sabar, tak usah sama-sama dengan Agus, biar Oge ujian sesuai dengan umurnya," pesan ibunya saat itu. Masa sulit itu berangsur susut setelah ia berhasil masuk SMA Negeri 3 Buper di Jayapura. Sekolah unggulan milik pemerintah daerah itu menjamin semua kebutuhan siswa, dari asrama, seragam, hingga uang saku.
Dari barisan putih abu-abu, bagaimana mereka memfilsafati nasionalisme. Lupakan sejenak kasus penculikan via facebook, tawuran pelajar yang memakan korban, ataupun kasus narkoba yang dialamatkan pada pemuda generasi ini, karena mereka hanya mencintai negerinya dengan sekedar iklan. Saatnya meretas optimisme dengan melihat gaya pemuda pilihan ini memfilsafatkan nasionalisme.
Tahun 2003, penelitian yang dilakukan seorang anak KIR kelas II SMA 6 Jogjakarta telah mampu membawa mereka memperoleh sertifikat tanda jasa (certificate of merit as Young Master Innovator in the field of Farming Technology) dari World Intellectual Property Right Organization (WIPO), dan Asean Youth Award on Entrepreneurship (2004). Penelitian mengenai “pemanfaatan bonggol pisang sebagai makanan alternatif pemenuh kebutuhan serat” itu, dilatar belakangi oleh banyaknya orang yang sakit karena kekurangan konsumsi serat. Sedangkan di dalam bonggol (akar) pisang kandungan seratnya (relatif) sangat tinggi. Padahal pohon pisang bersifat monokarpik (akan mati setelah satu kali berbuah), dan selama ini yang digunakan hanya bagian buah dan daunnya saja. Sedangkan bagian akarnya (bonggol) tak pernah dimanfaatkan. Bahkan dari perhitungan diperkirakan jumlah bonggol pisang di Indonesia mencapai 3juta ton/tahunnya dan hanya terbuang sia-sia. Maka bonggol (akar) pisang yang kaya serat ini kemudian diolah menjadi keripik berserat alami, guna membantu memenuhi kebutuhan diit serat masyarakat setiap hari.
Pada tahun 2004, Ika Rahmatina, anak kelas 1 SMA dari pelosok Bojonegoro,, saking pelosoknya, sampai-sampai hanya untuk menemuinya saja, Bapak Malik Fadjar, Mendiknas kal itu sempat harus datang sendiri ke sekolahnya di Bojonegoro , sebab saat itu disekolahnya belum terpasang pesawat telepon, begitu juga dirumahnya. Ika meraih Juara 1 Lomba Karya Tulis Ilmiah tingkat Asia Tenggara dengan penelitiannya tentang ”Pengaruh Biji Jarak Terhadap Masa Kehamilan Mencit”. Dan setelah meraih juara pertama se-Asean ini, karya tulisnya kembali dilombakan lagi se-Asia (di Cina) dan lagi-lagi memperoleh juara pertama. Siapa dia? Anak indonesia!
Mulyono, ketika masih menjadi siswa kelas III SMA 2 Pare, meski berasal dari keluarga sangat sederhana, dia mampu mendulang medali perunggu dalam ajang olimpiade Biologi di Brisbane, Australia. Sudah ditinggal ayahnya sejak usia satu tahun karena kecelakaan, ibunya yang sehari-hari bekerja sebagai pembantu dan buruh, serta jauhnya jarak rumah-sekolah (25 kilomeer) yang mengharuskan ia berangkat dengan naik angkot, setelah sebelumnya dia harus mengayuh sepeda dulu sejauh 6 km untuk mencapai jalan raya. Itupun dengan sepeda yang dibelikan saat dia masih duduk dikelas IV SD. Ternyata, kegigihan Mulyono membuahkan hasil luar biasa. Dia ikut mengharumkan nama Indonesia di kancah dunia. Peraih medali emas di perlombaan First Step to Nobel Prize (4 kali berturut-turut, mungkin lebih) tak pelak juga diraih oleh anak-anak indonesia (dan 3 diantaranya bahkan diraih oleh anak-anak dari Papua).
Selain keempat orang diatas tanpa disadari ternyata banyak generasi muda Indonesia yang berhasil mengukir prestasi ditingkat dunia. Dan pencapaiannya pun cukup spektakuler. Sebut saja Agustinus peter sahanggamu, Rezy pradipta, dan Widagdo Setiawan. Beserta 4 orang teman kuliahnya, oleh MIT (Massachusetts Institute of Technology), ketiga orang itu diutus sebagai delegasi guna mengikuti ”Boston Undergraduate Phisycs Competition”, yang merupakan kompetisi tujuh universitas top dunia: Harvard, Berkley, MIT, Stanford , Briston, California Institute of Technology (Amerika) dan Bremen (Jerman). Dari enam soal, Peter memperoleh hasil sempurna untuk tiga soal diantaranya. Reza juga tiga nilai sempurna. Alhasil MIT keluar sebagai juara umumnya. Tidak hanya sebatas itu..ada juga anak bangsa yang dipercaya menjadi satu dari delapan orang yang menembakkan proof ke Mars, yakni Rizal Hartadi.
Pada awal jaman kemerdekaan pun, banyak kisah kehebatan anak bangsa yang tak kalah menariknya. Seperti pada tahun 1950. Pada masa awal mempertahankan kemerdekaan Indonesia (pasca agresi militer belanda II, 1948) banyak rakyat indonesia yang terjangkit penyakit tetanus. Karena harga vaksin dari luar negeri sangat mahal dan situasi amat mendesak, maka dokter Sardjito membuat vaksin sendiri, dengan media tumbuh hanya menggunakan agar-agar (itu pun menggunakan agar-agar daur ulang) serta kaldu tempe. Dan ternyata, hasilnya optimal! Selain itu, dimasanya, beliau juga berhasil menemukan obat peluruh batu ginjal dari tanaman tempuyung yang selanjutnya dibuat dalam bentuk kapsul dengan nama Calcusol. Dan dijual dengan harga murah sesuai pesan beliau kepada putranya, agar karyanya dapat dijngkau kaum miskin.
Musik dan kesenian asli rakyat indonesia sangat beragam, indah, dan tidak kalah menariknya. Hingga, Malaysia yang “miskin” kesenian tradisional sempat mencoba mengklaim beberapa kesenian asli Indonesia sebagai miliknya. Pulau, keindahan alam, serta biodiversitas (keaneka ragaman hayati) Indonesia yang begitu menawan, tidak diragukan lagi, selalu diperebutkan oleh banyak negara di dunia. Namun sayang, oleh bangsa indonesia sendiri justru baru sedikit yang sudah dimanfaatkan. Oleh karena itu, ditangan anak-anak bangsa yang mau berprestasi dan mau gigih berjuang seperti merekalah, nasib bangsa Indonesia dipertaruhkan. Bak mutiara yang timbul dikala senja menjelang. Di saat bangsa ini mengalami krisis disegala bidang..justru timbul anak-anak ber-ide cemerlang, memberi secercah harapan.
Lagi-lagi saya teringat besutan iklan. Sedalam apakah lautan Indonesia nantinya, adalah sedalam usaha kita, generasi muda untuk meraih cita-cita. Seluas apakah Indonesia nantiny? Adalah seluas usaha saya untuk menguasai ilmu pengetahuan. Bapak Anand Krishna dalam buku The Gita of Management; Panduan bagi eksekutif muda berwawasan modern, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2007 mengetengahkan kaitan antara masa lalu dan masa depan dengan gamblang.
Apa yang disebut “masa lalu” tidak terputuskan dari “masa kini”. Apa yang disebut “masa depan” juga terkait dengan “masa kini”, walau tidak atau belum nampak; bukan karena ia belum ada, tetapi karena kita belum bisa melihat sejauh itu. Dapatkah kita memisahkan masa lalu dari masa kini? Apakah kita ada masa depan tanpa masa kini? Apakah kita dapat menciptakan garis pemisah yang jelas dan tegas antara masa kecil dan masa remaja; antara masa remaja dan masa di mana kita menjadi lebih dewasa, lebih matang, kemudian menua?
Dengan titik tolak pemikiran seperti itu saya mencoba merefleksikan sebuah Bangsa Indonesia. Masa Lalu Bangsa yang kita anggap sudah berlalu itu sesungguhnya tidak pernah berlalu. Ia hanya mengendap. Kemudian, yang muncul di permukaan adalah Masa Lain. Masa Depan yang tidak atau belum nampak itu pun sesungguhnya tidak muncul pada suatu saat tertentu. Kita semua sedang menuju ke Masa Depan; Masa Depan kita sedang dalam proses “menjadi”. It is a happening. Ya, Masa Depan tidak terjadi pada saat tertentu, tetapi adalah proses “menjadi” dari saat ke saat. Saat ini Bangsa Indonesia “merasa” hidup dalam Masa Kini. Apa betul demikian? Tidak juga. Ketika kami menulis kata-kata ini, untuk sesaat itu saja, untuk seberapa detik itu saja Bangsa berada dalam Masa Kini; sesaat kemudian, seperberapa detik kemudian, Masa itu berlalu sudah. Kendati demikian, apa yang kita lakukan saat ini menentukan apa yang dapat terjadi pada diri kita sesaat kemudian.
Berfilsafat adalah meyakini apa yang kita lakukan, dan melakukan apa yang kita yakini. Jikapun sekarang apa yang saya lakukan adalah hal kecil, tapi apa yang saya yakini adalah hal besar. George Saa, Mas Agus, dan yang lainnya mencintai Indonesia dengan berfilsafat karena keterbatasanlah yan mengajarkan mereka untuk mencintai Indonesia dengan apa yang mereka bisa, begitu bersahaja, namun dengan penuh keyakinan bahwa ini adalah bakti anak negeri. George Saa, Mas Agus, adalah generasi muda yang mengerti apa yang dinasehatkan Chairil Anwar dalam puisinya. Bahwa kerja belum selesai, belum apa-apa, dan belum bisa memperhitungkan arti dari empat lima ribu nyawa. Mereka yang dengan keterbatasannya memfilsafati bahwa mereka adalah pemilik tulang-tulang berserakan sepanjang Krawang-Bekasi.
George Saa, ataupun Mas Agus, adalah anak kampung yang mengabdi dan berprestasi bahkan tanpa terbersit untuk dihadiahi Toyota Crown seperti kaum berdasi yang tetap saja belum mengerti bagaimana memfilsafati arti cinta Indonesia. Saya heran, siapa yang aneh diantara mereka? Penunggang kendaraan dinas itu atau George Saa? Kenapa Goerge Saa tak kunjung beriklan? Sekedar meminta gelar kehormatan misalnya?
Itulah, memfilsafati cinta Indonesia adalah melihat cara George Saa dan yang lainnya memperjuangkan harga diri bangsa. Ketika mereka yang diberi fasilitas terus saja mencoreng nama bangsa dengan rentetan drama korupsi yang kian mewarta ke seluruh dunia, Oge dan Mas Agus sekuat tenaga mengabarkan bahwa Indonesia tidak hanya parodi Cicak dan Buaya, tetapi juga mutiara mutu manikam. Kata Oge,”Saya hanya tidak mau bangsa lain berfikir tidak ada anak pintar yang lahir di Indonesia,”. Dan kata-kata itu pula yang kemudian membuat Andy Noya menitikkan air mata, betapa bangganya ia terhadap putra Papua ini.
Saya yakin jika George Saa bertemu pencuri berkerah tersebut, dia tidak akan menceritakan keterbatasannya dengan penuh rasa iri terhadap mereka yang diberi fasilitas. Dengan penuh rasa bangga dalam sebuah tayangan dialog bersama Andy Noya, George bahkan dengan lantang berkata,”Tuhan maha baik, bagi mereka yang telah mencuri uang negara yang seharusnya digunakan untuk membeli buku bagi kami di daerah terpencil, lihatlah, bahkan akhirnya dunia memberi hadiah buku diktat kepada saya, pemuda Papua yang kalian sakiti, dengan cara yang sangat indah.”
Generasi muda mempunyai tanggung jawab besar dalam memperbaiki bangsa ini. Gelar sebagai Agent Of Change yang disematkan padanya semestinya menjadi spirit yang selalu menggelora sepanjang masa, karena ‘change’ adalah kemutlakan dalam kehidupan ini. Namun, pertanyaannya kemana kita pergi? Indonesia yang katanya ‘Tanah air beta’ ini tengah dihadapkan dengan beragam problematika. Krisis kepercayaan merebak ke setiap individu anak bangsa bersamaan luluhnya kejujuran, karena semakin meningkat krisis kepercayaan, maka ini indikasi semakin menurunnya kejujuran. Rakyat di negeri ini memang betul-betul diartikan sebagai rakyat, kalaupun ada yang melirik mereka, maka dapat dipastikan itulah masa-masa pilkada dan pemilu yang kata orang tua kita dulu ada udang di sebalik batu. Namun, ketika berbicara kesejahteraan dan kemakmuran maka itu hanya agenda yang kesekian kali dan prioritas masa ahir jabatan agar terpilih kembali.
Inilah sebagian kecil problem yang mendera bangsa ini, yang semakin hari semakin menggelinding menjelma menjadi bom waktu. Kalau generasi muda terdiam, acuh, apalagi apriori dengan semua ini, maka ‘kutukan’ para pendahulu kita angkatan 1908, 1928, 1945, 1966, 1974, 1998 yang telah mengorbankan segenap kemampuan mereka bagi keberlangsungan negeri ini lambat laun akan menimpa kita. Ia bisa berbentuk dangkalnya nasionalisme anak bangsa, pesimisme, dan kalau itu berobah menjadi apatisme, kata pahlawan reformasi Amin Rais, “Masih bisakah kita melihat masa depan kita dengan kepala tegak dan yakin diri?”
Dengan melakukan peran-perannya selaku creative minority, maka generasi muda tengah mengoret-oret masa depannya yang juga masa Indonesia. Seperti yang dikatakan para founding fathers bangsa ini, “Kalau kalian tidak menginginkan Indonesia hilang dari peta dunia, maka cintailah ia sepenuh hati, yaitu dengan keikhlasan.”
Dengan berfilsafat saya mengerti bahwa mencintai negeri ini adalah tidak sekedar berikrar, tetapi berikhtiar. Dengan meyakini kebenaran, saya paham bahma nasionalisme bukan hanya soal atribut tetapi lebih dengan bergelut. Siapapun saya hari ini, meskipun saya anak muda berusia 17 tahun, dengan berfilsafat saya optimis saya memiliki nasionalisme saya. Itu jika saya mempersiapka diri saya sebaik mungkin dengan penuh kejjuran dan keikhlasan agar kelak saya dapat berguna untuk pertiwi. Dengan berfilsafat, saya mencintai negeri ini dengan sederhana, cukup dengan bertanggung jawab pada masa depan saya. Dengan hal tersebut saya yakin saya sudah menjalankan ke-nasionalisme-an saya, yakni dengan berusaha sekuat tenaga untuk menjadi solusi, bukan menjadi masalah untuk bangsa ini. Dengan berfilsafat, saya yakin saya dapat mencintai negeri ini dengan cara saya sendiri. Toh pada waktu itu, untuk mengguncang dunia Presiden Soekarno cukup hanya meminta sepuluh pemuda saja, bukan sepuluh ahli perang ataupun seratus juru runding ulung. Pemuda seperti apa yang dinanti sang proklamator? Pemuda yang berfilsafat dalam mencintai negerinya tentu saja. Hari ini saya berfilsafat, dan saya menyadari bahwa dengan mencintai negeri ini dengan penuh kesahajaan dan pengabdian, saya telah menjawab apa yang dipertanyakan orang tentang nasionalisme generasi saya. Tak perlu saya pusingkan banyak fakta kesuraman generasi saya di luar sana, karena berfilsafat adalah tentang apa yang saya yakini. Saya mengerti apa yang saya yakini ketika saya belajar dengan tekun, dan kadang saya tak mengerti apa yang teman-teman saya yakini ketika mereka bergelut dengan narkoba, atau apapun yang membuat mereka lupa tugasnya sebagai anak bangsa. Yah, barangkali mereka lupa untuk sedikit berfilsafat untuk sekedar mendengar sayup panggilan pertiwi.
Hari ini saya berfilsafat, dan hari ini pula saya mengerti bahwa mencintai negeri ini adalah dengan mempersembahkan sekecil apapun yang saya bisa untuk kebesaran bangsa. Dengan berfilsafat saya sadar, bangsa ini lebih membutuhkan perbuatan kecil yang dilakukan secara massif daripada angan-angan besar segelintir orang. Indonesia akan menjadi besar, dan pemudanya yang akan mebesarkannya. Indonesia akan menjadi pujaan, dan pemudanya yang akan memperjuangkannya. Pemuda yang berfilsafat, yang tak sekedar beriklan.
Indahnya negeri tempatku berdiri
Berjuta warna di bumi pertiwi
Aku ingin terbang yang tinggi
Berbakti untukmu negeri

Sejauh apapun kai melangkah
Merah putih kan selalu kubela
Aku berjanji terus mengabdi
Cintaku untukmu negeri

Bait lagu dalam sebuah iklan tadi mengajarkan kepada saya untuk kembali berfilsafat. Jika tidak sekarang lalu kapan? Jika tidak saya lalu siapa?
DAFTAR PUSTAKA
Biro Pusat Statistik (2000). Laporan perekonomian Indonesia, Angkatan Kerja, Konsumsi, dan Kemiskinan Penduduk. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Kansil, C.S.T., Wignjosumarsono, Soe Hok Gie, dan Ibrahim, A. 1997. Pembinaan Kesatuan Bangsa. Kompartimen Perhubungan dengan Rakyat, Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (Edisi Repro). Jakarta: Dian Ilmu

Soetiksno, 1997. Filsafat Hukum. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Swantoro, F.S. 1991. Meningkatkan Kualitas Pendidikan Dasar dan Menengah dalam Untuk Kelangsungan Hidup Bangsa. Centre for Strategic and International Studies, Jakarta

Asian South Pacific Beurau of Adult Education (ASPBAE) and Global Campaign for Education dalam Annual Report of Human Development Index, file PDF diunduh melalui www.scribd.com

Prestasi Internasional, Bukti Pelajar Indonesia Berpotensi , diunduh melalui http://www.fisikanet.lipi.go.id. Diunduh 12 Maret 2010

Indonesia Is About Influincing The World , artikel diunduh 12 Maret 2010 melalui www.indonesiabisa.org/kamitidaktakut/tunjukinkaloloeindonesia/

Video documenter Kick Andy pada tayangan episode 28 Oktober 2009, courtesy Metro TV

1 komentar: