Kamis, 22 Juli 2010

Human Capital Flight : Terbangnya Insan-Insan Brilian ke Negeri Seberang

Fenomena terbangnya manusia-manusia cerdas nan brilian dari sebuah negeri (biasanya dari negeri berkembang) ke negeri lain yang ribuan kilometer jaraknya (rata-rata negeri maju) acap disebut sebagai human capital flight. Modal insani (human capital) yang harganya amat mahal dan berperan penting bagi kemajuan sebuah bangsa, mendadak lenyap tak berbekas. Mereka terbang jauh melintas benua.

Dalam skala yang masif, terbangnya sumber daya manusia brilian itu disebut sebagai brain drain. Atau hilangnya kumpulan otak cerdas yang ramai-ramai hijrah ke negeri lain yang lebih menjanjikan : ke negeri seberang tempat dimana land of hope masih bisa diejawantahkan.

Indonesia bukan satu-satunya negeri yang mengalami fenomena brain drain. Dua negeri lain juga mengalami hal ini, dengan skala yang lebih fantastis : India dan China.

Yang paling mencengangkan adalah India. Sejak tahun 50-an hingga hari ini, jutaan manusia cerdas dari India hijrah ke Amerika. Namun dampaknya juga mengejutkan : profesor kelahiran India selalu menjadi figur dominan pada hampir semua perguruan tinggi top di Amerika. Demikian juga, nama-nama berbau India selalu mendominasi pos penting pada hampir semua perusahaan teknologi papan atas di Amerika.

Karena itu, kalaulah ada kebijakan semua anak keturunan India harus keluar dari Amerika, maka hampir pasti ekonomi negeri adidaya itu seketika limbung. Sebab brain drain dari India itu telah berperan amat penting bagi kemajuan tekenologi dan ekonomi negeri besar itu.

Dalam skala yang jauh lebih kecil, Indonesia juga punya banyak kasus brain drain. Kita misalnya, melihat bagaimana anak kelahiran Medan menjadi profesor top di Amerika. Atau ada juga anak negeri ini yang menjadi dewa dalam salah satu satu perguruan top di Jepang. Banyak juga anak-anak cemerlang negeri ini yang berkiprah di Eropa, dan menduduki pos penting di sejumlah organisasi.

Mengapa terjadi brain drain? Jawabannya sederhana : infrastruktur di dalam negeri yang belum tertata dengan elok. Banyak dari manusia brilian – yang rata-rata berprofesi sebagai saintis/peneliti itu, menemukan fasilitas riset disini yang belum optimal mendukung kiprah mereka.

Alasan lain tentu saja : penghasilan. Bekerja sebagai peneliti di negeri seberang menjanjikan penghasilan yang sangat memadai. Yang tak kalah penting : mereka menemukan ruang untuk terus mengembangkan potensi keilmuannya.

Lalu apa solusinya? Sederhana juga : pihak pemerintah harus segera membenahi infrstruktur riset disini; dan juga secara agresif memberikan reward yang atraktif bagi para peneliti yang telah teruji dalam kancah dunia. Pemerintah China – lantaran kemajuan ekonominya – telah secara agresif melakukan kebijakan ini.

Mereka menjanjikan dana riset yang hampir tak terbatas, gaji yang besar dan fasilitas riset kelas dunia, guna menarik para peneliti cemerlang mereka yang malang melintang di jagat Amerika dan Eropa. Hasilnya menarik : terjadilah fenomena reverse brain drain. Maksudnya, ribuan insan brilian China yang telah berhasil di negeri seberang itu ramai-ramai pulang kampung untuk membangun tanah airnya. Reverse brain drain adalah fenomena indah yang layak kita impikan.

Solusi lain adalah ini : mengharapkan agar ada diantara periset itu yang memiliki jiwa advonturir (semangat petualangan) untuk membangun lembaga riset unggul di dalam negeri. Artinya, periset itu tetap berjibaku membangun kegiatan riset kelas dunia di negerinya sendiri, meski terus disergap beragam keterbatasan.

Sangkot Marzuki, profesor biokimia hebat kita itu, adalah salah satu contohnya. Meski telah menduduki posisi prestisius di University of Melbourne, ia memilih pulang dan membangun Lembaga Biomolekuler Eijkman, yang berlokasi di Salemba, Jakarta. Di tengah segala keterbatasan, ia tidak menyerah. Hasilnya, lembaga itu kini telah diakui dunia. Terry Mart, anak negeri ini yang jadi dosen Fisika UI juga melakukan hal serupa. Ia tetap memilih berkiprah di UI sambil terus menulis riset kelas dunia di jurnal-jurnal internasional.

Kita mungkin membutuhkan sosok periset dengan spirit semacam itu guna menghindari fenomena human capital flight. Bagaimanapun kejadian brain drain dan human capital flight acapkali membuat negeri asal mereka menjadi kian kehilangan.


Pejuang di Negeri Seberang

Kian banyak profesional kita yang berkarier cemerlang di berbagai negara. Selain mengerek citra positif Indonesia, mereka juga berjanji kelak pulang untuk mengabdikan ilmu dan pengalamannya.

Tanah airku tidak kulupakan

kan terkenang selama hidupku

Biarpun saya pergi jauh

tidak kan hilang dari kalbu

Tanahku yang kucintai

engkau kuhargai

(Ibu Sud, Tanah Airku)

Sungguh bangga melihat orang-orang Indonesia yang berkarier cemerlang di mancanegara, terutama di negara-negara maju. Baik sebagai profesional di berbagai perusahaan multinasional, peneliti atau pengajar di universitas ternama, maupun sebagai seniman kelas dunia. Di daratan Eropa, sekadar contoh, kita mengirim Siddik Badruddin sebagai Direktur Country Risk Citibank Jerman. Ananda Sukarlan kelahiran Jakarta tahun 1968 yang kini menetap di Spanyol adalah pianis yang sangat dihormati dan menjadi langganan gedung konser paling bergengsi di Eropa seperti Concertgebouw Amsterdam, Philharmonie Berlin, Auditorio Nacional di Madrid, serta Rachmaninoff Hall di Moskow dan Queen Hall di Edinburg.

Di benua Amerika, Indonesia menitipkan Nelson Tanu di Lehigh University, Pennsylvania, AS. Lelaki kelahiran Medan 20 Oktober 1977 ini adalah pakar teknologi nano yang merupakan kunci perkembangan sains dan rekayasa masa depan. Temuan-temuannya memungkinkan banyak hal menjadi lebih murah. Sinar laser yang biasanya butuh listrik 100 watt, misalnya, di tangan Nelson hanya butuh 1,5 watt. Wajarlah, sejak Mei 2009, ketika usianya belum genap 32 tahun, ia diangkat sebagai profesor. Lebih hebat lagi, sebelumnya, saat berusia 25 tahun, Nelson telah memecahkan rekor sebagai profesor termuda sepanjang sejarah Pantai Timur di Amerika. Rekor sebelumnya dipegang Linus Pauling, penerima Nobel Kimia 1954 yang menjadi asisten profesor pada usia 26 tahun. Orang sejenius Nelson pastilah bakal disambut hangat jika ingin menjadi warga negara AS. Namun, hal itu tak pernah terlintas di pikirannya. Ia justru punya ambisi suatu saat balik ke Indonesia dan membangun universitas di Indonesia menjadi universitas papan atas di Asia.

Itu baru sedikit contoh. Anda pasti lebih takjub lagi saat membuka halaman demi halaman Sajuta SWA setelah ini: Indonesia diam-diam mampu mengekspor banyak orang berbobot ke mancanegara. Bukan sekadar tenaga kerja kasar seperti yang selama ini menjadi sasaran empuk media massa.

Selama satu-dua dasawarsa terakhir, pergerakan orang-orang terbaik dari satu negara ke negara lain memang semakin kencang. Ini tak lepas dari pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, serta kian terbukanya negara-negara di dunia terhadap bangsa lain. Cina yang dulu sangat tertutup, contoh ekstremnya, belakangan sangat welcome terhadap orang-orang pintar sejauh mereka mampu memberi nilai tambah atau mendongkrak produktivitas perekonomian negeri itu.

Fenomena hijrahnya orang-orang terbaik untuk berkarier di negara lain yang mampu memberikan apresiasi dan gaji yang lebih baik, beberapa waktu lalu, sempat menjadi polemik ramai. Umumnya bernada miring. Muncullah, kemudian, istilah brain drain untuk menunjukkan betapa orang-orang pilihan itu tersedot keluar karena suatu negara tak mampu menahan tarikan kuat dari luar. Bahkan, ada yang menuding mereka sebagai orang yang egois, cari enak sendiri, tidak nasionalis, dan cap lain yang tak sedap didengar.

Semua tudingan negatif itu tampaknya kurang berdasar. Setidaknya, dari liputan SWA kali ini, semua orang hebat dari Indonesia yang kini berkarya di luar negeri dengan tegas mengatakan, suatu saat mereka ingin balik ke Tanah Air untuk mengabdikan ilmu dan pengalaman yang bertahun-tahun mereka timba di mancanegara, demi kemajuan Indonesia. Mereka tak setuju jika proses hidup yang mereka jalani sekarang disebut brain drain. Mereka lebih sreg disebut brain circulation. Artinya, suatu saat brain itu pasti balik lagi dengan kualitas yang jauh lebih bagus karena sudah teruji di kancah persaingan global.

Sebetulnya, tak usahlah menunggu sampai mereka kembali, sekarang pun mereka telah mengabdi kepada Tanah Air. Dengan kian tersebarnya orang terbaik kita di berbagai negara, secara tak langsung mereka menjadi duta atau brand atau apa pun namanya yang mampu mengerek citra positif Indonesia di mata negara dan bangsa lain. Ini investasi yang tak ternilai harganya bagi anak-cucu kita.

Soal nasionalisme? Boleh jadi, mereka tak kalah nasionalis dibanding orang-orang yang selama ini berkutat di dalam negeri. Cobalah search di Google. Di sana akan Anda temukan, lagu yang paling mereka gemari ketika kumpul-kumpul adalah Tanah Airku karya Ibu Sud. Reaksi mereka ketika menyanyikan atau mendengarkan lagu ini macam-macam. Ada yang tertunduk haru, merinding, bahkan tak sedikit yang menitikkan air mata. Ya… Biarpun saya pergi jauh, tidak kan hilang dari kalbu.

Saya percaya suatu hari nanti, fenomena reverse brain drain juga akan hinggap di negeri ini. Itulah momen dimana ribuan anak cemerlang yang telah berkiprah di negeri seberang akan berbondong-bondong pulang, dan membangun ibu pertiwi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar