Rabu, 21 Juli 2010

MODERNISATOR MUDA INDONESIA GENERASI OPTIMIS BUKAN GENERASI UTOPIS

Modernisator muda adalah keharusan yang sangat mendesak. Harus segera lahir-pemuda-pemuda yang tak lagi hanya mencemaskan dirinya sendiri, tetapi cemas dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Kecemasan yang disolusi dengan pikiran positif tentu saja, bahwa transformasi adalah agenda besar yang menjadi pekerjaan bagi generasi tumpuan pertiwi ini, yang diharapkan mampu menjadi iron stock, social control, moral force dan agent of change.
Sebagaimana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘adaptif’ merupakan suatu kata sifat yang bermakna leksikal ‘mudah menyesuaikan (diri) dengan keadaan’. Sedangkan, ‘progresif’ masih berupa kata sifat yang bermakna leksikal ‘berhaluan ke arah kemajuan’. Konsep manusia yang adaptif dan progresif ini berarti manusia yang mampu menyesuaikan diri dengan keadaan dan berubah ke arah yang lebih baik.
Think Globally, Act Locally, Change Personally. Adalah keyword dalam menjawab tantangan untuk menjadi generasi Generasi yang Paling Adaptif dan Progresif di Abad 21. Tantangan global abad 21 harus disolusi dengan wawasan dan kemampuan yang senantiasa ter-update sehingga bangsa ini dapat memanfaatkan globalisasi sebagai peluang. Untuk itu, generasi ini harus menguasai imu pengetahuan dan teknologi guna meningkatkan know to how nya terhadap isu-isu yang berkembang baik dalam tataran nasional maupun tataran global.
Bervisi global juga diartikan sebagai nasionalisme progresif. Generasi yang adaptif tentu taak akan mempersoalkan lagi identitas kesukuannya, karena visi globalnya akan membawa pada paradigma perlunya ketahanan nasional yang tangguh, bukan hanya ketahanan teritori tetapi yang jauh lebih penting adalah ketahanan sosial budaya. Generasi dinamis adalah generasi pluralis. Tak aka nada lagi peran di kursi parlemen. Karena generasi ini mengerti, mereka sedag berjuang bersama untuk satu tujuan Indonesia raya meskipun dalam perbedaan pandangan mengenai cara pencapaiannya. Nasionalisme positif akan membawa generasi muda untuk mejadi generasi yang haus prestasi. Generasi yang senantiasa ingin mengibarkan panji-panji kemenangan merah putih sejajar dengan bangsa lain. Pengabdian sesungguhnya yang diminta oleh abad 21, prestasi anak negeri dan kumandang lagu kebangsaan Indonesia raya di kampiun Internasional.
Act Locally merupakan implementasi dari without skipping out the local wisdom, tanpa melupakan kearifan lokal. Bukan dengan menghujat bangsa lain yang memplagiasi kekayaan budaya kita, namun dengan menjaga eksistensinya dengan ikut memajukan dan melestarikannya. Nilai-nilai etika ketimuran yang tumbuh dalam pribadi moderat adalah modal untuk menunjukkan ke-Indonesiaan generasi pemenang abad 21 ini. Mimi Rasinah, Bagong Kussudiarjo, dan Retno Maruti kini telah rapuh di usia senja, tetapi tidak dengan semangatnya. Akan tumbuh anak-anak muda yang akan meng-internasionalisasi Indonesia dengan meneruskan karya-karya maestro pendahulunya. Generasi ini yang akan mewarisi sang maestro, untuk kembali membuat dunia berdecak akan kekayaan khazanah budaya angsa kita.
Generasi adaptif dan dinamis abad 21 tidak akan menjadi korban hedonism yang berakibat pada cultural shock. Biarlah media internasional, ataupun artis sekaliber Hollywood mencibir kasus video amoral yang menjadi kesalahan anak negeri ini. Ini akan menjadi memori dunia yang terakhir akan sisi gelap generasi muda Indonesia, karena generasi ini membawa ingatan dunia pada prestasi-prestasi masa depan bangsa ini. Publik internasional akan dipalingkan pada kegagahan atlit serta pelajar berprestasi Indonesia yang gagah berkalung medali emas, persembahan bagi Indonesia.
Terakhir adalah Change Personally. Inilah yang menjadi keyword dari seorang modernisator, yakni perubahan. Bahwa memulai menjadi agent of change adalah memulai untuk selalu berusaha berkontribusi bagi persada Indonesia.. Bahwa modernisator adalah generasi yang benar-benar rela meyediakan dirinya untuk menjadi anak muda berprestasi yang akan berkontribusi besar bagi negeri ini dengan penuh dedikasi. Adalah generasi yang mengerti bahwa negeri ini merdeka dengan tumpahan darah, dan generasi yang mengerti bahwa merekalah yang memegang tanggung jawab besar akan harga pengorbanan pahlawan tersebut. Dengan integritas dan dedikasi, modernisator akan membawa Indonesia abad 21 menjadi Indonesia bebas korupsi. Sekali lagi, nasionalisme progresif adalah kekuatan, mental spiritual positif adalah pijakan, dan Transformasi Indonesia adalah cita-cita.

Mi Reflejo

Para ti
Lo que ves de mi
Es la realidad
Mas tu no conoces
El papel que la vida
Me hace actuar
Siendo asi
Yo puedo burlar
Mi mundo exterior
Pero al corazon jamas

Hoy no reconoci
A quien vi frente a mi
Mi reflejo no mostro
Quien soy en verdad

Un dia mas
Que me corazon tengo que ocultar
Todo mi sentir
Al final
Sabran como soy
Que pienso en verdad
Ese dia llegara, oh, oh

Hoy no reconoci
A quien vi frente a mi
Esa en mi reflejo
Se que no soy yo

No quiero aparentar
Quiero ser
Realidad
Mi reflejo no mostro
Quien soy en verdad

Y mi corazon sentir, volar
No soy, como quiero no
Y voy a cambiar
No debe ser asi
El fingir no es vivir
La que veo frente a mi
No aguanta mas

Ya no voy a ocultar
La que soy
Nunca mas
Un buen dia el amor
Me rescatara
Y ese dia
Quien yo soy se reflejara....

POSITIVE ATTITUDE, SIKAP KRITIS, KREATIF DAN INOVATIF MODAL DASAR MAHASISWA SEBAGAI SEORANG PROBLEM SOLVER.

Mengenal Peace Generation;

Memahami Damainya MAHASISWA Pluralis menyikapi Multikulturalisme

Mengapa Harus Lahir Pemuda Pluralis di Negeri Ini?

Jika kita memiliki pemimpin yang menghargai keberagaman (multikulturalismeI) maka kita dengan sendirinya akan beruntung. Tetapi jika kita mengutamakan keberagaman, maka mau tidak mau kita menyimpang dari semboyan Bhineka Tunggal Ika (K. H. Abdurrahman Wahid)

Kembali Gus Dur mengingatkan, memang harus generasi muda yang memfilsafati keberagaman dengan arif. Mengapa harus generasi muda, karena merekalah yang nantinya akan menjadi pemimpin bangsa ini. Gus Dur bercita-cita agar bangsa ini nantinya beruntung dengan memiliki pemimpin yang tidak mendahulukan kebhinekaan sebagai landasan, tetapi menjadikan ke-tunggal ika-an sebagai nafas perjuangan dan cita-cita pembangunan. Karenanya,harus tumbuh pemuda-pemuda pelopor yang menghargai keberagaman. Pemuda-pemuda harapan bapak bangsa itu harus segera lahir, tidak esok, tidak sepuluh tahun lagi, tetapi sekarang, hari ini juga. Dan yang pasti, pemimpin pluralis akan berjuang untuk keseluruhan bangsa Indonesia, dan bukan atas nama suku, agama, ataupun ras. Karena pemimpin pluralis mencintai bangsanya dengan berbagai kekayaan keragaman.

Sedemikian urgennya kesadaran multikulur sehingga pendidikan multikultural menjadi komitmen global sejalan dengan rekomendasi UNESCO, Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi UNESCO tersebut memuat empat seruan: (1) pendidikan seyogyanya mengembangkan kesadaran untuk memahami dan menerima sistem nilai dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, ras, etnik, dan kultur; (2) pendidikan seyogyanya mendorong konvergensi gagasan yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan solidaritas dalam masyarakat; (3) pendidikan seyogyanya membangun kesadaran untuk menyelesaikan konflik secara damai; dan (4) pendidikan seyogyanya meningkatkan pengembangan kualitas toleransi dan kemauan untuk berbagi secara mendalam.[1] Pendidikan multikultural memberikan kebermanfaatan untuk membangun kohesifitas, soliditas dan intimitas antaretnik, ras, agama, dan budaya telah memberikan dorongan bagi generasi muda dalam menanamkan kesadaran menghargai orang, budaya, dan agama, lain.

Dalam sebuah kelakarnya Gus Dur mengingatkan, jika Indonesia ingin damai, maka harus ada pemahaman yang secara ikhlas dan cerdas menghargai perbedaan sebagai bagian dari kekayaan budaya bangsa. Kesadaran multikultur harus dibangun sedini mungkin. Cita-cita Indonesia damai 2020 sangat bergantung pada penanaman berbangsa secara komperehensif. [2]

Mengenal Peace Generation; Mengenal Pahlawan Perdamaian Belia Indonesia

Peace Generation merupakan sebuah komunitas yang bergerak di bidang resolusi konflik dan perdamaian di kalangan anak muda (youth). Lahir di Yogyakarta pada 10 Juni 2002, Peace Generation terbentuk berdasarkan kesepakatan antara peserta dan panitia Youth Camp for Democracy and Peace (YCDP) yang diselenggarakan oleh Komunitas Cinta Damai Universitas Gadjah Mada dengan Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM pada 27 Mei-1 Juni 2002, di Pondok Tingal, Magelang.[3]

Melalui kegiatan Peace Camp yang diadakan secara rutin, para alumni program Peace Camp akan secara langsung menjadi bagian dari Peace Generation. Setiap tahun mereka melakukan kegiatan yang dikemas dalam bentuk Peace Camp dalam rangka membicarakan perdamaian dan segala macam aksiomanya. Hingga kini, program Peace Camp sendiri telah diadakan sebanyak enam kali; Youth Camp for Democracy and Peace (YCDP), 27 Mei-1 Juni 2002, di Pondok Tingal, Magelang, Student Camp for Peace yang diselenggarakan bagi pelajar SMU se-DIY di Wanagama, 7-11 Mei 2003, Peace in Our Neighbourhood bagi mahasiswa tahun pertama dan kedua, 23-27 Januari 2005, di Wanagama, dan Feeling Peace in Our School bagi pelajar SMU se-DIY dan Jawa Tengah, 13-17 Januari 2007 di Omah Jawi, Kaliurang Jogja Peace Amizing Race (JPAR) dan terakhir adalah Peace Adventura yang dihelat pada akhir tahun 2009.[4] Visi dari Peace Generation adaah mewujudkan masyarakat damai, sedangkan misi dari Peace generation adalah menjadikan Peace Generation sebagai wahana eksperimentasi keberbedaan dan menawarkan alternatif penyelesaian konflik nirkekerasan pada masyarakat. Adapun nilai-nilai yang menjadi dasar pemikiran dan aktivitas Peace Generation[5]:

  1. Youth, dimaknai sebagai spirit personil Peace Generation yang aktif, kreatif, dan dinamis sesuai dengan jiwa muda.
  2. Pluralism, bahwa pada dasarnya manusia diciptakan dengan latar belakang berbeda-beda, sifat, kondisi fisik dan psikis yang berbeda. Perbedaan ini menandakan bahwa tiap individu mempunyai potensi unik yang berbeda pula. Nilai ini berintisari bahwa perbedaan tidak sekedar diketahui (to be revealed), tetapi perlu ada penghargaan (respect), dan pemahaman (understanding) sehingga perbedaan menjadi bagian dari aktivitas sehari-hari.
  3. Non Violence, bahwa dalam setiap aktivitas maupun respon terhadap konflik yang terjadi di masyarakat, Peace Generation berusaha untuk menggunakan alternatif-alternatif penyelesaian masalah dengan cara nir-kekerasan.
  4. Participation, berlandaskan pada kesadaran bahwa Peace Generation adalah bagian dari masyarakat sehingga berbagai aktivitas yang dilakukannya merupakan wujud partisipasi dan apresiasi kepada lingkungannya. Participation juga menjadi acuan bahwa Peace Generation merupakan wahana partisipasi dan aktualisasi anggota dalam rangka memberikan kontribusi positif kepada masyarakat.

C. Catatan Damai Peace Generation dalam Menyusuri Jalan Panjang Menemukan Kesadaran Multikulturalisme

”Beri aku 10 pemuda, akan aku guncangkan dunia” (Presiden Soekarno).

Setiap tanggal 21 September, sejak Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2001 melalui resolusi 55/282, ditetapkanlah Hari Perdamaian Internasional. Ini adalah salah satu upaya demi menuai kedamaian hidup bersama di muka bumi. Jalan menuju perdamaian pun ramai diserukan oleh semua orang kahir-akhir ini, lebih-lebih oleh badan internasional sekelas PBB. Perdamaian seperti suatu idealita kehidupan yang dambakan bersama. Namun, di tengah gejolak konflik perang yang berkepanjangan dan ancaman inkonsistensi terhadap sistem dunia khususnya negara-negara adikuasa, perdamaian seperti sebuah utopia. Perdamaian seolah hanya menjadi proyek sarat kepentingan di pentas global.[6]

Saat ini waktunya kita mulai mengurai sebuah perspektif baru tentang perdamaian yang sedikit terlewatkan oleh institusi-institusi global di atas. Dari UGM melalui Peace Generation, nilai-nilai perdamaian dihadirkan dalam setiap kesempatan kapan dan dimana pun. Karena perdamaian ala peace generation, adalah suatu yang dekat, familiar, dan siapa pun dapat mewujudkannya. Perdamaian bukan komuoditas isu yang harus dilegokan dalam pentas lelang internasional. Namun, nilai perdamaian dapat dimulai dari diri sendiri, berlanjut kepada lingkungan keluarga, lingkaran sosial masyarakat, nasional, dan hingga dirasakan ke pentas internasional.

Peace generation bukan semata komunitas dengan rutinitas pertemuan dengan tanpa memberi kontribusi positif kepada masyarakat. Peace Generation adalah wujud nyata dari kesadaran sekolompok generasi muda bahwa tongkat estafet kepemimpinan bangsa ini sebentar lagi akan mereka genggam, dan sekaranglah saatnya untuk belajar menjadi pahlawan untuk bangsanya, belajar untuk mencintai rakyat dan masyarakatnya dengan cara-cara damai. Mereka menyusun agenda-agenda pembelajaran tersebut dalam sebuah agenda damai, yang akan menuntun mereka menjadi pahlawan yang memimpin dengan cara-cara damai, dan menjadi pembawa damai untuk mayarakatnya. Agenda-agenda ini merupakan pembuktian, bahwa mereka adalah generasi muda yang menjadi bagian dari solusi untuk bangsa ini, bukan bagian dari masalah. Merekalah harapan perdamaian masa depan Indonesia, yang belajar untuk menjadi “silent hero” dan bukan “pahlawan” yang haus publikasi.

Prestasi komunitas yang berdiri sejak 10 Juni 2002 ini tergolong cemerlang baik dalam negeri khususnya di lokal Jogja dan sesekali terlibat di berbagai kegiatan pemuda perdamaian di kancah internasional. Komunitas ini seperti sebuah rumah bagi semua generasi muda khususnya mahasiswa UGM dengan latar belakang berbeda baik agama, ras, etnis dan suku. Peace Generation telah melakukan penyebaran virus perdamaian khususnya kepada generasi muda dimulai dari Gadjah Mada, dimulai dari Jogja untuk Indonesia. Terbukti di daerah-daerah rawan konflik seperti Aceh dan Ambon komunitas ini telah menambatkan jejaringnya.

PION adalah bukti ketanggapan mahasiswa-mahasiswa ini dengan fenomena maraknya tawuran pelajar yang terjai di Yogyakarta kala itu. Jatuhnya beberapa korban jiwa membuat mereka tak hanya merasa cukup menitipkan masalah ini pada solusi represif institusi kepolisian. Mereka berbuat, dan PION adalah dedikasi mereka dalam menyelamatkan pelajar Yogyakarta dari ancaman perpecahan. Hal yang ssama juga mereka lakukan ketika terjadi perang SARA antara beberapa asrama mahasiswa yang ada di Yogyakarta. Dan yang menjadi poin utama bahwa ketika mahasiswa-mahasiswa ini belum mampu mencapai rnah publik, apa yang mereka lakukan dengan bahasa ke-muda-an mereka justru menjadi pemecahan masalah yangtak hanya efektif, namun juga damai dan tidak menimbulkan permusuhan sebagai bom waktu masalah yang baru.

Satu yang perlu dicatat adalah kegiatan non-agenda yang mereka lakukan selama gempa Yogyakarta 2006 berlagsung. Mereka tidur bersama ara pengungsi di tenda-tenda, melakukan program recovery dengan focus pemulihan psikis anak-anak korban gempa. Dua bulan mereka membagi diri untuk berada di Piyungan, Bantul, dan Klaten untuk menjadi sahabat bagi anak-anak yang tak hanya kehilangan rumahnya, tetapi juga orangtuanya, sahabatnya, atau mungkin gurunya. Dua bulan mereka datang sebagai konselor bagi anak-anak yang bahkan problematika paska gempa mereka tidak terbesit oleh para pembuat kebijakan.

Mereka Adalah Pemuda yang Memfilsafati Keberagaman

When I born, I Black,

When I grow up, I Black,

When I go in Sun, I Black,

When I scared, I Black,

When I sick, I Black

And when I die, I still Black…

And you White fella,

When you born, you Pink,

When you grow up, you White,

When you go in sun, you Red,

When you cold, you Blue,

When you scared, you Yellow,

When you sick, you Green

And when you die, you Gray…

And you calling me Colored??[7]

Puisi ini masuk menjadi nominasi puisi terbaik 2005 untuk festival anti rasisme ke 11 yang berlangsung di Yunani. Puisi ini ditulis oleh seorang anak Afrika yang bernama Aly El Shaly. Sebuah kritik pedas terhadap rasisme. Sebuah keragaman atas keberagaman. Dalam konteks keindonesiaan, puisi ini dapat dilihat sebagai gambaran fenomena gesekan bahkan konflik lintas suku, agama, dan antar aliran kepercayaan (SARA) di Indonesia dekade ini.

Pembicaraan “kedirian” yang kemudian mendefinisikan eksistensi antara we and the others telah embuat rasa kemanusiaan kemudian dilukai. Eksistensi diri dan cara pandang dalam melihat “yang lain” ini membawa konsekuensi sosial bagaimana sang subyek menempatkan dan memperlakukan “yang lain”. Prinsip, pandangan hidup, keyakinan, identitas, agama yang menjadi sumber identitas diri, nyatanya cenderung melahirkan ekspresi yang menganggap rendah terhadap the others, bahkan tak jarang meniadakan the others. Karena itu, dalam konteks keragaman hidup, mengakui perbedaan saja tidak cukup. Lebih dari itu, mengakui dan memberi ruang hidup bagi eksistensi ”yang lain” serta serius membangun koeksistensi yang dibangun atas dasar trust dan semangat kebersamaan seharusnya menjadi artikulasi diri dalam menyenandungkan irama kehidupan bersama entitas lain.[8]

Dan inilah yang dilakukan oleh anak-anak muda ini dalam memfilsafati keberagaman. Mereka mengenal keberagaman untuk kemudian mencintai kemanusiaan secara lebih kompleks. Mereka tidak mengenal “others” karena bagi mereka semuanya adalah kita, adalah Indonesia. Mereka adalah generasi kini yang sadar, semangat keberagaman dalam Sumpah Pemuda yang dahulu didengungkan di eranya, kini harus mereka warisi.

Peace Generation, Manifesto Agent of Change Universitas Gadjah Mada

Kau membuatku mengerti hidup ini

Kita terlahir bagai selembar kertas putih

Tinggal dilukis dengan tinta pesan damai

Dan terwujud harmoni

Sepenggal lagu milik Padi tersebut membawa saya pada kesyukuran besar. Bahwa di persada ini telah lahir anak-anak muda yang akan mengajari Indonesia untuk mengerti bahwa harmoni akan terwujud dengan tinta pesan damai. Dan harapan Gus Dur akan lahirnya pemimpin-pemimpin yang mencintai keragaman Indonesia kini bukanlah harapan semu. Indonesia telah memilikinya, mereka, anak-anak muda yang berbuat dengan karya nyata, yang benar-benar mempelajari indahnya keberagaman dengan benar-benar menjadi bagian dari keberagaman tersebut, seperti yel al selalu mereka nyanyikan: Viva La Diferentia. Dari Gadjah Mada, melalui Peace generation, kini saatnya meretaas optimitas akan pemimpin masa depan yang mempunyai kecakapan dan kesiapan untuk menunaikan pertanggunganjawaban terhadap pembangunan, pemeliharaan dan perkembangan kebudayaan dan hidup kemasyarakatan.

Mereka adala mahasiswa-mahasiswa yang sadar akan amanat konstitusi. Bahwa anggaran negara sebesar 20 persen yang dibiayai oleh rakyat melalui pajak untuk kelangsungan pendidikan mereka, memiliki konsekuensi tanggung jawab akan baktimereka untuk negeri. Terbukti, mereka adalah generasi muda yang berjiwa muda, penuh kebanggan, percaya diri dan berprestasi. Mereka adalah mahasiswa yang bangga akan keluhuran budaya Indonesia, memelihara keragaman Indonesia, dan yakin bahwa kejayaan Indonesia yang lebih besar masih menanti di masa depan. Mahasiswa-mahasiswa ini berorientasi pada peluang bukan rasa cemas, dipacu dengan energi positif bukan energi negatif, dengan wawasan yang terus menyongsong hari esok, dan dengan terus menonjolkan sikap moderat dan pluralisme sebagai kunci sukses. Jika UGM pernah mencatatkan nama Arko Jatmiko peneliti bonggol pisang, Leo Begawan robot Semar, Syammahfuz peneliti keramik kotoran sapi yang digelari Young Inovator Scientist oleh PBB, ataupun Annisa Gita Srikandini peraih beasiswa fullbright, merekalah mahasiswa-mahasiswa yang bekerja keras untuk kelangsungan Peace Generation. Mereka mahasiswa berprestasi, namun bukan mahasiswa berprestasi untuk dirinya sendiri. Leo pergi ke Sepang Malaysia tidak hanya untuk memamerkan robot Semar karyanya, namun juga untuk membuktikan, anak muda Indonesia datang ke Malaysia tidak hanya datang sebagai TKI, tapi scientist yang kompeten dan dihargai ke-Indonesia-annya. Syammhfuz mengembangkan perusahaan dengan mitranya peternak sapi krena tak ingin hanya menggantungkan pengentasan kemiskinan masyarakat pada MDG’s. Nilai-nilai “tidak hanya mencemaskan dirinya sendiri” inilah yang dipelajari melalui agenda-agenda Peace Generation.

Berpijak dari berbagai argumentasi dan narasi di atas, maka upaya-upaya untuk melakukan revitalisasi nasionalisme harus selalu disemaikan. Upaya ini juga harus didorong dengan penguatan wacana dan artikulasi multikulturalisme. Multikulturalisme adalah modal dasar dalam membangun dan mempertahankan eksistensi kebangsaan dan memperkuat semangat kebersamaan dalam mengahdapi berbagai tantangan baik dari dalam maupun dari luar. Asa itu nampaknya cukup bisa diharapkan dari generasi muda sebagai penerus bangsa ketika kita menatap Peace generation. Mengutip pernyataan Rektor UGM yang menyatakan mahasiswa UGM diharapkan menjadi mahasiswa yang tidak lagi cemas dengan dirinya sendiri, tetapi cemas dengan apa yang terjadi di sekitarnya, inilah wujud nyata ketika mahasiswa telah sadar akan potensinya untuk membangun lingkungannya.

Inilah konsistensi dari sebuah integritas, kesadaran anak negeri untuk mengerti, bahwa tugas besar dimulai hari ini. Inilah modernisator-modernisator muda yang akan meyelesaikan gagasan-gagasan besar yang belum dirampungkan pendahulunya guna menjawab tantangan kebangsaan baru. Modernisator yang menjaga gelora nasionalisme, dan terus bertumbuh semangat internasionalisasi Indonesia. Mereka adalah generasi pertama abad-21 yang dinamis merangkul perubahan dan dinamika sosial yang tumbuh di masyarakat dengan kehangatan pluralisme yang moderat. Generasi damai ini percaya kebangsaan Indonesia, kebhinekaan, demokrasi, dan pluralisme harus mereka bangun dalam nasionalisme yang sehat. Telah begitu banyak diberitakan Mahasiswa yang membakar ban bekas dalam menyuarakan aspirasi serta keinginannya, namun anak-anak muda ini, mereka membakar semangat kebangsaanya untuk memperjuangkan idealisme dan cita-cita ke-Indonesia-an mereka, cita cita kerukunan dan harmoni Indonesia dalam keberagaman.

DAFTAR PUSTAKA

Colletta N. J. dan Kayam U. 1997. Kebudayaan dan Pembangunan. Jakarta: Obor.


Kymlicka W. 2003. Kewargaan Multikultural.
Jakarta: LP3S. File pdf diunduh melalui www.scribd.org


Sularto S. (ed.). 1999. Visi dan Agenda Reformasi.
Yogyakarta: Kanisius.

Raho B. 2004. Sosiologi-Sebuah Pengantar. Jakarta: Dian Ilmu

Peace Generation, 2008. Pelangi Damaidi Sudut Jogja. Yogyakarta:PSKP UGM

Banks, J. 1993. Multicultural Education: Historical Development, Dimension, and Practice. Review of Research in Education. File pdf diunduh melalui www.scribd.org

Cunningham, William G. dan Paula A. Cordeiro. 2003. Educational Leadership A Problem-Based Approach: Second Edition. United States of America: Tara Whorf. File pdf diunduh melalui www.scribd.org



http://www.lampungp ost.com/cetak/ berita.php? id=2010010701374 263

http://www.peacegeneration.wordpress.org/home

http://www.poetrylibrary.org.uk/queries/faps/#27

http://bina-damai.net/images/downloads/Profil_JPG.pdf.



[1]Cunningham, William G. dan Paula A. Cordeiro. 2003. Educational Leadership A Problem-Based Approach: Second Edition. United States of America: Tara Whorf. File pdf diunduh melalui www.scribd.org

[8] Mengutip pernyatan Riansyah dalam Riansyah, Menguhkan Koeksistensi, Menumbuhkan Proeksistensi, Analisis Media Bulan Januari 2007, Puspek Averroes Malang file pdf diunduh melalui www.scribd.org

Analisa Kepentingan Politik Luar Negeri Australia Dalam Proposal Asia Pasific Community

Saat masih menjadi Shadow Foreign Minister, Kevin Rudd memformulasikan tiga pilar politik luar negeri (PLN) Australia yang mencakup The US Alliance, Engagement with the UN, dan Engagement with Asia. Setelah terpilih, Rudd tetap memegang formulasi PLN Australia dalam tiga pilar tersebut. Kevin Rudd berasal dari Faksi Kanan di dalam Australian Labour Party dan bukan dari faksi Kiri, oleh karena itu pandangan Politik Luar Negerinya tidak akan jauh berbeda dengan kebijakan pemerintahan konservatif sebelumnya, yaitu tetap akan mempertahankan aliansi militernya dengan AS.[1]

Dalam perkembangannya, rasionalitas pilihan Pemerintah buruh Australia memandang ada persamaan skala kepentingan yang besar antara kedekatannya dengan Asia maupun kepentingan menjaga hubungan baik dengan Inggris maupun AS.[2] Hal ini disebabkan adanya kepercayaan terhadap realitas politik bahwa hubungan Australia-Asia yang lebih intens akan lebih menentukan proyeksi Australia ke depan daripada sekedar memorabilia historis degan Inggris ataupun AS. Sementara itu, keterlibatan Australia terhadap PBB juga ditunjukkan oleh Kevin Rudd dengan menandatangani protocol Kyoto dan penarikan mundur pasukan Australia di daerah konflik, seperti di Irak dan Afghanistan

Rasionalitas kebijakan luar negeri Australia diarahkan oleh komitmen Australia terhadap multilateralisme dan regionalisme dalam hubungan bilateral yang erat dengan sekutu-sekutu utamanya. Setiap pemimpin Australia sadar betul akan kepentingan nasional Australia dalam konteks regional maupun global. Oleh karena itu kebijakan luar negeri Australia diarahkan untuk mencapai prioritas-prioritas utama yang ditetapkan untuk mewujudkan kepentingan nasional. Perhatian Australia saat ini terfokus pada freetrade, terorisme, kerjasama ekonomi dengan Asia dan stabilitas di Asia Pasifik.[3] Hubungan Australia dan komunitas internasional dipengaruhi oleh posisinya sebagai `a leading trading nation’ dan sebagai donor bantuan humanitarian yang cukup penting.

Salah satu faktor objektif penting yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Australia adalah karakteristik uniknya yang disebut Samuel P Huntington sebagai `a torn country’: secara kultural Australia merupakan bagian dari budaya Eropa, namun secara geografis menjadi bagian dari ‘komunitas Asia’. Karakteristik tersebut membuat Australia merasa dan dipandang oleh negara-negara tetangganya sebagai negara asing di kawasan Asia. Sebagai suatu geo-culturally torn country, Australia harus melakukan sejumlah penyesuaian-penyesuaian strategis sebagai upaya survive di lingkungan yang unik tersebut. Engagement dengan negara-negara tetangga terdekat di kawasan terdekat (Asia) adalah keharusan. Menjadi bagian dari an Asia Pacific nation telah menjadi prioritas orientasi PLN Australia.

Kevin Ruud dan Arah Kebijakan Luar Negeri Australia

Berdasarkan “Teori Personal Leader” yang dicetuskan oleh Margareth Hermann,[4] dijelaskan bahwa kontribusi karakteristik dan orientasi personal akan mempengaruhi perilaku atau respon aktor politik terhadap lingkungannya. Orientasi personal tersebut ditransformasikan menjadi orientasi kebijakan luar negeri. Hermann mendeskripsikan dua karakteristik utama pemimpin politik dalam hubungan internasional yaitu agresif dan konsiliatoris.[5] Agresif cenderung untuk terlibat dalam perang atau konflik, peningkatan kapasitas militer, kebutuhan terhadap power tinggi, memiliki trust yang rendah terhadap pihak lain, dan nasionalis. Sebaliknya, konsiliatoris cenderung untuk terlibat aktif dalam perjanjian internasional, kebutuhan terhadap afiliasi tinggi serta memiliki trust yang tinggi terhadap pihak lain, dan kurang nasionalis.

Sejak diangkat sebagai perdana menteri (PM) ke-26 Australia pada 3 Desember 2007, Kevin Rudd telah menunjukkan ke-moderat-an identitasnya pada jabatan pemimpin negara. Rudd memiliki kepribadian yang lincah dalam pergaulannya serta bersikap terbuka dan tidak pretensius. Secara pribadi, orientasi Rudd lebih mengarah kepada kecenderungan terhadap Asia. Hal ini terbentuk dari pengalaman kultural Ruud, yakni belajar bahasa dan budaya Tiongkok di universitas dan pernah tinggal lama di Beijing baik sebagai diplomat maupun konsultan bisnis. Kevin Rudd terlihat lebih ramah terhadap Asia mengingat latar belakang pendidikannya pada Pusat Studi Asia di Universitas Nasional Australia (ANU) dan keahliannya dalam berbahasa Mandarin.[6]

Dari gambaran karakteristik personal yang dimiliki oleh Ruud, dapat dilihat bahwa dengan latar belakang diplomat dan afiliasi Partai Buruh yang mendukungnya, kebijakan Rudd sangat berorientasi ke Asia. Rudd dikategorikan sebagai pemimpin yang konsiliatoris berdasarkan analisa produk kebijakan yang sudah dikeluarkannya selama menjabat sebagai perdana menteri Australia. Terlihat bahwa Rudd memiliki kecenderungan karakter personal yang lebih menitik-beratkan pada perjanjian dan kerjasama internasional serta afiliasi dengan pihak atau negara lain. Hal ini pulalah yang membawa Australia melalui kepemimpinan Kevin Rudd mengeluarkan gagasan besar mengenai desakan untuk membentuk suatu komunitas bersatu di Asia pasifik.

Asia Pasicif Community; Engagement With Asia

Australia adalah negara kekuatan menengah di Asia Pasifik yang sering melontarkan gagasan kerja sama multilateral di kawasan. Pada 1960-an Australia melontarkan gagasan Pacific Economic Cooperation Conference (PECC) dan pada akhir 1980-an, Australia pula yang melontarkan gagasan pembentukan Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) yang dibentuk pada 1989. Di dalam pidatonya kepada Asia Society Australia pada tanggal 5 Juni 2008, Ruud menguraikan tentang berbagai tantangan regional dan global yang dihadapi oleh Australia dan juga negara­-negara lain di kawasan, seperti perubahan iklim, krisis energi dan pangan dan munculnya kekuatan baru yaitu China dan India. Ruud melihat suatu kebutuhan akan adanya institusi-institusi regional yang kuat dan efektif dalam rangka menghilangkan beberapa keretakan di dalam hubungan antar negara yang terjadi saat ini sekaligus untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut.[7]

Gagasan PM Rudd tersebut menunjukkan adanya ambisi Ruud ingin agar Australia tercatat kembali sebagai negara pelontar gagasan kerja sama ekonomi, politik, dan keamanan di Asia Pasifik. Ide tersebut kembali ditekankan oleh KTT ASEAN ke-15 di Hua Hin, Thailand Oktober 2009 dan menjelang KTT APEC di Singapura November 2009.[8] Komunitas Asia Pasifik diharapkan bukan hanya dapat mendorong kerja sama dan aksi dalam menghadapi isu-isu ekonomi, politik, dan keamanan, melainkan juga dapat mengembangkan apa yang disebutnya sebagai genuine and comprehensive sense of community. Diharapkan, komunitas terebut menjadi arsitektur keamanan baru yang dapat mencegah terjadinya konflik kepentingan terkait dengan ekonomi, politik, dan keamanan di kawasan Asia Pasifik. Dalam pandangan PM Rudd belum ada mekanisme regional yang mampu mencapai tujuan-tujuan tersebut.

Gagasan tersebut memang mirip dengan apa yang terjadi di Atlantik Utara ketika beberapa negara Eropa Barat membangun Komunitas Keamanan Pluralistik melalui Treaty of Rome, 1957. Dari awalnya hanya sebagai komunitas yang mengatur penjualan batu bara dan biji besi kemudian berkembang menjadi Masyarakat Ekonomi Eropa, Masyarakat Eropa, Pasar Tunggal Eropa, dan kemudian menjadi Uni Eropa. Sebagai akibat perang atau konflik kepentingan yang datang silih berganti selama beberapa abad di Eropa, negara-negara di kawasan tersebut mulai concern terhadap penghentian perang dan menciptakan suatu sense of community. Hal ini dalam konsep Karl Deutsch disebut sebagai dependable expectation of peaceful change yang bermuara pada terciptanya durable peace, stability and prosperity in the region.[9]

Menurut "The Australian" mengutip pernyataan PM Rudd,[10] kesepakatan perdagangan bebas akan tercakup dalam APU. Institusi regional akan memberikan ruang kerja sama bagi masalah-masalah global seperti terorisme dan keamanan energi jangka panjang. Menurut Rudd, aliansi yang akan diwujudkan tahun 2020 tersebut, akan menjadi wadah dialog, kerja sama dan aksi ekonomi dan politik guna menghadapi tantangan masa depan regional, yang berkaitan dengan isu-isu keamanan. Untuk itu, Kevin Ruud menginginkan Uni Asia Pasifik berbentuk serupa dengan aliansi keamanan Uni Eropa. Institusi tersebut juga akan ditopang lima negara pilar yaitu Amerika, Jepang, China, India, Indonesia, dan Australia.

Analisa Kepentingan Australia Bagi Terbentuknya Asia Pasific Community.

Munculnya proposal tentang Komunitas Asia-Pasifik ini membawa beberapa implikasi mendasar untuk dikaji lebih mendalam.

Pertama, ide ini selaras dengan pilar-pilar politik luar negeri Australia yang telah ditetapkan di bawah administrasi Partai Buruh. Komunitas Asia­ Pasifik diharapkan dapat menjadi salah satu strategi penting untuk menciptakan keterlibatan secara komprehensif (comprehensive engagement) dengan negara-negara tetangga di Asia. Di samping itu, keterlibatan ini penting untuk meminimalkan kemungkinan munculnya persaingan dan konflik yang mengakibatkan ketidakstabilan regional[11] dan tentunya juga keamanan nasional Australia.

Analisa selanjutnya yang bisa dilihat adalah trend yang terjadi di dunia internasional dengan pembentukan blok-blok kerjasama per regional, sebut saja UE, ASEAN yang berencana membentuk Komunitas ASEAN, ASEAN+3, NAFTA, Amerika Tengah dan Amerika Latin juga sudah mencetuskan ide tersebut. Trend kerjasama regional akan merugikan negara-negara non anggota. Dengan demikian, Australia yang tidak bergabung di regional manapun merasa terancam apabila Australia tidak cepat ikut masuk ke dalam salah satu regional dan regional yang paling logis untuk bisa Australia ikut bergabung adalah Asia Pasifik.

Secara geopolitik, Australia ingin lebih memainkan peran aktif di kawasan dan ikut menjadi pemimpin baru di kawasan. Saat ini sejumlah negara kuat di dunia sedang berlomba meraih supremasi di Samudera India karena perannya yang semakin penting sebagai jalur pengapalan bahan bakar dari Timur Tengah ke Asia. Sehingga dengan demikian tidak mengherankan Australia mencoba ikut aktif dan berupaya menebar pengaruhnya apabila komunitas Asia Pasifik berhasil dibentuk.

Kedua, proposal tentang Komunitas Asia-Pasifik ini juga mencer­minkan pengakuan Australia sebagai “active middle power” di dalam konstelasi struktur global saat ini. Seperti dikatakan oleh Duta Be­sar Richard Woolcott, ide tersebut akan terlihat tidak terlalu provokatif jika muncul dari negara seperti Australia daripada menjadi gagasan Amerika Se­rikat atau China.[12] Gagasan tersebut juga menunjukkan indikasi yang sangat jelas bahwa Australia di bawah kepemimpinan yang baru betul-betul berupaya untuk berperan penting dalam pembentukan arsitektur re­gional untuk menciptakan stabilitas regional, demi men­jamin keamanan nasional Australia. Selain itu, dalam rangka upaya menjadi kekuatan yang aktif dan signifikan di kawasan, tentunya penting untuk mengulang kembali kesuksesan negara tersebut yang ditunjukkan dengan berdirinya APEC pada tahun 1988 berdasarkan usul dari PM Bob Hawke.

Ketiga, terkait dengan implikasi kedua, pandangan realis tertentu juga melihat bahwa gagasan tersebut merupakan manifestasi dari adanya suatu kekhawatiran tentang potensi persaingan yang intensif di antara kekuatan-kekuatan di kawasan, yaitu Amerika Serikat, Jepang, China dan India. Walaupun merupakan suatu hal yang mustahil untuk menghilangkan semua potensi konflik, institusi baru ini diharapkan dapat mengakomodasi, bahkan mengarahkan arah pertumbuhan China atau India, sebagai calon-calon kekuatan baru, yang masih dianggap belum jelas hingga saat ini.[13]

Kekhawatiran besar Australia adalah munculnya China dan India sebagai dua kekuatan besar Asia akan menantang adi daya Amerika Serikat dan tentunya mencemaskan negara-negara lebih kecil di Asia yang selama ini menganggap Amerika Serikat sebagai negara adi daya yang ramah. Dengan demikian, Australia yang merupakan sekutu terdekat dengan Amerika Serikat berupaya melindungi hegemoni Amerika Serikat di dunia dengan berupaya memperlebar akses pengaruh Amerika Serikat di Asia dan Pasifik melalui ide pembentukan komunitas tersebut. Meski China menerapkan economy-first diplomacy terhadap Jepang khususnya dan kepada Taiwan serta negara-negara di kawasan, kekuatan ekonomi China yang memungkinkannya membangun kapabilitas pertahanan yang kuat pada 2020 memang amat mencemaskan negara-negara di kawasan Asia Timur Laut, Asia Tenggara, dan juga Australia. Australia melihat kemajuan modernisasi militer Cina sangat mengancam keamanan nasional Australia sehingga Australia berupaya sebisa mungkin untuk merangkul negara-negara di kawasan Asia Pasifik untuk bekerja sama demi melindungi keamanan nasional Australia dengan cara pembentukan komunitas tersebut. Keuntungan jangka panjang apabila komunitas tersebut berhasil dibentuk adalah berkurangnya ancaman langsung dari negara-negara besar seperti Cina pada Australia.

Namun demikian, dalam arti positif China dan India akan bertindak sebagai dinamo-dinamo ekonomi baru yang memberikan keuntungan bagi kawasan Asia bahkan jika kehadiran ekonomi Amerika Serikat di kawasan semakin menurun. Australia yang sangat tidak diuntungkan secara geografis karena terkucilkan dari kerjasama regional akan bisa memanfaatkan Asia Pasifik sebagai region untuk mengintensifkan kerjasama. Sebagai catatan, perdagangan di Asia Pasifik mencapai 50% dari perdagangan seluruh dunia.[14] Australia yang merupakan negara yang mengandalkan perdagangan bagi pemasukan dalam negerinya melihat potensi besar yang berada di kawasan Asia Pasifik bagi ekonomi Australia. Dengan demikian, apabila ide pembentukan komunitas Asia Pasifik berhasil direalisasikan, Australia akan mendapatkan keuntungan yang sangat besar secara ekonomi dengan mendapatkan akses pasar ke Asia dan Pasifik, serta mendapatkan keuntungan dari booming kemajuan ekonomi India dan Cina. Australia akan dapat mudah masuk ke ASEAN, Asia Timur, serta Asia Selatan (khususnya India) dan Pasifik sekaligus.

Salah satu penjelasan yang dapat menggambarkan perilaku negara dapat difokuskan pada lingkungan internasional. Hans Morgenthau menyatakan bahwa setiap negara pada dasarnya memiliki hubungan dengan lingkungan internasional yang menjadi suatu penegasan atas national interest negara tersebut. Dan kebijakan luar negeri sangat ditentukan oleh kondisi internasional. Dengan demikian lingkungan internasional yang terjadi bisa menjadi suatu penegasan atas national interest suatu negara.

Dari paparan analisa diatas, dapat dirangkum politik pencitraan Australia sebagai “warga dunia yang baik” melalui gagasan Politik Luar Negeri Australia terhadap gagasan pembentukan komunitas Asia Pasific Community. Pertama, terciptanya Australia yang lebih aman. Kedua, terciptanya suatu lingkungan strategis di Asia Pasifik dan dunia yang lebih aman. Ketiga, terciptanya suatu masyarakat Asia Pasifik yang lebih sejahtera. Keempat, terciptanya suatu dunia yang lebih baik

Kesimpulan

Sebuah lompatan politik dilakukan Australia melalui arah kebijakan PM Kevin Ruud. Setelah negara terebut memutuskan untuk menarik pasukan Australia dari Irak, dan menandatangani protokol Kyoto, pada pertengahan Juni 2008 Kevin Rudd mengeluarkan ide pembentukan suatu unifikasi komunitas Asia Pasific dalam agenda Asian Pasific Community.

Latar belakang PM Ruud sebagai seorang pemimpin yang konsoliatoris direfleksikan dalam kebijakan luar negeri pada tiga pilar utama dan dua diantaranya adalah kemitraan dengan Amerika Serikat dan orientasi ke Asia. Ide pembentukan Asia Pacific Community adalah fakta politik yang semakin mempertegas arah baru Politik Luar Negeri Australia.

Rasionalitas kepentingan nasional Australia terhadap pembentukan Asia Pacific Community dikonklusikan sebagai berikut. Pertama, ide Asia Pacific Community dimunculkan sebagai respon munculnya kekuatan baru di dunia yang berada di Asia yakni Cina dan India yang bisa menjadi ancaman sekaligus keuntungan bagi Australia. Posisi yang bagai dua mata uang tersebut direspon Australia dengan arah kebijakan agar kekuatan baru tersebut tidak menjadi ancaman. Australia berupaya merangkul negara-negara di Asia untuk berkerjasama demi melindungi keamanan nasionalnya. Kedua, potensi ekonomi yang sangat besar yang berada di Asia Pasifik dengan total perdagangannya merupakan 50% total perdagangan dunia. Dan terakhir adalah terkait ambisi Australia yang ingin menjadi new hegemon di Asia Pasifik.

REFERENSI

Buku

1. Australia Regional Security, North Sydney, Allen and Unvin Pty.Ltd, 1991

2. Evan, Gareth, Australia Foreign Relations: In The World of The 1990s, Melbourne, Melbourne University Press, 1993

3. Hamid, Zulkifli, Sistem Politik Australia, Bandung. LIP Fisip UI dan PT, Remaja Rosdakarya, 1999.

4. Smith, Rodney. Politics in Australia, St. Leonards Allen & Unwin Pty Ltd, 1993

5. Morgenthau, Hans. 1973. Politic among Nations. N.Y.: Alfred A. Knopf

Jurnal

1. Wilmar Salim and Kiran Sagoo, Sustaining a Resilient Asia Pacific Community, 2008, NewCastle, UK, Cambridge Scholars Publishing

http://www.c-s-p.org/Flyers/9781847184474-sample.pdf

2. Kevin Rudd to drive Asian Union, The Australian, 5/6/2008

3. Hermann, Margaret G. Assessing Leadership Style; A Trait Analysis, November 2002,Social Science Automation. Jurnal PDF diunduh melalui www.gygapedia.com

4. Vibhanshu Shekhar, Asia-Pacific Community Options and Opportunities for India, 2008, New Delhi, India, IPCS

http://www.ipcs.org/pdf_file/issue/2048701077IPCS-IssueBrief-No74.pdf

5. Defending Australia In The Asia Pasific Century: Force 2030

http://www.defence.gov.au/whitepaper/docs/defence_white_paper_2009.pdf

Artikel

1. Kevin Rudd’s speech to the Asia Society Australia, 5 June 2008, www.theaustral­ian.news.com.au/story/0,25197,23812266-5013871,OO.html

2. Nusa Bhakti, Ikrar. Kevin Rudd Datang Menjual Gagasan. 2008. Jakarta; Asosiasi Ilmu Politik Indonesia

Diunduh dari http://aipi.wordpress.com/2008/07/15/pm-kevin-rudd-datang-jual-gagasan/

3. Thailand shows interest in Rudd’s Asia-Pacific Community, http:/lwww,abc.net.aulnews/ storiesl2008/07/0412295210.htm?sectionworld.html

4. Jane Perlez, China’s Role Emerges as Major Issue for Southeast AsiaThe New York Times, 14 Maret 2006, http://www.nytimes.com/2006/03/14rice.html?ex=12992400&en=a5a92b09381ed=50888partner=rssny&emc=rss&pagewanted=all

5. Sinar Indonesia Baru, Edisi 26 November 2007. Kolom oleh Anak Agung Banyu Perwita dalam Lompatan Politik Panglima Kangguru Untuk Asia. http://hariansib.com/2007/11/kevin-rudd-%E2%80%9Charry-potter%E2%80%9D-partai-buruh/



[1] Dikutip dari Ikrar Nusa Bhakti,. Kevin Rudd Datang Menjual Gagasan. Asosiasi Ilmu Politik Indonesia.

Diunduh dari http://aipi.wordpress.com/2008/07/15/pm-kevin-rudd-datang-jual-gagasan/

[2] Dalam tradisi politiknya, Australia terbiasa berurusan dengan sekutu-sekutunya yang besar dan powerful, dan siap mengakomodasi sekutunya sejauh biaya yang dikeluarkan tidak terlalu besar, tindakannya tidak terlalu berdampak langsung terhadap pencitraan Australia dan diperoleh keuntungannya pragmatis (so long as the cost is not too high, the action not too close to home and the benefits tangible – a pragmatic, if unattractive national trait).

[3] Disarikan dari Kevin Rudd’s speech to the Asia Society Australia, 5 June 2008, www.theaustral­ian.news.com.au/story/0,25197,23812266-5013871,OO.html

[4] Margaret G. Hermann, Assessing Leadership Style; A Trait Analysis, November 2002,Social Science Automation. Jurnal PDF diunduh melalui www.gygapedia.com

[5] Ibid

[6] Dikutip dari Sinar Indonesia Baru, Edisi 26 November 2007. Kolom oleh Anak Agung Banyu Perwita dalam Lompatan Politik Panglima Kangguru Untuk Asia. http://hariansib.com/2007/11/kevin-rudd-%E2%80%9Charry-potter%E2%80%9D-partai-buruh/

[7] Kevin Rudd’s speech to the Asia Society Australia, 5 June 2008, www.theaustral­ian.news.com.au/story/0,25197,23812266-5013871,OO.html

[8] Disarikan dari artikel Thailand shows interest in Rudd’s Asia-Pacific Community, http:/lwww,abc.net.aulnews/ storiesl2008/07/0412295210.htm?sectionworld.html

[9] Morgenthau, Hans. 1973. Politic among Nations. N.Y.: Alfred A. Knopf

[10] Kevin Rudd to drive Asian Union, The Australian, 5/6/2008

[11] Dalam sebuah tayangan di Metro TV Ruud menitikberatkan Salah satu contoh adalah ketidakmampuan ASEAN untuk mengatasi krisis di Myanmar hingga saat ini. Hal tersebut kemudian mendorong partisipasi Australia menjadi mediator aktif untuk menyelesaikan konflik antara Thailand dan Kamboja. Dalam tayangan yang sama Ruud menyebutkan APEC, ARF, KTT Asia Timur, ASEAN Plus Three dan ASEAN tetap diharapkan untuk memainkan perannya masing-masing yang akan menjadi batu-batu penyusun (building blocks) dari Komunitas Asia-Pasifik ini.

[12] John Chan, “Australian call for Asia-Pacific Community : A sign of growing tensions, http://www.relar6c1es12008/jun2008/rudd-j27.html

[13] Jane Perlez, China’s Role Emerges as Major Issue for Southeast AsiaThe New York Times, 14 Maret 2006, http://www.nytimes.com/2006/03/14rice.html?ex=12992400&en=a5a92b09381ed=50888partner=rssny&emc=rss&pagewanted=all

[14] Data diambil dari analisis grafik statistic perdagangan asia pasifik dalam jurnal Wilmar Salim and Kiran Sagoo, Sustaining a Resilient Asia Pacific Community, 2008, NewCastle, UK, Cambridge Scholars Publishing http://www.c-s-p.org/Flyers/9781847184474-sample.pdf