Rabu, 21 Juli 2010

Berharap Pada Ke-Menteng- an Obama; Romantisme atau Pragmatisme?

Layaknya menemukan karib lama yang hilang, penyambutan kedatangan Obama disikapi beberapa pihak dengan kebanggaan masa bocah sang Presiden di SD Menteng Jakarta Pusat. Media santer memberitakan bahwa kedatangan Obama memiliki romantisme bagi Presiden AS ke 44 itu. Dan hal ini pulalah yang kemudian membawa public pada prediksi yang berlebih mutualisnya hubungan Indonesia dan Amerika di tangan Obama. Terlebih dengan kedatangan Menlu AS, Hilary Clinton ke beberapa negara asia seperti Jepang, Indonesia, Korea Selatan, dan China. Kejutan memang karena Obama mendobrak tradisi sebelumnya, dimana kawasan Eropa dan Timur Tengah merupakan tujuan utama kunjungan kenegaraan pemerintah yang terpilih. Namun demikian, telaah kepentingan AS terkait kedatangan sang “anak menteng” tidak hanya selesai pada perkara memorabilia. Bagi Obama, nostalgia masa kanaknya di Indonesia menjadi it’s nothing jika dibandingkan dengan rasionalitasnya sebagai pemimpin dari sebuah negara besar yang sarat dengan kepentingan dan ambisi. Politik luar negeri AS adalah kombinasi antara prinsip dasar AS dan pragmatism yang didasarkan pada fakta dan bukti, bukan emosi. Kunjungan Obama ke Indonesia jelas mempunyai hidden agenda. Yang dilakukan pemerintah Obama saat ini sesungguhnya lebih merupakan implementasi ”change and continuity” yaitu kebijakan luar negeri AS yang di bangun atas dua pilar, yakni tetap mempertahankan sekutu lama dan membangun kemitraan strategis baru di negara-negara di Asia.

Pertama, agenda ekonomi AS. Agenda ekonomi yang menjadi pekerjaan rumah Obama adalah rekonstruksi ekonomi paska krisis global dan politik minyak. Fakta yang tak terbantahkan adalah Indonesia menduduki peringkat keempat di dunia dalam hal jumlah penduduknya yang hampir mencapai 300 juta jiwa dan potensi sumber daya alam yang sangat luar biasa. Pemerintahan Obama akan berusaha sekuat tenaga untuk melindungi pasar dalam negerinya. Pada situasi krisis ekonomi yang dihadapi saat ini, AS membutuhkan kawasan Asia Tenggara untuk pemulihan ekonominya. Semuanya tentu akan dibingkai dengan nama kemitraan strategis AS Indonesia yang komprehensif. Menlu AS Hillary Clinton, pernah mengungkapkan pernyataannya di depan komite hubungan luar negeri Senat AS bahwa Indonesia punya peran penting dalam mengatasi persoalan krisis ekonomi global sekarang ini, oleh karena itu Indonesia adalah salah satu negara yang perlu mendapat perhatian dari AS. Pangsa pasar yang sangat besar di kawasan Asia Tenggara (Asia Pasifik) dapat menjadi bumper bagi masalah akut perekonomiannya. Dalam konteks inilah, Indonesia dilihat AS sebagai negara yang memiliki posisi penting bagi kepentingan nasionalnya

Agenda lain dari AS tentu saja adalah mengamankan pasokan energinya. Hal ini berkaitan dengan tingginya konsumsi AS terhadap kebutuhan minyak. Populasi warga negara AS hanya 5% dari penduduk dunia, tetapi mengkonsumsi sedikitnya 25% fosil dunia. Blok Natuna adalah perhatian AS berikutnya setelah Blok Cepu. AS telah menguasai tambang emas terbesar di dunia, Freeport, minyak di Aceh, Exxon di Cepu, dan sejumlah sumber daya alam lainnya yang mempunyai nilai strategis. Oleh karena itu, Perdagangan bilateral antara AS dan Indonesia adalah inti utama kunjungan Obama ke Indonesia nanti. Perdagangan antar RI-AS mengalami kenaikan signifikan dari 18,5 miliar dollar AS (2008) menjadi 22,1 miliar dollar AS (Januari – November 2009).

Kedua, agenda politik AS. Selain agenda ekonomi, pasti terdapat agenda politik AS dalam upaya melanggengkan hegemoninya di dunia. Setidaknya ada tiga agenda politik yang diusung presiden Obama, yakni politik pencitraan AS terhadap negara islam, kepentingan besar AS terhadap ASEAN, serta ideologisasi demokrasi.

Indonesia adalah negara demokratis terbesar keempat di dunia, yang mayoritas berpenduduk Muslim dan dianggap cukup berhasil dalam upaya pemberantasan terrorisme di kawasan. Hal tersebut semakin didukung dengan perhatian dunia islam terhadap Indonesia yang telah memprakarsai Asian-African Conference on Capacity Building For Palestine. Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbanyak dan secara bersamaan menganut demokrasi dalam pemerintahaannya jelas diakui potensinya oleh AS. Dengan posisi itu, Indonesia diharapkan mampu memainkan peran yang semakin besar bersama AS dalam penyelesaian konflik di Timur Tengah. Pada sisi lain, AS juga memiliki kepentingan yang berhasil atas berjalannya demokrasi dan pembangunan di Indonesia yang diharapkan dapat menjadi model pembangunan negara-negara muslim lainnya.

Selain itu kepemimpinan Indonesia dalam berbagai forum kerja sama regional kawasan, ASEAN diharapkan menjadi kekuatan penyeimbang (balancer) terhadap kemunculan kekuatan-kekuatan baru seperti China, Rusia dan India di kawasan Asia Tenggara. Perhatian AS di kawasan Asia Tenggara sebenarnya bukan kepada Indonesia, melainkan lebih diarahkan untuk menghadapi semakin besarnya kekuatan Cina di berbagai bidang, karena AS memprediksikan Cina dapat menjadi negara yang paling berpengaruh setelah AS dalam 20 tahun kedepan. Hal ini menjadi penting mengingat Indonesia dan negara-negara di Asia Tenggara telah melakukan Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China pada 2010. Obama diprediksi akan mengembangkan pasar ekspor AS ke Indonesia, yang saat ini dibanjiri produk China. Menyelamatkan pekerja dan petani AS adalah prioritas Obama. Petani AS sekarang ini telah disubsidi 300 milyar US dollar untuk memenuhi kebutuhan ekspor ke Indonesia seperti gandum, kedelai, daging, bahkan garam. Saat ini perekonomian AS tidaklah sekuat dulu. AS tengah kewalahan akibat banjirnya produk China di pasar Asia.

Dapat dipastikan bahwa grand strategy AS adalah tetap menjunjung penyebaran demokrasi di seluruh dunia sebagai agenda utama kebijakan luar negerinya. Berjalannya demokrasi di negara seperti Indonesia tentu diharapkan bisa menjadi model good governance bagi negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara yang memiliki masalah pelanggaran HAM, seperti yang terjadi di Mynmar, kudeta di Thailand, bahkan praktek meluasnya korupsi di sejumlah negara, termasuk Indonesia sendiri. Itulah sebabnya pada akhir tahun 2008, Indonesia terpilih sebagai eligible country yang mendapat dana besar dalam rangkas program Millenium Chalenge Corporation (MCC) dari AS dengan klasifikasi compact. MMC sendiri adalah inisiatif dari AS yang disetujui oleh Kongres untuk bekerjasama dengan negara berkembang dalam mengurangi kemiskinan global menuju pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Namun dinamka politik luar negri AS dapat dianalisa bahwa AS dalam hubungan luar negerinya hanya melihat negara lain sebagai a Friend in dan tidak pernah melihat berdasarkan persamaan ideologi. Buktinya, AS memasukan negara-negara yang non demokratis seperti Mesir, Saudi Arabia, Pakistan, Singapura dan Turki. Demokrasi atau non Demokrasi sama saja apabila keduanya menguntungkan AS. Amerika-lah yang telah memperkenalkan kita pada kebaikan demokrasi bagi perdamaian, namun, Amerika juga yang membuat kita menjadi sulit untuk menerima bahwa demokrasi sejalan dengan perdamaian (war on terrorism). Dulu Woodrow Wilson membawa Amerika memasuki abad ke-20 dengan sebuah tantangan yaitu untuk membuat dunia aman bagi demokrasi, namun sekarang pemerintahan AS ingin membuat demokrasi aman bagi dunia.

Hubungan Indonesia- AS kini harus bersifat equal partnership. Momentum kedatangan Obama harus dapat menghasilkan pemecahan kebuntuan masalah ketidakjelasan jangka kontrak Freeport di Indonesia. Di bidang perdagangan, harus dikaji ulang pembicaraan mengenai proteksionisme AS dalam program buy american keberlanjutan nasib ekspor kayu Indonesia yang terkendala Lacey Act Amendment. Presiden SBY harus berani mengungkapkan secara tegas lagi kekecewaan bangsa Indonesia terhadap masalah Palestina, terkait Resolusi DK PBB No 1860. Terlebih dengan tindakan barbar Israel yang menembak kapal relawan yang juga menewaskan 3 relawan WNI. Satu hal lagi, jangan pernah lupa AS pernah memberlakukan sangsi embargo bantuan militer AS kepada Indonesia. Saat ini, masih ada catatan dari kongres dalam UU appropriasi khususnya terkait bantuan luar negeri AS dalam program Foreign Military Financing(FMF). Dalam UU Apropriasi itu, Kongres masih meminta Menlu AS untuk memberikan laporan mengenai kemajuan peradilan kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilakukan para perwira TNI di masa lalu dalam menggunakan dana FMF berjumlah $2 juta dari total $15,7 juta yang telah dialokasikan.

AS sering juga mengkritik ketiadaan toleransi di Indonesia seperti yang terlihat dalam masalah pembubaran Ahmadiyah atau kasus Munir. Bahkan Pemerintah AS adalah pendukung pemberlakuan otonomi khusus di Provinsi Papua Barat. Pemerintahan SBY seharusnya bisa mengatakan bahwa sungguhpun demokrasi sebagai sebuah sistem politik yang baik, namun tetap saja kondisi antara satu negara dengan lainnya juga sangat berbeda.

Hal terprnting yang harus dilakukan pemerintah adalah membuktikan bahwa kunjungan Presiden AS sekarang berbeda dengan pendahulunya. Terlalu dangkal menafsirkan kedatangan Obama hanya berdasar kerinduan akan kenangan masa kecilnya. Adalah ketegasan pemerintah Indonesia yang akan membawa Indonesia dalam bargaining position yang lebih baik terhadap AS. Jika Hugo Chavez cukup tegas untuk mengatakan bahwa Presiden Obama tidak layak mendapat Nobel. Ahmadinejad berani bicara soal berlanjutnya pembangunan Nuklir di negaranya, Cina bahkan berani mengusir raksasa Google keluar dari wilayahnya dan mengecam keras pertemuan Obama dengan Dalai Lama, dengan pertimbangan rational choice atas kepentingan nasional kita, sepatutnya kita lantang suarakan

Mau dibawa kemana hubungan kita, ku tak akan terus jalani tanpa ada ikatan pasti antara kau dan aku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar