Kamis, 22 Juli 2010

Aren’t I The Lucky Ones?

Saya bertumbuh di tengah keluarga yang hangat. Saya, dan kedua adik perempuan saya memang tidak hidup dalam materi berlebih, namun kami mensyukuri limpahan hal penting lain, yang buat kami lebih dari sekedar materi. Bapak adalah satu-satunya laki-laki yang kami kenal di rumah. Sedikit berbeda dengan teman-teman kami yang lain, kami “dipaksakan” untuk menjalani aktivitas dengan terencana. Pulang sekolah sekitar jam 11 siang, kami punya jam bermain sampai jam satu, selepas itu kami harus tidur siang, jam 3 kami memulai untuk melakukan aktivitas yang lain, mengaji dan les bahasa Inggris. Kadang kami iri dengan teman-teman sebaya kami,tapi melihat apa yang kami dapatkan sekarag, kesempatan dan harga manis yang kami peroleh sekarang, tidak ada yang kami syukuri selain bapak yang sangat berkorban untuk kami.

Kami berhasil menjalani masa sekolah, masa SMA dan masa SMP di sekolah favorit di kota ini. Saya dan adik tertua saya alhamdulilah berkesempatan mengenyam pendidikan di Universitas Negeri terbaik di kota ini. Dan itu semua karena kerja keras orangtua kami. Kadang kami berfikir orangtua kami terlalu kolot, tapi itu dulu. Ketika kami masih belum bisa mengejawantahkan dengan baik cara kami disayangi dengan sangat special oleh kedua orangtua kami. Bapak yang berkantor jauh di ujung kota sana selalu memiliki waktu untuk mengantar dan menjemput kami dari kegiatan les kami. Bapak selalu memiliki energy berlebih untuk kami.

Satu hal yang saya pelajari dari bapak adalah konsistensi dan keteladanan. Hal tersebut yang kemudian membentuk kami, untuk menjadi anak yang mengerti pentingnya merencanakan semua hal, dan menyenangkannya untuk menjadi anak manis yang berjalan dalam koridor relijiusitas yang moderat. Kami tahu, selelah apapun bapak dengan pekerjaannya, bapak tidak akan tidur sebelum kami selesai belajar. Kami selalu belajar dengan bapak dan ibu di samping kami, menunggui kami dengan sabar. Itu juga yang pada akhirnya membuat kami tahu diri. Bahwa nilai raport yang baik adalah hal yang selalu ditunggu bapak setiap enam bulan sekali. Kami selalu ingin bapak dan ibu tersenyum setiap kali wali kelas kami membagikan raport kepada mereka.

Bapak tidak pernah marah dengan meledak-ledak, bapak hanya mendiamkan kami. Dan buat kami kemarahan bapak yang seperti itu jauh lebih membuat kami tidak nyaman. Pernah bapak marah kepada kami bertiga karena kami memilih untuk menonton film daripada membantu tetangga yang sedang memiliki hajat. Saya ingat bapak membelikan saya komputer sebagai hadiah kelulusan SMP saya. Betapa malu kami dengan bapak pada waktu itu. Di tengah lingkungan rumah kami, bapak disegani karena jujur, tidak banyak bicara, tetapi tulus membantu. Bapak hanya akan absen meronda jika encoknya benar-benar tidak tertahan. Bapak tidak akan berfikir dua kali untuk mendonorkan darahnya buat siapa saja yang memungkinkan dibantu. Satu yang saya ingat, bapak baru saja pulang dari tugas di Bali waktu itu, dan bapak langsung bergegas berangkat ke rumah tetangga untuk memasangkan lampu untuk membantu penerangan tetangga yang membutuhkan.

Di rumah, kami memiliki beberapa kursi lipat, bapak sendiri yang membelinya. Kursi itu dipinjamkan untuk tetangga yang membutuhkan. Dan sepeser pun bapak tidak pernah meminta uang sewa. Katanya, motivasinya sangat sederhana: Biar dicatat sebagai amal, biar sama gusti diganti dengan dimudahkan jalan anak-anakku mendapat masa depan yang lebih baik.

Ibu adalah perempuan kuat dan berkarakter dalam pandangan saya. Sulit bagi saya membayangkan ibu dengan latar belakangnya pada waktu itu, mau menjadi istri PNS golongan bawah. Setelah beranjak dewasa dan tahu biaya les untuk kami tidak murah, saya baru mengerti bahwa ibu sangat cermat mengelola gaji bapak agar cukup untuk memenuhi semua kebutuhan kami. Ibu tidak seperti ibu muda lainnya yang up date terhadap gaya pakaian terbaru. Ibu lebih memilih kami berbahasa Inggris dengan lancar daripada sekedar berganti-ganti baju setiap arisan RT. Ibu sangat kreatif membuat mahar, dan untuk orang-orang sekampung, ibu membuatkannya dengan iklas, tidak meminta apapun.

Saya memang senang menulis sejak kecil. Berbagai lomba saya ikuti. Ketika Sekolah Dasar, bapak yang mengetikkan karangan yang saya buat. Semenjak SMP saya memang beberapa kali mendapatkan hadiah dari lomba menulis. Pada waktu saya SMP memang lomba menulis tidak sebanyak ketika saya duduk di SMA. Beranjak SMA saya mulai terbiasa membeli barang-barang yang saya inginkan dengan uang hadiah lomba. Lebih dari itu, saya mensyukuri banyaknya kesempatan yang datang kepada saya lewat kemenangan-kemenangan tersebut. Beberapa universitas meminang saya untuk menjadi mahasiswa, namun ketika itu Gadjah Mada masih menjadi harapan besar untuk saya.

Beranjak kuliah, tidak ada yang banyak berubah dari diri saya. Bapak tetap saja bapak yang selalu mengingatkan saya untuk tidak bepergian diluar aktivitas kuliah selain hari jumat sabtu dan minggu. Bapak masih saja terus meng update jadwal ujian saya, dan terus saja memantau IPK saya. Itu pula yang membuat teman-teman saya heran, katanya mereka terbiasa membicarakan kuliah hanya pada saat meminta uang semesteran.

Adik pertama saya adalah anak bapak yang memiliki “sense of art” yang paling tinggi. Dia sangat berbakat menggambar, bermain musik, dan menari. Adik saya menari untuk sendratari Ramayana. Dia sangunis melankolis di keluarga kami. Tenang, namun tetap fokus pada tujuan.

Melihat apa yang dilakukan adik bungsu saya sekarang ini, saya seperti dejavu dengan apa yang saya kerjakan di masa-masa SMA saya. Ririn seperti memiliki kekuatan yang tidak pernah habis untuk mengerjakan apa yang dia yakini penting untuk dia kerjakan. Ririn sangat menyukai dunia jurnalistik. Ketertarikan saya dengan ririn memang dalam bidang yang tidak jauh berbeda dengan saya. Mata Ririn tidak lepas dari channel TV 1 dan Metro TV. Ririn mengawali mimpinya dari usia yang masih sangat-sangat muda. Dan Tuhan menghadiahinya sederet kejuaraan lomba menulis atas kerja keras dan konsistensinya. Saya luar biasa bangga dipercaya oleh Tuhan untuk memiliki Ririn sebagai adik saya. Tidak masalah buat saya banyak orang yang memanggil saya, “Mbaknya Ririn”. Bahkan ketika saya berkumpul dengan teman-teman saya, ada gurat kekecewaan yang saya baca dari mereka ketika mereka bertanya, “Ririn mana? Kok ga diajak?”

Ririn adalah “Miss Good Planner”. Sangat disiplin,perfeksionis, keras, dan prinsipil. Saya banyak belajar dari ririn untuk bekerja dengan totalitas. Di tengah aktivitas menggunungnya sebagai anggota FKPO Dinas Pendidikan Propinsi DIY, Kontributor untuk rubrik Muda Kompas, News Anchor di salah satu TV lokal di DIY, Ririn masih mendapatkan peringkat Big Five, bukan dikelasnya tetapi di Sekolahnya.

Status facebooknya hari ini adalah, being alone makes me grow , so what am I afraid of ?Menurut analisa saya, tanpa bermaksud melebihkan, tidak sulit untuk ririn menjalani masa-masa cinta monyet sebagaimana teman-temannya kebanyakan. She’s quite loveable. Smart Idea, Humble, Good Looking...Tapi apa jawabnya? Oalah mbak, gak usah pasang status in a relationship juga aku ini udah eksis plus heboh kok di facebook, hehe. I’d love your joke sistaaa….

Dengan keluarga yang hangat, adik-adik yang manis yang sangat membantu saya untuk membahagiakan orangtua kami, apalagi alasan saya untuk tidak bersyukur, Thank’s God for a whole Happy life I’ve got….Alhamdulilah….


Me, Being Single, Then So What?

Sebenarnya saya paling malas mereview bagian relasi saya, tetapi dengan semakin bayak orang tanya, PW wisudamu mana sih ris? Saya seperti dibawa memorabilia, meneropong masa-masa saya belum disodori pertanyaan itu.

Masa-masa SMA adalah ketika saya mengkonsumsi banyak imajinasi “a fairy tale come true”. Saya sangat tersanjung memiliki pasangan yang berada dalam kadar “ideal” dalam perspektif banyak orang. Mahasiswa UGM dengan jurusan grade favorit, sopan, pendek kata oke banget dibawa ke kondangan kalau ketemu temen-temennya bapak atau ibu. Dia semangat besar saya masuk Gadjah Mada. Hampir tiga tahun kami, lebih tepatnya saya berusaha untuk patuh pada komimen yang kami buat. Sampai akhirnya komitmen tersebut berakhir dengan kata klise:bosan. Saya mengartikan istilah bosan tersebut dengansaya membosankan. Dan alasan itu pula yang kemudian membuat saya dengan mudah mengartikan komitmen yang dia buat dengan orang lain diluar sepengetahuan saya. Saya kehilangan kendali atas diri saya sampai beberapa bulan. Lebih tepatnya saya berada dalam titik degradasi kepercayaan diri.

Saya perlu masa rehealing yang cukup lama sampai pada akhirnya saya bertemu orang lain. Kali ini memang lebih sanguinis. Jauh dari ekspektasi orang mengenai tipikal favorit saya. Bukan anak UGM, tidak dengan TOEFL score bagus, dan tidak dengan topik bahasan yang sama dengan saya. Saya tidak peduli dengan pendapat orang, toh saya nyaman dengan kondisi tersebut. Saya sangat berharap dapt keluar dari dogma “relasi mebosankan”. Waktu itu saya memang melakukan banyak hal yang sebelumnya jauh dari kebiasaan saya yang sangat “on schedule”. He’s not much at look, not a hero out of the book, but I do love him. Simpel sekali jawaban saya saat itu. Tapi lagi-lagi, komitmen tersebut berakhir tidak dengan kemauan saya. Sekeras apapun saya bertahan, saya tidak dapat memberi alasan yang lebih baik untuk menyangkal kalimat “Kamu terlalu baik untuk aku”. Saya sakit bukan karena merasa pengorbanan long distance yang pada akhirnya menjadi sia-sia, tapi karena waktu itu saya benar-benar kehilangan. Dan lagi-lagi saya harus terima bahwa ada komitmen lain selain komitmen dengan saya. Fortunately, saat-saat labil tersebut saya alami pada masa KKN. Thank’s God saya ditemani oleh teman-teman yang benar-benar menguatkan.

Lalu jika sekarang saya tidak sedang berkomitmen dengan siapapun, apakah karena saya masih berada dalam zona ketakutan saya? Saya rasa bukan. Toh saya masih mampu melakukan banyak hal. Prestasi saya juga tidak pernah turun. Saya memang berhati-hati tetapi tidak sedikitpun menutup diri. Saya memang berteman dengan siapapun, tapi memang saya belum bertemu orang yang tepat mau diapakan lagi? Saya bukan pemilih, tetapi kali ini setelah berulangkali gagal, saya benar-benar meminta kontribusi Tuhan dalam porsi yang lebih banyak untuk memilihkan yang terbaik untuk saya. Dan saya lebih mengikuti kata hati saya daripada logika-logika “Prince Charming” ideal saya. Passion, kali ini saya yakini adalah sinyal yang akan diberikan tuhan untuk menunjukkan orang yang tepat yang dipilihkanNya untuk saya. Karenanya, saya baru akan memulai ketika saya benar-benar yakin.

Menginap di kos Ira mengenalkan saya pada buku Why Men Marry Bitches. Saya belajar bahwa dengan hanya merajuk dan menampilkan sisi roman picisan, perempuan hanya akan mendapatkan Ordinary man. Perempuan kuat, pintar, dan berkarakter adalah tipikal perempuan seksi bagi “The Excellence Ones”. Lihat saja perempuan-perempuan dibalik B.J. Habibie, SBY, Julian Aldrin Pasha. Mereka terpilih karena diyakini mampu mendampingi “The Excellence Ones” tersebut “For Better or Worst”. Mereka yang memiliki cita-cita dan pemikiran besar pasti sadar bahwa jalan hidup yang mereka pilih tidak semudah orang kebanyakan. Dan mereka tahu bahwa mereka butuh perempuan kuat yang akan menguatkan mereka. Sejarah pun mengajari kita, Marcos terpuruk oleh Imelda yang Fashionista Holic. Louis XIV yang dibenamkan oleh Madam Antoneite. Itu pula yang saya pelajari, Growing day older Growing day better. Maximize and encourage all part of me. I Believe that if I only tackle what I know, I’ll never grow. Only me can choose my destination. Totally, I want to keep in people mind, as a mature and outrageous girl. I am beautiful no matter what He Say, World Can’t Bring me Down..

Notes ini sekaligus untuk menjawab banyak pertanyaan yang akhir akhir ini mengganggu saya. Risti Pendamping Wisuda kamu siapa? Jawaban simple saya tidak akan berubah : Selempang Kuning CumLaude dan Bapak saya. Itu sudah lebih dari sekedar cukup untuk membuat saya berbahagia. Buat saya sekarang ini, menyelesaikan kewajiban sebagai anak terlebih dahulu adalah penting, saya percaya ketika saya sudah menjadi anak yang manis dan membahagiakan orangtua saya, mereka pasti tak sungkan memintakan saya jodoh yang menggembirakan saya. Saya yakin dengan terus menjadi anak baik, tuhan akan memberi saya hadiah yang indah, pasangan yang pintar dan berkarakter (tetep aja milih hehe).. Yeah, just do for the best (and also prepare for the worst). Only God knows how tomorrow will be like for my life….


Human Capital Flight : Terbangnya Insan-Insan Brilian ke Negeri Seberang

Fenomena terbangnya manusia-manusia cerdas nan brilian dari sebuah negeri (biasanya dari negeri berkembang) ke negeri lain yang ribuan kilometer jaraknya (rata-rata negeri maju) acap disebut sebagai human capital flight. Modal insani (human capital) yang harganya amat mahal dan berperan penting bagi kemajuan sebuah bangsa, mendadak lenyap tak berbekas. Mereka terbang jauh melintas benua.

Dalam skala yang masif, terbangnya sumber daya manusia brilian itu disebut sebagai brain drain. Atau hilangnya kumpulan otak cerdas yang ramai-ramai hijrah ke negeri lain yang lebih menjanjikan : ke negeri seberang tempat dimana land of hope masih bisa diejawantahkan.

Indonesia bukan satu-satunya negeri yang mengalami fenomena brain drain. Dua negeri lain juga mengalami hal ini, dengan skala yang lebih fantastis : India dan China.

Yang paling mencengangkan adalah India. Sejak tahun 50-an hingga hari ini, jutaan manusia cerdas dari India hijrah ke Amerika. Namun dampaknya juga mengejutkan : profesor kelahiran India selalu menjadi figur dominan pada hampir semua perguruan tinggi top di Amerika. Demikian juga, nama-nama berbau India selalu mendominasi pos penting pada hampir semua perusahaan teknologi papan atas di Amerika.

Karena itu, kalaulah ada kebijakan semua anak keturunan India harus keluar dari Amerika, maka hampir pasti ekonomi negeri adidaya itu seketika limbung. Sebab brain drain dari India itu telah berperan amat penting bagi kemajuan tekenologi dan ekonomi negeri besar itu.

Dalam skala yang jauh lebih kecil, Indonesia juga punya banyak kasus brain drain. Kita misalnya, melihat bagaimana anak kelahiran Medan menjadi profesor top di Amerika. Atau ada juga anak negeri ini yang menjadi dewa dalam salah satu satu perguruan top di Jepang. Banyak juga anak-anak cemerlang negeri ini yang berkiprah di Eropa, dan menduduki pos penting di sejumlah organisasi.

Mengapa terjadi brain drain? Jawabannya sederhana : infrastruktur di dalam negeri yang belum tertata dengan elok. Banyak dari manusia brilian – yang rata-rata berprofesi sebagai saintis/peneliti itu, menemukan fasilitas riset disini yang belum optimal mendukung kiprah mereka.

Alasan lain tentu saja : penghasilan. Bekerja sebagai peneliti di negeri seberang menjanjikan penghasilan yang sangat memadai. Yang tak kalah penting : mereka menemukan ruang untuk terus mengembangkan potensi keilmuannya.

Lalu apa solusinya? Sederhana juga : pihak pemerintah harus segera membenahi infrstruktur riset disini; dan juga secara agresif memberikan reward yang atraktif bagi para peneliti yang telah teruji dalam kancah dunia. Pemerintah China – lantaran kemajuan ekonominya – telah secara agresif melakukan kebijakan ini.

Mereka menjanjikan dana riset yang hampir tak terbatas, gaji yang besar dan fasilitas riset kelas dunia, guna menarik para peneliti cemerlang mereka yang malang melintang di jagat Amerika dan Eropa. Hasilnya menarik : terjadilah fenomena reverse brain drain. Maksudnya, ribuan insan brilian China yang telah berhasil di negeri seberang itu ramai-ramai pulang kampung untuk membangun tanah airnya. Reverse brain drain adalah fenomena indah yang layak kita impikan.

Solusi lain adalah ini : mengharapkan agar ada diantara periset itu yang memiliki jiwa advonturir (semangat petualangan) untuk membangun lembaga riset unggul di dalam negeri. Artinya, periset itu tetap berjibaku membangun kegiatan riset kelas dunia di negerinya sendiri, meski terus disergap beragam keterbatasan.

Sangkot Marzuki, profesor biokimia hebat kita itu, adalah salah satu contohnya. Meski telah menduduki posisi prestisius di University of Melbourne, ia memilih pulang dan membangun Lembaga Biomolekuler Eijkman, yang berlokasi di Salemba, Jakarta. Di tengah segala keterbatasan, ia tidak menyerah. Hasilnya, lembaga itu kini telah diakui dunia. Terry Mart, anak negeri ini yang jadi dosen Fisika UI juga melakukan hal serupa. Ia tetap memilih berkiprah di UI sambil terus menulis riset kelas dunia di jurnal-jurnal internasional.

Kita mungkin membutuhkan sosok periset dengan spirit semacam itu guna menghindari fenomena human capital flight. Bagaimanapun kejadian brain drain dan human capital flight acapkali membuat negeri asal mereka menjadi kian kehilangan.


Pejuang di Negeri Seberang

Kian banyak profesional kita yang berkarier cemerlang di berbagai negara. Selain mengerek citra positif Indonesia, mereka juga berjanji kelak pulang untuk mengabdikan ilmu dan pengalamannya.

Tanah airku tidak kulupakan

kan terkenang selama hidupku

Biarpun saya pergi jauh

tidak kan hilang dari kalbu

Tanahku yang kucintai

engkau kuhargai

(Ibu Sud, Tanah Airku)

Sungguh bangga melihat orang-orang Indonesia yang berkarier cemerlang di mancanegara, terutama di negara-negara maju. Baik sebagai profesional di berbagai perusahaan multinasional, peneliti atau pengajar di universitas ternama, maupun sebagai seniman kelas dunia. Di daratan Eropa, sekadar contoh, kita mengirim Siddik Badruddin sebagai Direktur Country Risk Citibank Jerman. Ananda Sukarlan kelahiran Jakarta tahun 1968 yang kini menetap di Spanyol adalah pianis yang sangat dihormati dan menjadi langganan gedung konser paling bergengsi di Eropa seperti Concertgebouw Amsterdam, Philharmonie Berlin, Auditorio Nacional di Madrid, serta Rachmaninoff Hall di Moskow dan Queen Hall di Edinburg.

Di benua Amerika, Indonesia menitipkan Nelson Tanu di Lehigh University, Pennsylvania, AS. Lelaki kelahiran Medan 20 Oktober 1977 ini adalah pakar teknologi nano yang merupakan kunci perkembangan sains dan rekayasa masa depan. Temuan-temuannya memungkinkan banyak hal menjadi lebih murah. Sinar laser yang biasanya butuh listrik 100 watt, misalnya, di tangan Nelson hanya butuh 1,5 watt. Wajarlah, sejak Mei 2009, ketika usianya belum genap 32 tahun, ia diangkat sebagai profesor. Lebih hebat lagi, sebelumnya, saat berusia 25 tahun, Nelson telah memecahkan rekor sebagai profesor termuda sepanjang sejarah Pantai Timur di Amerika. Rekor sebelumnya dipegang Linus Pauling, penerima Nobel Kimia 1954 yang menjadi asisten profesor pada usia 26 tahun. Orang sejenius Nelson pastilah bakal disambut hangat jika ingin menjadi warga negara AS. Namun, hal itu tak pernah terlintas di pikirannya. Ia justru punya ambisi suatu saat balik ke Indonesia dan membangun universitas di Indonesia menjadi universitas papan atas di Asia.

Itu baru sedikit contoh. Anda pasti lebih takjub lagi saat membuka halaman demi halaman Sajuta SWA setelah ini: Indonesia diam-diam mampu mengekspor banyak orang berbobot ke mancanegara. Bukan sekadar tenaga kerja kasar seperti yang selama ini menjadi sasaran empuk media massa.

Selama satu-dua dasawarsa terakhir, pergerakan orang-orang terbaik dari satu negara ke negara lain memang semakin kencang. Ini tak lepas dari pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, serta kian terbukanya negara-negara di dunia terhadap bangsa lain. Cina yang dulu sangat tertutup, contoh ekstremnya, belakangan sangat welcome terhadap orang-orang pintar sejauh mereka mampu memberi nilai tambah atau mendongkrak produktivitas perekonomian negeri itu.

Fenomena hijrahnya orang-orang terbaik untuk berkarier di negara lain yang mampu memberikan apresiasi dan gaji yang lebih baik, beberapa waktu lalu, sempat menjadi polemik ramai. Umumnya bernada miring. Muncullah, kemudian, istilah brain drain untuk menunjukkan betapa orang-orang pilihan itu tersedot keluar karena suatu negara tak mampu menahan tarikan kuat dari luar. Bahkan, ada yang menuding mereka sebagai orang yang egois, cari enak sendiri, tidak nasionalis, dan cap lain yang tak sedap didengar.

Semua tudingan negatif itu tampaknya kurang berdasar. Setidaknya, dari liputan SWA kali ini, semua orang hebat dari Indonesia yang kini berkarya di luar negeri dengan tegas mengatakan, suatu saat mereka ingin balik ke Tanah Air untuk mengabdikan ilmu dan pengalaman yang bertahun-tahun mereka timba di mancanegara, demi kemajuan Indonesia. Mereka tak setuju jika proses hidup yang mereka jalani sekarang disebut brain drain. Mereka lebih sreg disebut brain circulation. Artinya, suatu saat brain itu pasti balik lagi dengan kualitas yang jauh lebih bagus karena sudah teruji di kancah persaingan global.

Sebetulnya, tak usahlah menunggu sampai mereka kembali, sekarang pun mereka telah mengabdi kepada Tanah Air. Dengan kian tersebarnya orang terbaik kita di berbagai negara, secara tak langsung mereka menjadi duta atau brand atau apa pun namanya yang mampu mengerek citra positif Indonesia di mata negara dan bangsa lain. Ini investasi yang tak ternilai harganya bagi anak-cucu kita.

Soal nasionalisme? Boleh jadi, mereka tak kalah nasionalis dibanding orang-orang yang selama ini berkutat di dalam negeri. Cobalah search di Google. Di sana akan Anda temukan, lagu yang paling mereka gemari ketika kumpul-kumpul adalah Tanah Airku karya Ibu Sud. Reaksi mereka ketika menyanyikan atau mendengarkan lagu ini macam-macam. Ada yang tertunduk haru, merinding, bahkan tak sedikit yang menitikkan air mata. Ya… Biarpun saya pergi jauh, tidak kan hilang dari kalbu.

Saya percaya suatu hari nanti, fenomena reverse brain drain juga akan hinggap di negeri ini. Itulah momen dimana ribuan anak cemerlang yang telah berkiprah di negeri seberang akan berbondong-bondong pulang, dan membangun ibu pertiwi.


I Still Call Australia Home

Tanggal 26 Januari adalah Australia Day, yang dirayakan untuk memperingati hari berlabuhnya rombongan pertama para tahanan asal Inggris yang dibuang di Sydney tahun 1788. Rombongan ini dipimpin oleh Kapten Arthur Phillip, yang kelak akan menjadi gubernur New South Wales yang pertama.

Australia Day ini dirayakan sama meriahnya dengan 17 Agustus di Indonesia, atau 4 Juli di Amerika. Tradisi perayaan Australia Day di seluruh Australia dimulai sejak tahun 1935. Mulai tahun 1994, hari ini (atau hari sebelum atau sesudahnya jika kebetulan tanggal ini jatuh di akhir pekan) dijadikan hari libur nasional.


Salah satu lagu yang kerap dinyanyikan di Australia Day adalah I still call Australia home karya Peter Allen. Lagu ini juga pernah digunakan iklan Qantas.

I've been to cities that never close down
From New York to Rio and old London town
But no matter how far
Or how wide I roam
I still call Australia home.

I'm always travelin'
And I love bein' free
So I keep leavin' the sun and the sea
But my heart lies waiting over the foam
I still call Australia home.

All the sons and daughters spinning 'round the world
Away from their families and friends
Ah, but as the world gets older and colder
It's good to know where your journey ends.

And someday we'll all be together once more
When all the ships come back to the shore
Then I realize something I've always known
I still call Australia home.

No matter how far
Or how wide I roam
I still call Australia home

Setelah menonton Fireworks di Lake Burley Griffin, Canberra pada Australia Day, banyak pertanyaan yang muncul di kepala. Salah satunya adalah, apa yang membuat orang Australia bangga betul menjadi Australia? Mengapa mereka tidak protes ketika jutaan dollar dihabiskan dengan dibakar di firework?
Mbuh, Australia aneh walau menyenangkan


Rabu, 21 Juli 2010

Indonesia, Izinkan Saya Mencintaimu Dengan Tidak Hanya Sekedar Iklan

Saya suka sekali melihat iklan. Entah mengapa saya suka sekali melihat bagaimana orang mengemas sedemikian rupa wajah dagangannya menjadi sempurna, tanpa cela. Tapi kali ini sebuah iklan saya lihat sangat lain, karena mempertanyakan keabsahan diri.
Waktu kudibangun dulu aku bertanya jadi apa
Akankah besar ataukah kecil
Jadi pujaan atau terabaikan

Dalam hati saya bergumam, untung saja iklan itu hanya berbicara tentang semen. Karena saya berharap pahlawan-pahlawan bangsa ini jangan pernah mendengar lagu itu. Kenapa? Saya takut mereka membayangkan ibu pertiwi ini dewasa ini? Kenapa saya sedemikian takut? Karena sekarang ini Indonesia adalah parodi iklan. Siapa nanti yang akan menjawab hari ini apakah negeri ini jadi pujaan? Atau terabaikan? Semuanya kabur, kalaupun ada yang mau menjawab, saya takut mereka hanya beriklan.
Masih tentang iklan semen tadi, saya benar-benar dibuat heran, di zaman ketika orang lupa bagaimana bercermin melihat ke diri sendiri, masih ada iklan yang justru mempertanyakan eksistensi diri sendiri. Apakah tidak takut dagangannya tidak laku. Sudah, jawab saja akan besar, tidak perlu mempertanyakan jadi pujaan atau terabaikan, habis perkara. Namun lagi-lagi saya maklum, namanya saja iklan yang aneh.
Nama saya Ririn Oktaviani, pelajar kelas 2 SMA yang hendak menulis nasionalisme di kalangan anak muda. Sebelumnya saya berfikir, apa yang akan saya tuliskan ini tidak akan menjadi menarik. Dalam hati saya, nasionalisme macam apa yang bisa diberikan oleh gadis 17 tahun berseragam abu-abu seperti saya? Mencapai ranah pemerintah jelas mustahil bagi saya, menjaga perbatasan? lebih tidak masuk akal bagi saya.
Saya bingung, nasionalisme macam apa yang harus saya tulis. Kalaupun saya harus menulis nasionalisme di kalangan generasi muda, berarti saya harus bicara tentang nasionalisme macam apa yang tersemat dalam diri generasi saya. Saya bingung harus memulai dengan apa, karena tidak mungkin saya menuliskan berapa kali tawur pelajar dan mahasiswa menjadi headline di media massa, ataupun memaparkan berapa banyak generasi muda bangsa ini yang kemudian terpuruk oleh facebook. Kalaupun saya harus menceritakan berapa banyak generasi muda negeri ini yang masih mendengarkan karawitan dan lain sebagainya, siapa yang harus saya ceritakan?
Meskipun demikian, saya, Ririn oktaviani, pelajar kelas 2 SMA, belum cukup sampai hati untuk mengatakan negeri ini terabaikan dan tidak jadi pujaan. Tidak, paling tudak saya lebih berbesar hati untuk meyakini bahwa negerri ini belum jadi pujaan, dan tidak boleh terabaikan. Namun sekali lagi saya sadar, tidak mungkin saya dapatkan jawaban bagaimana bangsa ini menjadi pujaan jika saya terus saja hanya beriklan.
Sudah terlalu banyak orang beriklan. Bicara cinta pada Indonesia. Lihat saja berdasarkan laporan dari suatu Lembaga Riset SDM di region Asia Tenggara menunjukkan bahwa Indonesia mempunyai daya saing terendah dari 49 negara yang diteliti, dan mereka yang seharusnya paling resah dengan kondisi ini belum juga berbuat apa-apa. Namun tak pernah lelah mereka beriklan, bahwa mereka cinta Indonesia.
Kemiskinan adalah bagian dari wajah bangsa ini. Dari data BPS (2000) menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia Tahun 1999 mencapai 37.1 juta (18.0%), bila dibanding Tahun 1996 sekitar 34.5 juta (17.7%) yang berarti bahwa terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin sekitar 0.3% dari penduduk Indonesia. Jika mencermati dan mendalami angka tersebut membuat kita tercengang sebab ternyata bahwa ada sekitar 37.1 juta penduduk yang hidup dalam kemiskinan. Hal ini sebenarnya merupakan masalah yang sangat serius dan urgen untuk segera ditangani. Mereka terus saja berdebat, tanpa tahu rakyat sudah lelah menunggu mereka lekas berbuat. Dan terus saja mereka beriklan, mereka cinta Indoesia.

Saya Berfikir Maka Saya Ada
Permasalahan bangsa ini memang sedemikian pelik. Karenanya saya yakin butuh kekuatan besar untuk merampungkan segala problematika. Dan pemuda, adalah golongan yang harus pertama kali diberi pertanyaan, yakni bagaimanakah cara terbaik untuk mencintai bangsa ini?
Barangkali saya akan mendapat jawaban dari pertanyaan tersebut dengan berfilsafat. Plato mengibaratkan orang yang berfilsafat seperti orang yang keluar dari gelapnya gua gelap gulita tanpa penerangan melihat terangnya cahaya pencerahan. Maksudnya dengan berfilsafat orang akan diterangi cahaya kebijaksanaan sehingga mampu membeda-bedakan segala sesuatu secara benar. Sedangkan tanpa berfilsafat, orang hanya akan hidup dalam kegelapan ketidaktahuan yang menyesatkan.
Filsafat berakar kata philos dan sophia yang berarti gandrung akan kebenaran. Ciri dari kegandrungan adalah adanya upaya seseorang untuk mengejar sesuatu yang menjadi kesenangannya. Demikian pula bagi orang yang gandrung akan kebenaran, ia akan mencari kebenaran itu sampai kapanpun dan dimanapun kebenaran itu berada.
Filsafat menurut Wittgenstein bertugas ”menunjukkan pada lalat yang terperangkap pada sebuah botol untuk keluar dari masalahnya”. Artinya, dengan berfilsafat akan mengajak orang untuk memikirkan segala tindak-tanduknya dalam kerangka kebenaran tanpa harus menghancurkan kebenaran orang lain guna menemukan jalan keluar terbaik dari sebuah permasalahan. Dengan demikian berfilsafat bertujuan untuk mencari sebuah kebenaran dari sebuah masalah dengan berpikir kritis, sistematis, radikal dan universal tanpa merugikan orang lain.
Tuhan mengajak saya untuk berfilsafat ketika saya menyaksikan tayangan Kick Andy beberapa bulan yang lalu. Saya berfilsafat dan pada akhirnya saya bangga dengan Indonesia. Andy Noya menghadirkan anak-anak bangsa yang berfilsafat dalam mencintai bangsanya. Betapa tidak? Di kala “senja” datang seperti 10 tahun belakangan ini, ternyata banyak prestasi anak bangsa yang terus bermunculan. Carilah ahli apa saja. Ingin ahli mikroskop electron? Ada 13 nama asli warga Negara Indonesia. Butuh ahli torpedo? 40 nama bisa disodorkan. Mereka serta ratusan anak bangsa lain dengan keahlian khusus bertebaran di negeri asing, mempersembahkan karya.
Andy Noya memperkenalkan seseorang yang tidak asing bagi keluarga saya kepada Indonesia. Beliau adalah Mas Agus, yang dulu mengajar les privat matematika kakak tertua saya untuk membiayai kuliahnya. Mas Agus yang dahulu menggenjot sepeda dari Gondolayu hingga rumah saya di Godean hanya demi menebus uang praktikumnya Mas Agus adalah salah satu diantara ratusan anak bangsa yang memiliki andil besar dibidang teknologi mitigasi pasca gempa, tingkat dunia. Berasal dari keluarga berekonomi serba mepet, kini dia sudah berhasil, melanglang buana di berbagai penjuru dunia. Tumbuh tanpa didampingi sang ayah, ketika dia masih sekolah, ibunya bekerja sebagai pembantu rumah tangga (dengan penghasilan hanya Rp 25.000,00 per bulan). Meski tinggal di tengah kota dan diapit tembok beton raksasa, namun tidak berarti membuat rumahnya yang hanya terbuat dari anyaman bambu menjadi ikut terlindung dari bocor dimusim penghujan. Tak kuat membayar biaya pemasangan listrik, membuat ia dan ibunya hanya diterangi dengan beberapa buah lampu teplok dari kaleng bekas setiap malam harinya. Sehingga untuk belajar malam, dia pun harus rela menumpang belajar di serambi masjid, setelah solat magrib sampai dengan sehabis solat isya.
Saat hendak masuk kuliah (di salah satu PTN terbaik di Indonesia) dan kesulitan biaya, tidak jarang Mas Agus berkeluh kepada ibu saya. Bukan supaya dicarikan biaya atau beasiswa, melainkan justru lebih ingin dicarikan kerja sambilan saja karena Mas Agus berprinsip tidak ingin mendapatkan sesuatu secara cuma-cuma.
Tapi masa sulit seperti itu, kini, tinggal menjadi masa lalu. Karena tak selang lama setelah kelulusan jenjang sarjananya, Mas agus mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi di Eropa. Dan setelah lulus S2, hanya selang setahun dari kepulangannya di Indonesia, ternyata dia mendapat kesempatan menuntut ilmu lebih tinggi lagi. Yaitu, S3 di Australia. Bahkan karena dianggap penting, desertasi S3 nya ssampai dijadikan proyek oleh PBB. Sebuah perjalanan emas, salah seorang anak bangsa.
Andy Noya mengenalkan saya pada Yudhistira Virgus. Pada tahun 2004 seorang anak bangsa berhasil meraih medali emas dalam Olimpiade Fisika Internasional di Pohang, Korea Selatan. Dari ratusan finalis yang ikut, dia mampu menjadi salah satu peraih medali emasnya dan mengalahkan 73 negara, termasuk Amerika Serikat. Tak mau ketinggalan dengan tim olimpiade bidang fisika, peraih emas olimpiade bidang Astronomi Internasional di Ukraina (2004) pun adalah seorang anak indonesia. Dengan belajar hanya menggunakan fasillitas “astronomi” seadanya, bahkan hanya bersekolah di sebuah kota kecil sebelah timur propinsi Jogjakarta, tepatnya Kabupaten Klaten. Bintang bangsa itu bernama Masyur Aziz. Masyur Aziz berhasil meraih medali emas olimpiade astronomi.
Satu nama lagi yang tak boleh lupa disebut adalah George saa. Betapa tidak, profesor fisika dari 30 negara hanya membutuhkan waktu tiga hari untuk menentukan pemuda17 tahun asal Jayapura, Papua, ini meraih emas dari tiga minggu waktu penjurian. Bahkan sebelum nama-nama peraih medali lainnya diumumkan. Paper bertajuk Infinite Triangle and Hexagonal Lattice Networks of Identical Resistor itu memenuhi semua syarat: kreatif, jelas, menyelesaikan masalah, dan yang terpenting idenya orisinal. George, yang biasa dipanggil Oge, memaparkan cara menghitung hambatan dari dua titik sembarang pada suatu jaring-jaring resistor yang membentuk segi tiga yang jumlahnya tak terhingga.
Menurut Ketua Yayasan Tim Olimpiade Fisika Indonesia, Profesor Yohanes Surya, Oge mengerjakan dengan hasil yang luar biasa dan akurat. Dalam dialog interaktif bersama Andy noya terpapar bahwa prestasi membanggakan bangsa ini bisa lepas kalau saja Oge tidak main kucing-kucingan dengan mamanya. Saat itu ia mendapat beasiswa ke Jakarta dari Pemerintah Daerah Papua setelah menjuarai Olimpiade Kimia tingkat daerah. Frangky Albert Saa, kakak tertuanya, membantu pelarian "anak mama" ini ke Jakarta, Juli 2003. Mereka yakin sang mama pasti akan melarang si bungsu pergi dari rumah. Pas menjelang George naik pesawat, baru ibunya dikabari. "Mama menangis selama dua minggu," kata Frangky. Oge memang berotak encer sejak kecil. Selama SD hingga SMP ia selalu meraih peringkat satu, padahal sering bolos sekolah. "Kalau tak ada uang 'taksi', saya tidak bisa ke sekolah," ujarnya.
Ayahnya, yang hanya pegawai rendahan di Dinas Kehutanan, sering tak punya uang untuk ongkos angkutan umum? ya 'taksi' itu? meski hanya Rp 1.000. Dia juga harus membantu ayahnya berkebun agar mereka lima bersaudara terhidupi. Tentu saja buku cetak barang langka bagi George. Beruntung, otaknya yang cerdas mampu meng-"kopi" penjelasan guru dikelas. Saat di kelas empat, gurunya menawari dia ikut ebtanas layaknya siswa kelas enam. Lagi, mamanya melarang karena kakaknya, Agustinus, saat itu duduk di kelas enam. "Sabar, tak usah sama-sama dengan Agus, biar Oge ujian sesuai dengan umurnya," pesan ibunya saat itu. Masa sulit itu berangsur susut setelah ia berhasil masuk SMA Negeri 3 Buper di Jayapura. Sekolah unggulan milik pemerintah daerah itu menjamin semua kebutuhan siswa, dari asrama, seragam, hingga uang saku.
Dari barisan putih abu-abu, bagaimana mereka memfilsafati nasionalisme. Lupakan sejenak kasus penculikan via facebook, tawuran pelajar yang memakan korban, ataupun kasus narkoba yang dialamatkan pada pemuda generasi ini, karena mereka hanya mencintai negerinya dengan sekedar iklan. Saatnya meretas optimisme dengan melihat gaya pemuda pilihan ini memfilsafatkan nasionalisme.
Tahun 2003, penelitian yang dilakukan seorang anak KIR kelas II SMA 6 Jogjakarta telah mampu membawa mereka memperoleh sertifikat tanda jasa (certificate of merit as Young Master Innovator in the field of Farming Technology) dari World Intellectual Property Right Organization (WIPO), dan Asean Youth Award on Entrepreneurship (2004). Penelitian mengenai “pemanfaatan bonggol pisang sebagai makanan alternatif pemenuh kebutuhan serat” itu, dilatar belakangi oleh banyaknya orang yang sakit karena kekurangan konsumsi serat. Sedangkan di dalam bonggol (akar) pisang kandungan seratnya (relatif) sangat tinggi. Padahal pohon pisang bersifat monokarpik (akan mati setelah satu kali berbuah), dan selama ini yang digunakan hanya bagian buah dan daunnya saja. Sedangkan bagian akarnya (bonggol) tak pernah dimanfaatkan. Bahkan dari perhitungan diperkirakan jumlah bonggol pisang di Indonesia mencapai 3juta ton/tahunnya dan hanya terbuang sia-sia. Maka bonggol (akar) pisang yang kaya serat ini kemudian diolah menjadi keripik berserat alami, guna membantu memenuhi kebutuhan diit serat masyarakat setiap hari.
Pada tahun 2004, Ika Rahmatina, anak kelas 1 SMA dari pelosok Bojonegoro,, saking pelosoknya, sampai-sampai hanya untuk menemuinya saja, Bapak Malik Fadjar, Mendiknas kal itu sempat harus datang sendiri ke sekolahnya di Bojonegoro , sebab saat itu disekolahnya belum terpasang pesawat telepon, begitu juga dirumahnya. Ika meraih Juara 1 Lomba Karya Tulis Ilmiah tingkat Asia Tenggara dengan penelitiannya tentang ”Pengaruh Biji Jarak Terhadap Masa Kehamilan Mencit”. Dan setelah meraih juara pertama se-Asean ini, karya tulisnya kembali dilombakan lagi se-Asia (di Cina) dan lagi-lagi memperoleh juara pertama. Siapa dia? Anak indonesia!
Mulyono, ketika masih menjadi siswa kelas III SMA 2 Pare, meski berasal dari keluarga sangat sederhana, dia mampu mendulang medali perunggu dalam ajang olimpiade Biologi di Brisbane, Australia. Sudah ditinggal ayahnya sejak usia satu tahun karena kecelakaan, ibunya yang sehari-hari bekerja sebagai pembantu dan buruh, serta jauhnya jarak rumah-sekolah (25 kilomeer) yang mengharuskan ia berangkat dengan naik angkot, setelah sebelumnya dia harus mengayuh sepeda dulu sejauh 6 km untuk mencapai jalan raya. Itupun dengan sepeda yang dibelikan saat dia masih duduk dikelas IV SD. Ternyata, kegigihan Mulyono membuahkan hasil luar biasa. Dia ikut mengharumkan nama Indonesia di kancah dunia. Peraih medali emas di perlombaan First Step to Nobel Prize (4 kali berturut-turut, mungkin lebih) tak pelak juga diraih oleh anak-anak indonesia (dan 3 diantaranya bahkan diraih oleh anak-anak dari Papua).
Selain keempat orang diatas tanpa disadari ternyata banyak generasi muda Indonesia yang berhasil mengukir prestasi ditingkat dunia. Dan pencapaiannya pun cukup spektakuler. Sebut saja Agustinus peter sahanggamu, Rezy pradipta, dan Widagdo Setiawan. Beserta 4 orang teman kuliahnya, oleh MIT (Massachusetts Institute of Technology), ketiga orang itu diutus sebagai delegasi guna mengikuti ”Boston Undergraduate Phisycs Competition”, yang merupakan kompetisi tujuh universitas top dunia: Harvard, Berkley, MIT, Stanford , Briston, California Institute of Technology (Amerika) dan Bremen (Jerman). Dari enam soal, Peter memperoleh hasil sempurna untuk tiga soal diantaranya. Reza juga tiga nilai sempurna. Alhasil MIT keluar sebagai juara umumnya. Tidak hanya sebatas itu..ada juga anak bangsa yang dipercaya menjadi satu dari delapan orang yang menembakkan proof ke Mars, yakni Rizal Hartadi.
Pada awal jaman kemerdekaan pun, banyak kisah kehebatan anak bangsa yang tak kalah menariknya. Seperti pada tahun 1950. Pada masa awal mempertahankan kemerdekaan Indonesia (pasca agresi militer belanda II, 1948) banyak rakyat indonesia yang terjangkit penyakit tetanus. Karena harga vaksin dari luar negeri sangat mahal dan situasi amat mendesak, maka dokter Sardjito membuat vaksin sendiri, dengan media tumbuh hanya menggunakan agar-agar (itu pun menggunakan agar-agar daur ulang) serta kaldu tempe. Dan ternyata, hasilnya optimal! Selain itu, dimasanya, beliau juga berhasil menemukan obat peluruh batu ginjal dari tanaman tempuyung yang selanjutnya dibuat dalam bentuk kapsul dengan nama Calcusol. Dan dijual dengan harga murah sesuai pesan beliau kepada putranya, agar karyanya dapat dijngkau kaum miskin.
Musik dan kesenian asli rakyat indonesia sangat beragam, indah, dan tidak kalah menariknya. Hingga, Malaysia yang “miskin” kesenian tradisional sempat mencoba mengklaim beberapa kesenian asli Indonesia sebagai miliknya. Pulau, keindahan alam, serta biodiversitas (keaneka ragaman hayati) Indonesia yang begitu menawan, tidak diragukan lagi, selalu diperebutkan oleh banyak negara di dunia. Namun sayang, oleh bangsa indonesia sendiri justru baru sedikit yang sudah dimanfaatkan. Oleh karena itu, ditangan anak-anak bangsa yang mau berprestasi dan mau gigih berjuang seperti merekalah, nasib bangsa Indonesia dipertaruhkan. Bak mutiara yang timbul dikala senja menjelang. Di saat bangsa ini mengalami krisis disegala bidang..justru timbul anak-anak ber-ide cemerlang, memberi secercah harapan.
Lagi-lagi saya teringat besutan iklan. Sedalam apakah lautan Indonesia nantinya, adalah sedalam usaha kita, generasi muda untuk meraih cita-cita. Seluas apakah Indonesia nantiny? Adalah seluas usaha saya untuk menguasai ilmu pengetahuan. Bapak Anand Krishna dalam buku The Gita of Management; Panduan bagi eksekutif muda berwawasan modern, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2007 mengetengahkan kaitan antara masa lalu dan masa depan dengan gamblang.
Apa yang disebut “masa lalu” tidak terputuskan dari “masa kini”. Apa yang disebut “masa depan” juga terkait dengan “masa kini”, walau tidak atau belum nampak; bukan karena ia belum ada, tetapi karena kita belum bisa melihat sejauh itu. Dapatkah kita memisahkan masa lalu dari masa kini? Apakah kita ada masa depan tanpa masa kini? Apakah kita dapat menciptakan garis pemisah yang jelas dan tegas antara masa kecil dan masa remaja; antara masa remaja dan masa di mana kita menjadi lebih dewasa, lebih matang, kemudian menua?
Dengan titik tolak pemikiran seperti itu saya mencoba merefleksikan sebuah Bangsa Indonesia. Masa Lalu Bangsa yang kita anggap sudah berlalu itu sesungguhnya tidak pernah berlalu. Ia hanya mengendap. Kemudian, yang muncul di permukaan adalah Masa Lain. Masa Depan yang tidak atau belum nampak itu pun sesungguhnya tidak muncul pada suatu saat tertentu. Kita semua sedang menuju ke Masa Depan; Masa Depan kita sedang dalam proses “menjadi”. It is a happening. Ya, Masa Depan tidak terjadi pada saat tertentu, tetapi adalah proses “menjadi” dari saat ke saat. Saat ini Bangsa Indonesia “merasa” hidup dalam Masa Kini. Apa betul demikian? Tidak juga. Ketika kami menulis kata-kata ini, untuk sesaat itu saja, untuk seberapa detik itu saja Bangsa berada dalam Masa Kini; sesaat kemudian, seperberapa detik kemudian, Masa itu berlalu sudah. Kendati demikian, apa yang kita lakukan saat ini menentukan apa yang dapat terjadi pada diri kita sesaat kemudian.
Berfilsafat adalah meyakini apa yang kita lakukan, dan melakukan apa yang kita yakini. Jikapun sekarang apa yang saya lakukan adalah hal kecil, tapi apa yang saya yakini adalah hal besar. George Saa, Mas Agus, dan yang lainnya mencintai Indonesia dengan berfilsafat karena keterbatasanlah yan mengajarkan mereka untuk mencintai Indonesia dengan apa yang mereka bisa, begitu bersahaja, namun dengan penuh keyakinan bahwa ini adalah bakti anak negeri. George Saa, Mas Agus, adalah generasi muda yang mengerti apa yang dinasehatkan Chairil Anwar dalam puisinya. Bahwa kerja belum selesai, belum apa-apa, dan belum bisa memperhitungkan arti dari empat lima ribu nyawa. Mereka yang dengan keterbatasannya memfilsafati bahwa mereka adalah pemilik tulang-tulang berserakan sepanjang Krawang-Bekasi.
George Saa, ataupun Mas Agus, adalah anak kampung yang mengabdi dan berprestasi bahkan tanpa terbersit untuk dihadiahi Toyota Crown seperti kaum berdasi yang tetap saja belum mengerti bagaimana memfilsafati arti cinta Indonesia. Saya heran, siapa yang aneh diantara mereka? Penunggang kendaraan dinas itu atau George Saa? Kenapa Goerge Saa tak kunjung beriklan? Sekedar meminta gelar kehormatan misalnya?
Itulah, memfilsafati cinta Indonesia adalah melihat cara George Saa dan yang lainnya memperjuangkan harga diri bangsa. Ketika mereka yang diberi fasilitas terus saja mencoreng nama bangsa dengan rentetan drama korupsi yang kian mewarta ke seluruh dunia, Oge dan Mas Agus sekuat tenaga mengabarkan bahwa Indonesia tidak hanya parodi Cicak dan Buaya, tetapi juga mutiara mutu manikam. Kata Oge,”Saya hanya tidak mau bangsa lain berfikir tidak ada anak pintar yang lahir di Indonesia,”. Dan kata-kata itu pula yang kemudian membuat Andy Noya menitikkan air mata, betapa bangganya ia terhadap putra Papua ini.
Saya yakin jika George Saa bertemu pencuri berkerah tersebut, dia tidak akan menceritakan keterbatasannya dengan penuh rasa iri terhadap mereka yang diberi fasilitas. Dengan penuh rasa bangga dalam sebuah tayangan dialog bersama Andy Noya, George bahkan dengan lantang berkata,”Tuhan maha baik, bagi mereka yang telah mencuri uang negara yang seharusnya digunakan untuk membeli buku bagi kami di daerah terpencil, lihatlah, bahkan akhirnya dunia memberi hadiah buku diktat kepada saya, pemuda Papua yang kalian sakiti, dengan cara yang sangat indah.”
Generasi muda mempunyai tanggung jawab besar dalam memperbaiki bangsa ini. Gelar sebagai Agent Of Change yang disematkan padanya semestinya menjadi spirit yang selalu menggelora sepanjang masa, karena ‘change’ adalah kemutlakan dalam kehidupan ini. Namun, pertanyaannya kemana kita pergi? Indonesia yang katanya ‘Tanah air beta’ ini tengah dihadapkan dengan beragam problematika. Krisis kepercayaan merebak ke setiap individu anak bangsa bersamaan luluhnya kejujuran, karena semakin meningkat krisis kepercayaan, maka ini indikasi semakin menurunnya kejujuran. Rakyat di negeri ini memang betul-betul diartikan sebagai rakyat, kalaupun ada yang melirik mereka, maka dapat dipastikan itulah masa-masa pilkada dan pemilu yang kata orang tua kita dulu ada udang di sebalik batu. Namun, ketika berbicara kesejahteraan dan kemakmuran maka itu hanya agenda yang kesekian kali dan prioritas masa ahir jabatan agar terpilih kembali.
Inilah sebagian kecil problem yang mendera bangsa ini, yang semakin hari semakin menggelinding menjelma menjadi bom waktu. Kalau generasi muda terdiam, acuh, apalagi apriori dengan semua ini, maka ‘kutukan’ para pendahulu kita angkatan 1908, 1928, 1945, 1966, 1974, 1998 yang telah mengorbankan segenap kemampuan mereka bagi keberlangsungan negeri ini lambat laun akan menimpa kita. Ia bisa berbentuk dangkalnya nasionalisme anak bangsa, pesimisme, dan kalau itu berobah menjadi apatisme, kata pahlawan reformasi Amin Rais, “Masih bisakah kita melihat masa depan kita dengan kepala tegak dan yakin diri?”
Dengan melakukan peran-perannya selaku creative minority, maka generasi muda tengah mengoret-oret masa depannya yang juga masa Indonesia. Seperti yang dikatakan para founding fathers bangsa ini, “Kalau kalian tidak menginginkan Indonesia hilang dari peta dunia, maka cintailah ia sepenuh hati, yaitu dengan keikhlasan.”
Dengan berfilsafat saya mengerti bahwa mencintai negeri ini adalah tidak sekedar berikrar, tetapi berikhtiar. Dengan meyakini kebenaran, saya paham bahma nasionalisme bukan hanya soal atribut tetapi lebih dengan bergelut. Siapapun saya hari ini, meskipun saya anak muda berusia 17 tahun, dengan berfilsafat saya optimis saya memiliki nasionalisme saya. Itu jika saya mempersiapka diri saya sebaik mungkin dengan penuh kejjuran dan keikhlasan agar kelak saya dapat berguna untuk pertiwi. Dengan berfilsafat, saya mencintai negeri ini dengan sederhana, cukup dengan bertanggung jawab pada masa depan saya. Dengan hal tersebut saya yakin saya sudah menjalankan ke-nasionalisme-an saya, yakni dengan berusaha sekuat tenaga untuk menjadi solusi, bukan menjadi masalah untuk bangsa ini. Dengan berfilsafat, saya yakin saya dapat mencintai negeri ini dengan cara saya sendiri. Toh pada waktu itu, untuk mengguncang dunia Presiden Soekarno cukup hanya meminta sepuluh pemuda saja, bukan sepuluh ahli perang ataupun seratus juru runding ulung. Pemuda seperti apa yang dinanti sang proklamator? Pemuda yang berfilsafat dalam mencintai negerinya tentu saja. Hari ini saya berfilsafat, dan saya menyadari bahwa dengan mencintai negeri ini dengan penuh kesahajaan dan pengabdian, saya telah menjawab apa yang dipertanyakan orang tentang nasionalisme generasi saya. Tak perlu saya pusingkan banyak fakta kesuraman generasi saya di luar sana, karena berfilsafat adalah tentang apa yang saya yakini. Saya mengerti apa yang saya yakini ketika saya belajar dengan tekun, dan kadang saya tak mengerti apa yang teman-teman saya yakini ketika mereka bergelut dengan narkoba, atau apapun yang membuat mereka lupa tugasnya sebagai anak bangsa. Yah, barangkali mereka lupa untuk sedikit berfilsafat untuk sekedar mendengar sayup panggilan pertiwi.
Hari ini saya berfilsafat, dan hari ini pula saya mengerti bahwa mencintai negeri ini adalah dengan mempersembahkan sekecil apapun yang saya bisa untuk kebesaran bangsa. Dengan berfilsafat saya sadar, bangsa ini lebih membutuhkan perbuatan kecil yang dilakukan secara massif daripada angan-angan besar segelintir orang. Indonesia akan menjadi besar, dan pemudanya yang akan mebesarkannya. Indonesia akan menjadi pujaan, dan pemudanya yang akan memperjuangkannya. Pemuda yang berfilsafat, yang tak sekedar beriklan.
Indahnya negeri tempatku berdiri
Berjuta warna di bumi pertiwi
Aku ingin terbang yang tinggi
Berbakti untukmu negeri

Sejauh apapun kai melangkah
Merah putih kan selalu kubela
Aku berjanji terus mengabdi
Cintaku untukmu negeri

Bait lagu dalam sebuah iklan tadi mengajarkan kepada saya untuk kembali berfilsafat. Jika tidak sekarang lalu kapan? Jika tidak saya lalu siapa?
DAFTAR PUSTAKA
Biro Pusat Statistik (2000). Laporan perekonomian Indonesia, Angkatan Kerja, Konsumsi, dan Kemiskinan Penduduk. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Kansil, C.S.T., Wignjosumarsono, Soe Hok Gie, dan Ibrahim, A. 1997. Pembinaan Kesatuan Bangsa. Kompartimen Perhubungan dengan Rakyat, Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (Edisi Repro). Jakarta: Dian Ilmu

Soetiksno, 1997. Filsafat Hukum. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Swantoro, F.S. 1991. Meningkatkan Kualitas Pendidikan Dasar dan Menengah dalam Untuk Kelangsungan Hidup Bangsa. Centre for Strategic and International Studies, Jakarta

Asian South Pacific Beurau of Adult Education (ASPBAE) and Global Campaign for Education dalam Annual Report of Human Development Index, file PDF diunduh melalui www.scribd.com

Prestasi Internasional, Bukti Pelajar Indonesia Berpotensi , diunduh melalui http://www.fisikanet.lipi.go.id. Diunduh 12 Maret 2010

Indonesia Is About Influincing The World , artikel diunduh 12 Maret 2010 melalui www.indonesiabisa.org/kamitidaktakut/tunjukinkaloloeindonesia/

Video documenter Kick Andy pada tayangan episode 28 Oktober 2009, courtesy Metro TV

Mengenal Peace Generation; Mengenal Damainya Pemuda Pluralis Memfilsafati Multikulturalisme

Pluralisme adalah faham yang memberikan ruang nyaman bagi paradigma perbedaan sebagai salah satu entitas mendasar kemanusiaan seorang manusia. Sedangkan Parsudi Suparlan (2001) mengatakan multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengagungkan perbedaaan kultur atau sebuah keyakinan yang mengakui pluralisme kultur sebagai corak kehidupan masyarakat.
Multikulturalisme akan menjadi jembatan yang mengakomodasi perbedaan etnik dan budaya dalam masyarakat yang plural. Perbedaan itu dapat terakomodasi dalam berbagai dimensi kehidupan, seperti dunia kerja, pasar, hukum, ekonomi, sosial, dan politik. Dengan demikian, pemahaman bahwa penempatan perbedaan antarindividu, kelompok, suku, maupun bangsa sebagai perspektif tunggal merupakan sebuah kesalahan besar.

Mengapa Harus Lahir Pemuda Pluralis di Negeri Ini?
Jika kita memiliki pemimpin yang menghargai keberagaman (multikulturalismeI) maka kita dengan sendirinya akan beruntung. Tetapi jika kita mengutamakan keberagaman, maka mau tidak mau kita menyimpang dari semboyan Bhineka Tunggal Ika (K. H. Abdurrahman Wahid)

Pemuda. Apa sebenarnya definisi yang tepat untuk pemuda? Sejauh ini terminologi pemuda seringkali begitu lebar dan umum. Tetapi agar tidak terjebak kepada perdebatan definisi kita simak dari karakteristik pemuda. Beberapa karakteristik kepemudaan dari paparan di awal, diantaranya penuh semangat, setiap waktu senantiasa menampilkan energi yang berlimpah dan memancarkan antusiasme.
Idealis, keinginan yang digantung tinggi melahirkan cita-cita. Fokus kepada tujuan bukan kepada realita. Kritis, keingintahuan yang besar akan membuat mempertanyakan dan membandingkan setiap kondisi dan keadaan yang belum dimengerti atau senantiasa terdorong untuk menyampaikan apa yang diketahuinya. Berani, seorang pemuda belum memiliki banyak pikiran sehingga langkah yang diambil taktis dan cepat. Pemikiran yang pendek justru melahirkan keberanian yang jarang dimiliki oleh orang yang lebih banyak pertimbangan. Pengorbanan, bergerak dan berjuang mengejar cita-cita sering lupa pada diri sendiri atau menjadikan diri itu sebagai jaminan yang diberikan dalam mengisi perjuangan sehingga menjadi sebuah pengorbanan.
Kembali Gus Dur mengingatkan, memang harus pemuda yang memfilsafati keberagaman dengan arif. Mengapa harus pemuda, karena merekalah yang nantinya akan menjadi pemimpin bangsa ini. Gus Dur bercita-cita agar bangsa ini nantinya beruntung dengan memiliki pemimpin yang tidak mendahulukan kebhinekaan sebagai landasan, tetapi menjadikan ke-tunggal ika-an sebagai nafas perjuangan dan cita-cita pembangunan. Karenanya,harus tumbuh pemuda-pemuda pelopor yang menghargai keberagaman. Pemuda-pemuda harapan bapak bangsa itu harus segera lahir, tidak esok, tidak sepuluh tahun lagi, tetapi sekarang, hari ini juga.
Sedemikian urgennya kesadaran multikulur sehingga pendidikan multikultural menjadi komitmen global sejalan dengan rekomendasi UNESCO, Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi UNESCO tersebut memuat empat seruan: (1) pendidikan seyogyanya mengembangkan kesadaran untuk memahami dan menerima sistem nilai dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, ras, etnik, dan kultur; (2) pendidikan seyogyanya mendorong konvergensi gagasan yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan solidaritas dalam masyarakat; (3) pendidikan seyogyanya membangun kesadaran untuk menyelesaikan konflik secara damai; dan (4) pendidikan seyogyanya meningkatkan pengembangan kualitas toleransi dan kemauan untuk berbagi secara mendalam.
Pendidikan multikultural memberikan kebermanfaatan untuk membangun kohesifitas, soliditas dan intimitas antaretnik, ras, agama, dan budaya telah memberikan dorongan bagi pemuda dalam menanamkan kesadaran menghargai orang, budaya, dan agama, lain.
Dalam sebuah kelakarnya Gus Dur mengingatkan, jika Indonesia ingin damai, maka harus ada pemahaman yang secara ikhlas dan cerdas menghargai perbedaan sebagai bagian dari kekayaan budaya bangsa. Kesadaran multikultur harus dibangun sedini mungkin. Cita-cita Indonesia damai 2020 sangat bergantung pada penanaman berbangsa secara komperehensif.

Mengenal Peace Generation; Mengenal Pahlawan Perdamaian Belia Indonesia
Peace Generation merupakan sebuah komunitas yang bergerak di bidang resolusi konflik dan perdamaian di kalangan anak muda (youth). Lahir di Yogyakarta pada 10 Juni 2002, Peace Generation terbentuk berdasarkan kesepakatan antara peserta dan panitia Youth Camp for Democracy and Peace (YCDP) yang diselenggarakan oleh Komunitas Cinta Damai Universitas Gadjah Mada dengan Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM pada 27 Mei-1 Juni 2002, di Pondok Tingal, Magelang.
Keanggotaan komunitas ini bersifat terbuka. Mereka yang concern dan mau bekerja untuk perdamaian dapat menjadi bagian dari Peace Generation. Meskipun begitu, melalui kegiatan Peace Camp yang diadakan secara rutin, para alumni program Peace Camp akan secara langsung menjadi bagian dari Peace Generation. Hingga kini, program Peace Camp sendiri telah diadakan sebanyak empat kali; Youth Camp for Democracy and Peace (YCDP), 27 Mei-1 Juni 2002, di Pondok Tingal, Magelang, Student Camp for Peace yang diselenggarakan bagi pelajar SMU se-DIY di Wanagama, 7-11 Mei 2003, Peace in Our Neighbourhood bagi mahasiswa tahun pertama dan kedua, 23-27 Januari 2005, di Wanagama, dan Feeling Peace in Our School bagi pelajar SMU se-DIY dan Jawa Tengah, 13-17 Januari 2007, di Omah Jawi, Kaliurang. Visi dari Peace Generation adaah mewujudkan masyarakat damai, sedangkan misi dari Peace generation adalah menjadikan Peace Generation sebagai wahana eksperimentasi keberbedaan dan menawarkan alternatif penyelesaian konflik nirkekerasan pada masyarakat. Adapun nilai-nilai yang menjadi dasar pemikiran dan aktivitas Peace Generation :
1. Youth, dimaknai sebagai spirit personil Peace Generation yang aktif, kreatif, dan dinamis sesuai dengan jiwa muda.
2. Pluralism, bahwa pada dasarnya manusia diciptakan dengan latar belakang berbeda-beda, sifat, kondisi fisik dan psikis yang berbeda. Perbedaan ini menandakan bahwa tiap individu mempunyai potensi unik yang berbeda pula. Nilai ini berintisari bahwa perbedaan tidak sekedar diketahui (to be revealed), tetapi perlu ada penghargaan (respect), dan pemahaman (understanding) sehingga perbedaan menjadi bagian dari aktivitas sehari-hari.
3. Non Violence, bahwa dalam setiap aktivitas maupun respon terhadap konflik yang terjadi di masyarakat, Peace Generation berusaha untuk menggunakan alternatif-alternatif penyelesaian masalah dengan cara nir-kekerasan.
4. Participation, berlandaskan pada kesadaran bahwa Peace Generation adalah bagian dari masyarakat sehingga berbagai aktivitas yang dilakukannya merupakan wujud partisipasi dan apresiasi kepada lingkungannya. Participation juga menjadi acuan bahwa Peace Generation merupakan wahana partisipasi dan aktualisasi anggota dalam rangka memberikan kontribusi positif kepada masyarakat.

C. Catatan Damai Generation dalam Menyusuri Jalan Panjang Menemukan Kesadaran Multikulturalisme
”Beri aku 10 pemuda, akan aku guncangkan dunia” ( Sukarno).
Perubahan. Sebuah kata ajaib yang diharapkan banyak orang, terutama dalam kondisi sulit dan penuh ketidakpastian. Perubahan, akan menjadi daya kekuatan yang kita cari dan perjuangkan.
Peace generation bukan hanya semata komunitas dengan rutinitas pertemuan dengan tanpa memberi kontribusi positif kepada masyarakat. Peace Generation adalah wujud nyata dari kesadaran sekolompok pemuda bahwa tongkat estafet kepemimpinan bangsa ini sebentar lagi akan mereka genggam, dan sekaranglah saatnya untuk belajar menjadi pahlawan untuk bangsanya, belajar untuk mencintai rakyat dan masyarakatnya dengan cara-cara damai. Mereka menyusun agenda-agenda pembelajaran tersebut dalam sebuah agenda damai, yang akan menuntun mereka menjadi pahlawan yang memimpin dengan car-cara damai, dan menjadi pembawa damai untuk mayarakatnya. Agenda-agenda ini merupakan pembuktian, bahwa mereka adalah generasi muda yang menjadi bagian dari solusi untuk bangsa ini, bukan bagian dari masalah. Merekalah harapan perdamaian masa depan Indonesia, yang belajar untuk menjadi “silent hero” dan bukan “pahlawan” yang haus publikasi.
Tidak salah jika hidup memburu kedamaian. Meskipun sesulit apapun bentuknya, damai selalu menjadi tujuan hidup terakhir kita. Namun sejalan dengan itu pula, damai seolah menjadi utopis, sebuah konstruksi yang tidak pernah tercapai. Entah dimana kelak kita menemukan nilai damai (peace) itu?
Setiap tanggal 21 September, sejak Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2001 melalui resolusi 55/282, ditetapkanlah Hari Perdamaian Internasional. Ini adalah salah satu upaya demi menuai kedamaian hidup bersama di muka bumi. Jalan menuju perdamaian pun ramai diserukan oleh semua orang kahir-akhir ini, lebih-lebih oleh badan internasional sekelas PBB. Perdamaian seperti suatu idealita kehidupan yang didamba-dambakan bersama. Namun, di tengah gejolak konflik perang yang berkepanjangan dan ancaman inkonsistensi terhadap sistem dunia khususnya negara-negara adikuasa, perdamaian seperti sebuah utopia! Ia pun menjadi proyek sarat kepentingan di pentas global.
Saat ini waktunya kita mulai mengurai sebuah perspektif baru tentang perdamaian yang sedikit terlewatkan oleh institusi-institusi global di atas. Dari Jogja melalui buku Pelangi Damai di Sudut Jogja, nilai kedamaian itu bisa dihadirkan dalam setiap kesempatan kapan dan dimana pun. Karena perdamaian, ala perspektif buku ini, adalah suatu yang dekat, familiar, dan siapa pun dapat mewujudkannya. Ia bukan barang ’dagangan’ yang harus dilegokan dalam pentas lelang internasional! Namun, nilai perdamaian dapat dimulai dari diri sendiri, berlanjut kepada lingkungan keluarga, lingkaran sosial masyarakat, nasional, dan hingga dirasakan ke pentas internasional.

Pesan Damai Dari Jogja, Sebuah Buku Catatan Damai Peace Generation
Hadirnya buku ini seperti hendak menegaskan bahwa damai ada di sekitar, tepatnya di komunitas kecil dimana kita berkumpul. Buku ini terbit dari hasil diskusi dan ‘gerilya’ ke tempat-tempat bersejarah yang menjadi simbol dan spirit perdamaian di kota Jogja. Penulisnya terdiri dari satu tim berjumlah sekitar 40 orang. Mereka adalah generasi muda usia 18-22 tahun. Mereka berkumpul dan membuat komunitas yang menamakan diri Peace Generation (Pisgen) yang berpusat di salah satu serambi ruangan (pinjaman dari) Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM. Siapa pun yang siap menyebarkan virus perdamaian bisa masuk dan bergabung bersama mereka.
Prestasi komunitas yang berdiri sejak 10 Juni 2002 ini tergolong cemerlang baik dalam negeri khususnya di lokal Jogja dan sesekali terlibat di berbagai kegiatan pemuda perdamaian di kancah internasional. Komunitas ini seperti sebuah rumah bagi semua generasi muda yang ada di Jogja dengan latar belakang berbeda baik agama, ras, etnis dan suku. Pisgen telah melakukan penyebaran virus perdamaian khususnya kepada generasi muda dimulai dari Jogja untuk Indonesia. Terbukti di daerah-daerah rawan konflik seperti Aceh dan Ambon komunitas ini telah menambatkan jejaringnya.
Setiap tahun mereka melakukan kegiatan yang dikemas dalam bentuk Peace Camp dalam rangka membicarakan perdamaian dan segala macam aksiomanya. Sejak tahun 2002 komunitas ini telah melahirkan lima angkatan yaitu Youth Camp for Democracy and Peace (YCDP),Student Camps For Peace (SCP), Peace in Our Neighbourhood (PION), Feeling Peace in Our School (PIOS), dan terakhir adalah Jogja Peace Amizing Race (JPAR) dihelat pada awal tahun 2008 dan telah menghasilkan buku memoar penting ini.
Tim penulis melakukan pengamatan dan penggalian sumber informasi di sembilan tempat yang meneguhkan city of tolerance bagi Jogja. Mereka mewawancarai tokoh di daerah-daerah yang menjadi simbol dan identitas pluralisme kota gudek yang terbina dengan baik hingga hari ini. Sembilan tempat itu adalah Kraton Jogja, Komuinitas Gayam 16, Padepokan Bagong Kassudiardja, Komunitas Eben Ezer, LSM Kebaya, YAKKUM, Fakultas Kedokteran UGM, Pura Jagatnata, Vihara Budha Prabha. Penulis buku ini mencari nilai perdamaian yang diperjuangkan di balik sembilan tempat di atas.
Cara penyajiannya cukup enak dan enteng karena diceritakan oleh orang pertama (Aku) plus dengan sokongan gambar yang sesuai. “Aku” muncul sebagai sosok mahasiswa baru yang tidak menahu tentang Jogja. Saat itulah dimulai perjalanan panjang dan sarat nilai perdamaian di balik ornamen sejarah dan eksotisme simbol-simbol budaya yang melekat di Jogja. Hikmah di balik perjalanan itu pada akhirnya menyentuh persoalan pluralisme dan multikulturalisme yang bakal melahirkan toleransi, tenggang rasa, dan kedewasaan sikap di antara kelompok masyarakat yang plural. Melalui buku ini kita akan menemukan bagaimana mengenal dan menerima sebuah kenyataan hidup kita yang heterogen; bagaimana merawat perbedaan itu supaya tetap tumbuh indah memesona.
Napak tilas perdamaian ini dimulai di Kraton Jogja. Simbol kraton bagi rakyat Jogja adalah segala-galanya karena dari situlah titik tolak kehidupan mereka dimulai. Rakyat Jogja merasakan ketenangan dan kedamaian berada di bawah kraton dan raja khususnya Sultan Hamengku Bowono IX, dimana pada waktu itu Belanda dan Jepang bergantian ingin menguasai Jogja. Ornamen tradisi kraton seperti instrumen musik lokal dengan tari-tarian indah semampai merupakan mediasi demi mencapai ketenangan dan kenyamanan bersama bagi rakyat Jogja di tengah gedebus genderang perang penjajah.
Upaya kraton untuk melindungi rakyat agar aman juga terlihat dari catatan historis pembangunan Selokan Mataram. Selokan ini dibangun atas inisiatif sultan HB IX demi menyelamatan rakyat Jogja yang diincar menjadi pekerja rumosha oleh Jepang (hlm 17).
Ekspedisi selanjutnya sampai di Komunitas Gayam 16. ”Aku” semakin yakin bahwa jalan menuju damai begitu banyak. Salah satunya adalah seni tradisi warisan nenek moyang seperti gamelan yang dikembangkan di komunitas ini. Pada perangkat gamelan akan ditemukan perpaduan birama dari instrumen yang komplit menjadi irama merdu dan kaya akan makna ihwal sebuah penciptaan yang kuat dan murni. Kedekatan seni dengan nilai-nilai perdamaian juga ditemukan di Padepokan Bagong Kassudiardja, sebuah komunitas seni yang sekarang digawangi seniman Butet Kertarajasa, putra kedua Bagong Kassudiardja. Bagi kedua komunitas di atas peran seni bisa dipahami sebagai active non-violence (ANV), sebuah upaya halus dan indah demi menggugah kesadaran kemanusian. Seni selalu menawarkan solusi nir-kekerasan terhadap berbagai masalah yang ada di tengah masyarakat kita (hlm. 39).
Selanjutnya, ”aku” yang terus melanglang sudut-sudut kota Jogja menemukan bagian penting dari dinamika kota besar, yatiu Komunitas Eben Ezer, sebuah komunitas anak jalanan (pengamen, pemulung, waria dan PSK) yang berpusat di Stasiun Lempuyangan (hlm 47). Ia menemukan rahasia terdalam di balik kota Jogja yang terkenal berpendidikan, berbudaya dan halus pembawaannya. Kisah perjalanan itu dirasakan semakin lengkap ketika ia sempat bertandang ke LSM KEBAYA alias Keluarga Besar Waria Yogyakarta, sebuah lembaga penggiat masalah eksistensi waria di Jogja. Di lembaga ini kita dapat menemui Mami Vin, seorang penggerak yang tak kenal lelah sehingga berhasil membawa nama KEBAYA sebagai lembaga waria paling solid di Jogja bahkan di Indonesia.

Membangun Solidaritas
Persinggahannya di Eben Ezer dan KEBAYA mengajarkan tentang solidaritas antar sesama demi menggapai kebersamaan dan kedamaian. Solidaritas yang dibentuk pun bukan sekedar solidaritas deskriptif tapi normatif. Solidaritas normatif adalah bentuk solidaritas dimana seorang tidak hanya merasa simpati semata tetapi sikap itu diterjemahkan dan diintegrasikan secara afektif, kognitif dan aksi untuk membantu mereka yang membutuhkan (hlm. 57-58). Ujian solidaritas itu akan dietemukan ketika kita singgah di YAKKUM, sebuah komunitas bagi penyandang cacat atau kaum difabel yang terletak di Jalan Kaliurang KM 13.5. Di sini rasa manusiawi akan diuji ketika berhadapan dengan sosok insan yang ternyata tidak sesempurna kita. Kesadaran tentang potensi dan kekuarangan manusia akan terketuk di sana.
Tentang resolusi konflik dan cara kita bergaul dengan anak bangsa yang sempat bersitegang dengan kita dapat kita pelajari dari perjalanan sang tokoh ketika mampir ke Fakultas Kedokteran Internasional UGM dimana mayoritas mahasiswanya berasal dari Malaysia. Bagaimana kita membayangkan kelancangan negeri Pak Cik itu ketika mengklaim hasil ciptaan dan tradisi tulen bangsa Indonesia? Namun, napak tilas tokoh utama kita ini mengajarkan bagi semua bangsa bahwa dialog dan silaturahmi adalah aksi terpenting demi mewujudkan perdamaian bersama. Mahasiswa Malaysia yang tinggal di Jogja merasa bisa tenang dan nyaman belajar oleh karena sikap generasi muda kita yang bertanggung jawab untuk mewujudkan kedamaian di negeri ini.
Di bagian akhir memoar perjalanan ini pembaca akan menemukan kekayaan budaya dan agama yang ada di Jogja. Ada Vihara Budha Prabha di jalan Brigjen Katamso dan Pura Jagatnata di Banguntapan. Dua simbol pluralisme agama itu mengisyarakat kompleksitas budaya dan tradisi Jogja sebagai Indonesia mini. Namun demikian, masih banyak budaya dan simbol tradisi sebagai penjunjung nilai perdamaian yang tidak terangkum dalam memoar perjalanan singkat ini. Sehingga di akhir perjalanan sang tokoh menuliskan: “ dan ini bukan akhir dari sebuah perjalanan…..” (hlm 107) karena jalan menuju damai memang masih panjang tetapi bukan berarti jauh.

Mereka Adalah Pemuda yang Memfilsafati Keberagaman
When I born, I Black,
When I grow up, I Black,
When I go in Sun, I Black,
When I scared, I Black,
When I sick, I Black
And when I die, I still Black…

And you White fella,
When you born, you Pink,
When you grow up, you White,
When you go in sun, you Red,
When you cold, you Blue,
When you scared, you Yellow,
When you sick, you Green
And when you die, you Gray…
And you calling me Colored??

Puisi ini masuk menjadi nominasi puisi terbaik 2005 untuk festival anti rasisme ke 11 yang berlangsung di Yunani. Puisi ini ditulis oleh seorang anak Afrika yang bernama Aly El Shaly.
Sebuah kritik pedas terhadap rasisme. Sebuah keragaman atas keberagaman. Dalam konteks keindonesiaan, puisi ini dapat dilihat sebagai gambaran fenomena gesekan bahkan konflik lintas suku, agama, dan antar aliran kepercayaan (SARA) di Indonesia dekade ini.
Dalam kajian filsafat, pembicaraan “kedirian” yang kemudian mendefinisikan eksistensi antara we and the others mendapatkan tempat tersendiri. Eksistensi diri dan cara pandang dalam melihat “yang lain” ini membawa konsekuensi sosial bagaimana sang subyek menempatkan dan memperlakukan “yang lain”. Prinsip, pandangan hidup, keyakinan, identitas, agama yang menjadi sumber identitas diri, nyatanya cenderung melahirkan ekspresi yang menganggap rendah terhadap the others, bahkan tak jarang meniadakan the others. Karena itu, dalam konteks keragaman hidup, mengakui perbedaan saja tidak cukup. Lebih dari itu, mengakui dan memberi ruang hidup bagi eksistensi ”yang lain” serta serius membangun koeksistensi yang dibangun atas dasar trusth dan semangat kebersamaan seharusnya menjadi artikulasi diri dalam menyenandungkan irama kehidupanbersama entitas lain.
Plato mengibaratkan orang yang berfilsafat seperti orang yang keluar dari gelapnya gua gelap gulita tanpa penerangan melihat terangnya cahaya pencerahan. Maksudnya dengan berfilsafat orang akan diterangi cahaya kebijaksanaan sehingga mampu membeda-bedakan segala sesuatu secara benar. Sedangkan tanpa berfilsafat, orang hanya akan hidup dalam kegelapan ketidaktahuan yang menyesatkan.
Filsafat berakar kata philos dan sophia yang berarti gandrung akan kebenaran. Ciri dari kegandrungan adalah adanya upaya seseorang untuk mengejar sesuatu yang menjadi kesenangannya. Demikian pula bagi orang yang gandrung akan kebenaran, ia akan mencari kebenaran itu sampai kapanpun dan dimanapun kebenaran itu berada.
Filsafat menurut Wittgenstein bertugas ”menunjukkan pada lalat yang terperangkap pada sebuah botol untuk keluar dari masalahnya”. Artinya, dengan berfilsafat akan mengajak orang untuk memikirkan segala tindak-tanduknya dalam kerangka kebenaran tanpa harus menghancurkan kebenaran orang lain guna menemukan jalan keluar terbaik dari sebuah permasalahan. Dengan demikian berfilsafat bertujuan untuk mencari sebuah kebenaran dari sebuah masalah dengan berpikir kritis, sistematis, radikal dan universal tanpa merugikan orang lain.
Multikultutralisme memberikan pengandaian akan adanya kesadaran bagi setiap komunitas dengan identitas kultural tertentu dan posisinya sebagai bagian dari harmoni kehidupan. Dalam hal ini multikulturalisme meniscayakan keragaman dan pluralitas. Titik tekan pluralisme dan multikulturalisme adalah terletak pada domain bangunan kesadaran akan keragaman. Jika pluralisme mengisaratkan kesadaran dibangun atas individu dengan cita-cita ideal adanya personal right yang mengarah pada liberalisme dan masyarakat komunikatif, adapun multikulturalisme dibangun atas kesadaran kolektif sebuah komunitas yang mengarah pada pembentukan masyarakat madani yang multi etnik, keragaman agama dan identitas sosial yang lain
Seperti yang dicatat oleh Peace Generation, perjalanan dalam Jogja Peace Amazing Race menjadi refleksi keberagamaan yang seharusnya bisa menempatkan semangat toleransi dalam menyikapi pluralitas budaya dan agama.
Di sisi lain nampak bahwa ajaran untuk menghormati keberagamaan yang lain belum bisa diterjemahkan secara baik oleh kalangan mayoritas. Di sinilah perlunya membangun kesadaran bersama akan penghormatan terhadap keragaman identitas sosial termasuk indetitas dan ekspresi keberagamaan, seminoritas apapun jumlah “pemilik” identitas sosial tersebut. Tidak saja mengakui akan adanya keragaman, akan tetapi juga merayakan keragaman itu dalam irama dan harmoni kehidupan. Dalam konteks ke Indonesiaan, keragaman menjadi sebuah kekayaan multikultural. Adapun bingkai kebersamaan bisa dikibarkan dalam semangat nasionalisme.
Dan inilah yang dilakukan oleh anak-anak muda ini dalam memfilsafati keberagaman. Mereka mengenal keberagaman untuk kemudian mencintai kemanusiaan secara lebih kompleks. Mereka tidak mengenal “others” karena bagi mereka semuanya adalah kita, adalah Indonesia. Mereka adalah generasi kini yang sadar, semangat keberagaman dalam Sumpah Pemuda yang dahulu didengungkan di eranya, kini harus mereka warisi.
Kau membuatku mengerti hidup ini
Kita terlahir bagai selembar kertas putih
Tinggal dilukis dengan tinta pesan damai
Dan terwujud harmoni

Sepenggal lagu milik Padi tersebut membawa saya pada kesyukuran besar. Bahwa di persada ini telah lahir anak-anak muda yang akan mengajari Indonesia untuk mengerti bahwa harmoni akan terwujud dengan tinta pesan damai. Dan harapan Gus Dur akan lahirnya pemimpin-pemimpin yang mencintai keragaman Indonesia kini bukanlah harapan semu. Indonesia telah memilikinya, mereka, anak-anak muda yang berbuat dengan karya nyata, yang benar-benar mempelajari indahnya keberagaman dengan benar-benar menjadi bagian dari keberagaman tersebut, seperti yel al selalu mereka nyanyikan: Viva La Diferentia. Mereka memfilsafati multikulturalisme dengan mengubur konflik dan merayakan keberagaman.
Berpijak dari berbagai argumentasi dan narasi di atas, maka upaya-upaya untuk melakukan revitalisasi nasionalisme harus selalu disemaikan. Upaya ini juga harus didorong dengan penguatan wacana dan artikulasi multikulturalisme. Multikulturalisme adalah modal dasar dalam membangun dan mempertahankan eksistensi kebangsaan dan memperkuat semangat kebersamaan dalam mengahdapi berbagai tantangan baik dari dalam maupun dari luar. Asa itu nampaknya cukup bisa diharapkan dari generasi muda sebagai penerus bangsa ketika kita menatap Peace generation.




DAFTAR PUSTAKA
Colletta N. J. dan Kayam U. 1997. Kebudayaan dan Pembangunan. Jakarta: Obor.

Kymlicka W. 2003. Kewargaan Multikultural. Jakarta: LP3S. File pdf diunduh melalui www.scribd.org

Sularto S. (ed.). 1999. Visi dan Agenda Reformasi. Yogyakarta: Kanisius.

Raho B. 2004. Sosiologi-Sebuah Pengantar. Jakarta: Dian Ilmu

Peace Generation, 2008. Pelangi Damaidi Sudut Jogja. Yogyakarta:PSKP UGM

Banks, J. 1993. Multicultural Education: Historical Development, Dimension, and Practice. Review of Research in Education. File pdf diunduh melalui www.scribd.org

Cunningham, William G. dan Paula A. Cordeiro. 2003. Educational Leadership A Problem-Based Approach: Second Edition. United States of America: Tara Whorf. File pdf diunduh melalui www.scribd.org



http://www.lampungp ost.com/cetak/ berita.php? id=2010010701374 263

http://www.peacegeneration.wordpress.org/home

http://www.poetrylibrary.org.uk/queries/faps/#27

http://bina-damai.net/images/downloads/Profil_JPG.pdf.

MERETAS OPTIMISME GENERASI INDUSTRI KREATIF UMAT BERSAMA BANK SYARIAH

BAB I
PENDAHULAN
A. Latar Belakang
Kondisi ekonomi umat Islam Indonesia sudah sekian lama terpuruk, oleh karenanya revitalisasi entrepreneurship umat Islam mutlak diperlukan sebagai jawaban atas problematika tersebut. Amin Rais, dalam buku "Islam di Indonesia Suatu Ikhtiar Mengaca Diri" (1986) menyatakan keprihatinannya yang sangat mendalam tentang fenomena kemerosotan umat Islam di bidang ekonomi . Para wiraswastawan di bidang tenun, batik dan lainnya menurut Amin, telah mengalami kemunduran karena tidak fit lagi dalam survival test proses perekonomian bangsa yang mengarah pada kapitalisme. Umat Islam sudah sangat letih dihadapkan pada kesulitan ekonomi yang panjang, problem kemiskinan dan keterbelakangan akibat termarginalkan dalam ekonomi dan bisnis. Kinilah saatnya kita mengembangkan dan membangun pemerataan ekonomi yang dicita-citakan oleh umat Islam (pribumi) yang tangguh dalam jumlah besar. Lebih dari itu, kinilah momentumnya kita membangun landasan yang kokoh, yakni memperbanyak pilar para pengusaha pribumi itu yang menyangga bangunan ekonomi bangsa.
Menyoal permaslahan yang telah dikemukakan diatas, dewasa ini ekonomi umat mutlak diharapkan kehadiran lembaga-lembaga perbankan dan keuangan yang diimbangi dengan tumbuhnya para entrepreneur syariah. Tumbuhnya etos entrepreneurship yang tinggi (khususnya bagi generasi umat) akan berdampak positif terhadap kemajuan dan kebangkitan ekonomi umat sebagaimana yang terjadi di masa silam sekaligus berdampak positif bagi lembaga perbankan dan keuangan itu sendiri. Karena itu, para pengusaha muslim hendaknya dapat memanfaatkan lembaga perbankan dan keuangan tersebut dalam mengembangkan usahanya.
Ditengah ketidakstabilan ekonomi saat ini dan masih kurangnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi moneter, bank syariah diharapkan mampu berdiri tegak di tengah berbagai terpaan rintangan dan persaingan yang terjadi. Potensi yang besar tersebut, harus memacu perbankan syariah sendiri untuk lebih kreatif, inovatif, dan teroganisir dengan profesional. Bank syariah melalui peningkatan kualitas produk yang dimilikinya diharapkan mampu menjawab segala harapan dan optimisme akan pentingnya sistem Islam diterapkan dalam dunia perbankan. Kita mengetahui bahwa bank syariah memiliki produk-produk yang sangat bervariatif. Berbeda dengan bank konvensional yang hanya berfokus pada produk tabungan, deposito, dan penyaluran dana secara kredit, bank syariah memiliki produk yang lebih banyak dan beragam. Terutama dalam produk pembiayaan dan penyaluran dananya. Seperti misalnya mudharabah, musyarakah, murabahah, ijarah, dan lain-lain.
Dalam tulisan ini, penulis ingin menjabarkan bagaimana Bank Syariah seharusnya dapat menoptimalisasi perannya dalam pelaksanaan program ekonomi kreatif melalui pengembangan produk mudharabah dan musyarakah. Sebenarnya peluang bank syariah untuk meningkatkan kinerja dan usahanya ada pada pengembangan kedua produk pembiayaan tersebut, sekaligus sebagai tantangan bagi bank syariah dalam meningkatkan efektivitas kinerjanya. Selama ini kita hanya mengetahui bahwa bank hanya berfungsi sebagai pemberi modal dan bukan sebagai partner pengusaha. Padahal kita mengetahui bahwa Islam sangatlah menitikberatkan umatnya agar mau dan rajin berusaha dan bekerja, atau dengan kata lain Islam sangat menganjurkan pada umatnya menjadi entrepreneur.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan latar belakang masalah yang ada, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana urgensi industri kreatif dalam mengembagkan ekonomi umat?
2. Apa kendala yang dihadapi dalam pengembangan industri kreatif?
3. Bagaimana Bank Syariah dapat mengoptimalisasi perannya terkait keberhasilan industry kreaif dalam mengembangkan ekonomi umat?

BAB II
PEBAHASAN

A. Geliat Ekonomi Kreatif dalam Dinamika Tahun Indonesia Kreatif
“Industri kreatif lebih didominasi oleh pengusaha muda karena memang trennya kreatifitas pengusaha muda jauh lebih tinggi, inovasi dan keberanian untuk mengambil new concept, Tapi industri kreatif lebih didominasi oleh pengusaha muda karena memang trennya kreatifitas pengusaha muda jauh lebih tinggi, inovasi dan keberanian untuk mengambil new concept terobosan sangat dituntut di industri kreatif karena kalau tidak punya terobosan tentunya bukan industri kreatif. Nah industri yang terkait dengan industri kreatif apakah itu event organizer, atau industri berbasis kreatifitas dan seni memang harus didasari dengan inovasi dan kreatifitas baru. Dan kebanyakan didominasi oleh enterpreuner muda yang selalau memperbaharui know how nya, mendapat informasi dari mana saja. “
Erwin Aksa, ketua BPP Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI)
Globalisasi akan menjadi milik bangsa Indonesia jika kita berhasil membangun kebudayaan bangsa yang bertumpu pada peningkatan kemampuan bersaing dan bukan ketergantungan pada sumber daya alam atau proteksi pemerintahnya. Peningkatan kreatifitas dan inovasi dalam pembangunan ekonomi Indonesia merupakan hal yang sejalan dengan program pemerintah untuk mengedepankan ekonomi kreatif sebagai salah satu pilar ekonomi Indonesia. Hal ini ditandai dengan adanya blue-print Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia tahun 2009-2025 dan Pengembangan 14 Sektor Ekonomi Kreatif yang diserahkan Menteri Perdagangan RI kepada Presiden, awal Juni 2008 lalu. Ekonomi kreatif diartikan sebagai segala kegiatan ekonomi yang menjadikan kreativitas (kekayaan intelektual), budaya dan warisan budaya maupun lingkungan sebagai tumpuan masa depan (The Creative Economy: How People Make Money From Ideas : John Howkins).
Sejak tiga tahun terakhir istilah “ekonomi kreatif” dan atau “industri kreatif” mulai marak. Utamanya sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebut pentingnya pengembangan ekonomi kreatif bagi masa depan ekonomi Indonesia. Ajakan Presiden agar kita mulai memperhatikan ekonomi kreatif yang memadukan ide, seni dan teknologi memang cukup beralasan, mengingat ekonomi kreatif merupakan tuntutan perkembangan dunia di abad ke-21 ini.
Di beberapa negara, ekonomi kreatif memainkan peran signifikan. Di Inggris, yang pelopor pengembangan ekonomi kreatif, industri itu tumbuh rata-rata 9% per tahun, dan jauh di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi negara itu yang 2%-3%. Sumbangannya terhadap pendapatan nasional mencapai 8,2% atau US$ 12,6 miliar dan merupakan sumber kedua terbesar setelah sektor finansial. Ini melampaui pendapatan dari industri manufaktur serta migas. Di Korea Selatan, industri kreatif sejak 2005 menyumbang lebih besar daripada manufaktur. Di Singapura ekonomi kreatif menyumbang 5% terhadap PDB atau US$ 5,2 miliar .
Dengan menggenjot perkembangan industri kreatif di Tanah Air, banyak manfaat yang bisa diraih. Pertama, bisnis UKM makin berkembang –sebagian besar UKM bergerak di industri kreatif. Beberapa masalah UKM di Indonesia, seperti pemasaran, promosi, manajerial, informasi, SDM, teknologi, desain, jejaring (networking), dan pembiayaan diharapkan bisa segera teratasi. Dengan demikia, harapan UKM menjadi penggerak utama perekonomian nasional dengan kontribusi 54% kepada PDBdan pertumbuhan rata-rata 12,2% per tahun pada 2025 bisa diwujudkan .
Kedua, mengurangi tingkat kemiskinan. Menurut BPS, orang miskin pada 2007 telah mencapai 16,5% (sekitar 37,1 juta jiwa), naik dibanding tahun 2005yang 15,9%. Ketiga, mengurangi tingkat pengangguran. Pada 2005, tingkat pengangguran resmi tercatat pada titik tertinggi, yakni 10,3%. Sementara itu angka pengangguran terbuka pada Agustus 2007 mencapai 10,01 juta orang . Tingkat pengangguran pedesaan sedikit lebih tinggi daripada di perkotaan.
Selain itu, tak dapat dipungkiri dewasa ini kita dihadapkan pada problematika dampak krisis ekonomi global yang telah dirasakan dimana-mana. Dampak ini paling dirasakan oleh negara-negara yang perekonomiannya tergantung pada ekspor manufaktur. Krisis ekonomi global ini juga telah membawa sejumlah konsekuensi. Berkurangnya ekspor telah memaksa pelaku industri untuk memangkas produksinya. Buntutnya, jumlah pengangguran semakin membengkak.
Namun demikian, bagi sebagian kalangan, krisis ekonomi juga dianggap sebagai peluang. Ditengah lesunya dunia ekonomi, ada sekelompok manusia yang terus menciptakan keuntungan. Mereka adalah kelompok manusia yang bisa disebut sebagai ”Gen C” atau Creative Generation (kalau boleh saya menyebutnya demikian). Generasi kreatif ini adalah penggerak roda ekonomi kreatif yang oleh pemerintah Indonesia ditargetkan menjadi salah satu penggerak ekonomi nasional (ANTARA : 29/05/2008). Mereka umumnya adalah generasi muda berumur antara 20 sampai dengan 40-an, aktif, kreatif dan energik.
Dewasa ini entrepreneur muda dihadapkan pada kompetisi yang memang lebih besar lebih banyak dan lebih hebat, namun tentunya kesempatan juga lebih luas. Berbeda dengan 10-15 tahun lalu dimana kompetisi antara pengusaha tidak seramai hari ini. Karena pertama, pengusaha belum banyak, kedua kesempatannya juga terbatas. Namun sekarang persaingannya lebih besar namun imbang dengan kesempatan yang juga lebih banyak. Sekarang yang menjadi tantangan dan kunci adalah informasi, siapa yang dapat akses informasi, dan jaringan yang bisa mengakses ke informasi itu maka akan memenangkan pertandingan hari ini.
Potensi ekonomi dari para ”Gen C” ini sangatlah tinggi. Menurut departemen perdagangan, potensi ekonomi kreatif mencapai 6.3 terhadap PDB (Depdag : 19/12/2008). Ini merupakan angka yang sangat signifikan. Selain menyerap tenaga kerja, ekonomi kreatif juga menciptakan lapangan kerja alternatif disamping lapangan kerja konvensional yang bergantung pada industri ekstraktif, manufaktur dan pertanian. Disamping itu, kita akan kalah oleh negara BRIC (Brazil, Russia, India dan China) jika hanya bertumpu pada Industri manufaktur. Negara BRIC sudah lebih dulu dalam menciptakan infrastruktur untuk manufaktur. Sehingga, dilihat dari kualitas maupun kuantitas, kita akan tertinggal jauh. Tanpa maksud untuk berlebihan, masa depan ekonomi Indonesia tergantung pada ”Gen C” dengan ekonomi kreatifnya. Mereka mampu menciptakan profit dari ide-ide yang briliant. Selain itu juga, mereka pandai dalam membidik pasar mana saja yang potensial untuk memasarkan hasil karya mereka. Pendeknya, penggalakan ekonomi kreatif dapat mengurangi kebuntuan serta ketergantungan terhadap ekonomi konvensional.
Dalam Decontructing the Concept of Creative Industries, Galloway (2006) menyebutkan bahwa Industri kreatif atau industri budaya adalah industri yang berasal dari pemanfaatan kreatifitas, ketrampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan, mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta individu tersebut. Sama hal apa yang dimaksudkan oleh Caves (2000) dalam Creative Industries: Contracts between Art and Commerce dimana industri kreatif adalah industry yang berhubungan dengan budaya, artistik dan hiburan .
Industri kreatif ini memiliki peran penting bagi perekonomian nasional, karena industri kreatif dapat menciptakan iklim bisnis yang positif, dapat memperkuat citra dan identitas bangsa. Selain itu industri kreatif juga mendukung pemanfaatan sumber daya yang terbarukan, merupakan pusat peciptaan inovasi dan pembentukan krativitas, dan memiliki dampak sosial yang positif. Ada beberapa arah dari pengembangan industri kreatif, seperti pengembangan yang lebih menitikberatkan pada industri yang berbasis; (1) lapangan usaha kreatif dan budaya (creative cultural industry); (2) lapangan usaha kreatif (creative industry), atau (3) Hak Kekayaan Intelektual seperti hak cipta (copyright industry).
Ekonomi kreatif mempunyai 14 subsektor industri, yaitu periklanan (advertising), arsitektur, pasar seni dan barang antik, kerajinan, desain, fashion, video/film/animasi/fotografi, game, musik, seni pertunjukan (showbiz), penerbitan/percetakan, software, televisi/radio (broadcasting), dan riset & pengembangan (R&D) . Saat ini industri kreatif di dunia tumbuh pesat. Ekonomi kreatif global diperkirakan tumbuh 5% per tahun, akan berkembang dari US$ 2,2 triliun pada Januari 2000 menjadi US$ 6,1 triliun tahun 2020.
Di Indonesia, ekonomi kreatif cukup berperan dalam pembangunan ekonomi nasional. Hanya, ia belum banyak tersentuh oleh campur tangan pemerintah. Ini karena pemerintah belum menjadikannya sebagai sumber pendapatan negarayang penting. Pemerintah masih fokus pada sektor manufaktur, fiskal, dan agrobisnis.
Menurut data Departemen Perdagangan, industri kreatif pada 2006 menyumbang Rp 104,4 triliun, atau rata-rata 4,75% terhadap PDB nasional selama 2002-2006. Jumlah ini melebihi sumbangan sektor listrik, gasdan air bersih. Tiga subsektor yang memberikan kontribusi paling besar nasional adalah fashion (30%), kerajinan (23%) dan periklanan (18%). Selain itu, sektor ini mampu menyerap 4,5 juta tenaga kerja dengan tingkat pertumbuhan sebesar 17,6% pada 2008. Ini jauh melebihi tingkat pertumbuhan tenaga kerja nasionalyang hanya sebesar 0,54%. Namun, ia baru memberikan kontribusi ekspor sebesar 7%, padahal di negara-negara lain, seperti Korsel, Inggrisdan Singapura, rata-rata di atas 30%.
Adapun ciri-ciri umum dari industri kreatif terutama di Indonesia adalah, pertama, siklus hidup industri kreatif singkat. Industri kreatif bertumpu pada kreatifitas individual yang bebas dan independen. Ini menunjukkan bahwa karakter industri kreatif yang berasal dari aktualisasi kreatifitas manusia yang yang jauh dari konsep kerja yang dikenal orang pada umumnya. Di Indonesia, pelaku industri kreatif tidak disebut PNS atau pengusaha sehingga jauh dari konsep pekerjaan yang akan mendapatkan fasilitas materi dan jabatan yang umum di pahami masyarakat. Kenyataan ini yang menjadikan industri kreatif kurang diperhatikan oleh masyarakat ataupun pemerintah. Oleh karenanya, bekerja dalam sektor industri kreatif masih dianggap pekerjaan sekuder/sambilan daripada tidak mendapat pekerjaan di PNS atau pengusaha.
Disamping itu, Resiko industri kreatif tinggi, industri kreatif sering dipahami sebagai industri yang mengandalkan pada kreativitas semata. Aspek lain yang mendukung kreatifitas sering kurang diperhatikan; misalnya pendidikan, modal dan peran pemerintah dalam mendukung pelaku industri kreatif untuk bertahan. Tinggi resiko produksi industri kreatif dapat diminimalisir dengan dukungan lembaga pendidikan yang memiliki kompetensi terhadap industri kreatif, lembaga keuangan yang akomodatif terhadap pelaku industri kreatif dan dukungan pemerintah dalam menyediakan legalitas dan fasilitas publik.
Keanekaragaman industri kreatif yang tinggi adalah modal dan potensi yang palig urgen diantara semua capital materiil . Indonesia memiliki beragam seni, budaya, dan sumber daya manusia yang bisa digunakan sebagai faktor produksi. Potensi ini tumbuh disetiap daerah yang buil in dalam keberagaman karya yang berbeda-beda. Keberagaman ini akan melahirkan produk-produk unggul karena alokasi biaya-biaya produksi bisa diminimalisir karena setiap daerah berkonsentrasi pada desain, mode, corak, citra dan teknologi yang berbeda. Keberagaman yang tinggi akan melahirkan produk-produk yang memiliki keunggulan kompetitif atau competitive advantage di setiap daerah sehingga produk yang dihasilkan lebih efisien.
Namun demikian, persaingan di antara industri kreatif cukup tinggi. Karakter industri kreatif yang mudah ditiru, murah untuk diproduksi, mudah masuk ke pasar dan model yang unik menjadikan persaingan antara pelaku industri kreatif cukup tinggi. Aspek keunggulan dalam bersaing sangat menentukan pelaku industri kreatif untuk bertahan, terutama aspek keunikan/inovasi/kreasi, keuangan/pembiayaan, teknologi/informasi, manajemen dan distribusi. Pertahanan pelaku industri kreatif juga di pengaruhi jaringan antar industri kreatif. Jaringan ini diperlukan untuk menjaga kesinambungan usaha dalam jangka pendek, menengah dan panjang.
Kendala lain yang dihadapi pelaku industry kreatif adalah industri ini mudah ditiru, produk industri kreatif dihasilkan dari kreatifitas manusia menjadikan setiap orang punya potensi untuk bisa meniru. Biaya produksi yang murah dan didasarkan atas potensi lokal yang melimpah menjadi industri kreatif mudah untuk dipelajari. Di samping itu, keberadaan industri kreatif banyak tidak tersentuh oleh perlindungan hukum atas kreatifitas yang dihasilkan pelakunya karena akses industri kreatif yang rendah pada pembuat kebijakan. Kenyataan ini yang menjadian pelaku industri kreatif perlu selalu melakukan inovasi dengan memfaatkan pendanaan, teknologi/informasi dan jaringan yang ada.




B. Urgensi Bank Syariah Dalam Pengembangan Industri Kreatif
Usaha masyarakat untuk mengembangan industri kreatif adalah dalam ranah usaha untuk memenuhi kebutuhan pokok. Bank Islam memiliki kepentingan atas usaha-usaha manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan pokoknya Ibrahim (2003) dalam Poverty Alleviation via Islamic Banking Finance to Microenterprise. Hal tersebut sesuai dengan konsep Islam yang didasarkan atas prinsip keadilan sosial (adl) dan kebaikan (ahsan). Implikasi dari konsep Islam dalam bidang ekonomi menurut Khan (1997) dalam Social Dimensions of Islamic Banks in Theory and Practise, adalah; "…taking care of those who cannot be taken care of by the market, who cannot play with economic forces or do not have access to economic means to enable them to exploit the economic opportunities around them".
Oleh karenanya bank syariah lebih akomodatif dalam memberikan pembiayaan bagi industri kreatif yang tergolong sebagai usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Dhumale and Sapcanin (1999) dalam An Application of Islamic Banking Principles to Microfinace, mencoba mekombinasikan produk bank syariah dengan kebutuhan pembiayaan pada industri kecil dan menengah. Namun harus diakui bahwa penyaluran pembiayaan bank konvensional kepada pelaku industri kreatif dihadapkan pada persoalan tingginya nilai jaminan, margin yang tinggi, manajemen likuiditas bank, rendahnya akses bank syariah ke industri kreatif. Bagaimana bank syariah mengatasi problem bank konvensional dalam menyalurkan pembiayaan pada industri kreatif dapat dijabarkan sebagai berikut.
Poin yang perlu digaris bawahi dalam pembahasan terkait peranan bank syariah dalam optimalisasi industry kreatif adalah Pengunaan jaminan dalam pembiayaan Industri kreatif dikelola oleh UMKM atau industri rumah tangga dengan modal yang kecil. Sementara itu untuk kelangsungan produksi membutuhkan modal sesuai dengan kapasitas produksi yang telah mereka targetkan. Tambahan modal itu diperoleh melalui bank atau lembaga keuangan. Namun setiap bank umum mensyaratkan adanya jaminan untuk setiap pembiayaan yang dikeluarkan. Hal ini menyulitkan pelaku industri kreatif memperoleh dana sebab sebagian besar pelaku industri kreatif adalah masyarakat menengah dan bawah yang tidak memiliki jaminan yang senilai dengan dana yang diajukan pada pihak bank.
Kesulitan jaminan pada pelaku industri kreatif dapat diminimalisir di perbankan syariah melalui produk mudharabah. Bank sebagai mitra pelaku bisnis berperan sebagai pemilik modal (rabbul maal) sedangkan pelaku bisnis sebagai pemiliki usaha (mudharib). Bank memberikan pembiayaan 100 persen dari pembiayan yang dibutuhkan kepada pelaku bisnis, sedangkan perlaku bisnis pengelola dana dalam produksi. Namun sebelumnya kedua belah pihak menjalankan kontrak (akad) dimana dalam kontrak tersebut menentukan porsi (nisbah) bagi hasil dan jumlah waktu pembayaran. Keuntungan dibagi berdasarkan nisbah yang menjadi kesepakatan akad , namun bila ada kerugian pembagian resiko tergantung kerugiaannya. Bila kerugian dikarenaka iklim usaha maka di tanggung oleh bank, namun bila ada moral hazard oleh pelaku industri kreatif di tanggung oleh pelaku bisnis bersangkutan.
Jaminan untuk pembiayaan mudharabah adalah kepercayaan bank kepada pelaku industri kreatif. Tingkat produksi, kualitas SDM, manajemen keuangan yang menjadi dasar bank syariah memberikan pembiayaan dengan mengunakan sistem mudharabah. Keterlibatan langsung bank dalam produksi dan pemasaran diperlukan untuk mekontrol produksi pelaku industri kreatif. Ini diperlukan karena sistem bagi hasil menuntut bank syariah untuk aktif dalam usaha tersebut karena tinggi rendahnya pendapatan yang diterima oleh pelaku industri kreatif akan mempengaruhi tingkat pendapatan bank.
Bunga pada bank konvensional yang tinggi adalah permasalahan klasik yang dihadapi pelaku industry konvensional. Kesulitan lain bagi industri kreatif adalah pembayaran bunga setiap bulan dimana hasil yang diperoleh dari produksi didapat tidak setiap bulan. Kenyataan ini membuat pelaku industri kreatif kesulitan untuk membayar cicilan dan bagi hasil/margin kepada pihak bank. Untuk mengatisipasi pembayaran bulanan ini, pelaku industri kreatif bisa saja mengambil dari pembiayan yang mereka peroleh dari bank pada saat usaha mereka belum menghasilkan. Artinya, pelaku industri kreatif mendapatkan beban dengan sistem pembayaran di lakukan setiap bulan.
Dalam bank syariah di kenalkan produk salam, dimana bank memberikan pembiayaan kontan kepada pihak pelaku bisnis saat ini. Pembayaran pelaku industri kreatif dilakukan secara kontan bersama margin nanti ketika waktu pembayaran yang telah dtentukan. Pada produk salam dimungkinkan bagi bank untuk terlibat dalam pemasaran, dimana pelaku industri kreatif menjual produknya kepada bank kembali dengan nilai yang sesuai dengan nilai pembiayaan yang telah diajukan, selanjutnya bank menjual barang yang telah diterima tersebut kepada pihak distributor. Dalam hal ini pihak bank diuntungkan dari margin yang dibayarkan pelaku industri kreatif dan keuntungan dari penjualan yang dilakukan ke distributor.
Pelaku industri kreatif sering dihadapkan kesulitan pembiayaan dikarenakan berbagai syarat yang harus di penuhi, demikian juga penolakan yang diterima. Namun bagi kreditor yang relative lebih besar, bank memberikan kredit tanpa syarat yang rumit. Bank cenderung diskrimintif dalam memberikan pembiayaan. Namun hal itu bisa diterima karena bank dituntut untuk menjaga performance dengan selalu mengawal tingkat likuiditas yang dimiliki. Bank tidak mau menempuh resiko dengan memberikan pembiayaan yang pada akhirnya menganggu likuiditas bank, seperti kredit macet.
Dari aspek bisnis, bank kurang melihat bahwa industri kreatif sebagai industri yang well performance sehingga tingkat resiko bagi bank juga tinggi. Tidak aneh bilamana bank mengunakan kebijakan yang konservatif pada industri kreatif, misalnya dengan adanya jaminan yang nilainya lebih tinggi dari nilai pinjaman yang di ajukan, tingkat bunga yang tinggi dan waktu pengembalian utang yang pendek. Bank mengunakan kebijakan ini lebih dikarenakan alasan konsep bisnis yang menuntut manajemen likuditas bank yang ketat.
Bank syariah dituntut untuk menjaga performance melalui manajemen likuditas bank. Orientasi bisnis bank syariah, tidak harus sama dengan bank konvensional. Bank syairah memiliki orientasi maslahah dalam berbisnis. Konsep maslaha dalam bank syariah dapat dilihat dari implikasi pada pembiayaan qord. Dimana produk ini adalah produk pembiayaan tanpa margin atau bonus. Pihak pelaku industri kreatif dapat mengajukan pembiayaan qord kepada bank syariah. Ciri umum produk qord adalah tidak ada jaminan, dana terbatas, tempo pembayaran yang pendek. Pelaku industri kreatif pemula dapat mengunakan produk ini, kemudian dapat dilanjutkan dengan mengunakan produk musyarakah dan atau murabaha.

C. Bank Syariah dan Solusi yang Syar’I ; Melihat Bagaimana Landasan Mudharabah dan Musyarakah Menjawab Problematika Industri Kreatif
Industri kreatif memiliki akses yang rendah ke bank, demikian juga bank kurang memiliki kepentingan untuk membuka akses pada industri kreatif. Kurang terbangunnya akses dari industri kreatif ke bank dikarenakan independensi industri kreatif yang banyak mengunaan modal yang terbatas, orientasi industri kreatif lebih memenuhi kebutuhan dasar pelakunya, bahan baku yang digunakan lebih banyak mengunakan bahan baku yang tersedia dan manajemen pengelolaan pelaku industri kreatif kebanyakan dikelola secara sederhana.
Faktor di atas menjadi industri kreatif kurang dikenal dan rendah membangun akses pada bank. Bagi bank keadaaan industri kreatif demikian tidak bankable , dimana bank menuntut pelaku industri kreatif lebih profesional dalam pengelola usaha, hal ini diperlukan bank untuk menjaga komitmen pelaku industri kreatif terhadap bank. Persyaratan administrasi, jaminan, tingkat bunga dan waktu juga mendukung bank untuk meragukan industri kreatif mampu memenuhi syarat yang diperlukan.
Bank syariah memiliki komitmen dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui system pembiayaan yang berprinsipkan pada nilai-nilai Islam. Ini yang menjadi jaminan bagi bank syariah untuk memiliki akses pada pelaku industri kreatif. Bank syariah, BPR Syariah dan Koperasi Simpang Pinjam (KSP) syariah semacam BMT memiliki akses pada pelaku industri kreatif melalui produk bagi hasil maupun jual beli.
Dalam sebuah hadits riwayat Imam Ahmad, Rasulullah SAW bersabda: “Allah SWT mencintai hamba-Nya yang mukmin yang mencintai pekerjaan.” Bekerja dan berusaha bagi seorang mukmin pada dasarnya merupakan perwujudan keimanan seseorang kepada Allah SWT Sang Pencipta. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT pada QS AtTaubah ayat 105: “Dan katakanlah, ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaan itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”. Hadits dan ayat tersebut menggambarkan pada kita bahwa betapa pentingnya seorang atau sekelompok mukmin untuk terus dinamis dan bekerja dan berusaha.
Artinya jiwa entrepreneurship harus mampu menjadi acuan sesorang dalam bekerja dan berusaha. Dan jiwa ini bisa dipupuk oleh bank syariah antara lain melalui pengembangan produk mudharabah dan musyarakah. Mudharabah didefinisikan sebagai akad kerjasama usaha antara dua pihak, dimana pihak pertama menyediakan seluruh modal (shahibul maal), sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola atau pengusaha (mudharib).Mudharabah sendiri dibagi menjadi dua, yaitu mudaharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah. Mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerjasama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Sedangkan mudharabah muqayyadah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah, dimana usaha yang akan dijalankan dibatasi oleh jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Musyarakah artinya adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/ expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Landasan musyarakah itu adalah pada sebuah hadits riwayat Abu Dawud dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla berfirman: ‘Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat, selama sallah satunya tidak mengkhianati yang lainnya’.” Musyarakah dibagi menjadi dua jenis, yaitu musyarakah pemilikan dan musyarakah akad (kontrak). Musyarakah pemilikan tercipta karena warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang berakibat pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah asset nyata, dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan asset tersebut. Sedangkan musyarakah akad tercipta dengan cara kesepakatan dimana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah. Mereka pun sepakat berbagi keuntungan dan kerugian.
Terdapat beberapa alternatif solusi yang dapat dilakukan bank syariah dalam mengembangkan produk mudharabah dan musyarakah, yang intinya bekerjasama dengan pihak lain dalam menanggung resiko.
Alternatif tersebut adalah sebagai berikut :
1. Adanya lembaga penjamin yang memiliki kredibilitas dan amanah dalam memback-up usaha yang dijalankan dengan sistem musyarakah dan mudharabah. Lembaga penjamin ini bertanggung jawab apabila terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan di kemudian hari terhadap usaha yang dijalankan. Lembaga ini bisa dikelola oleh pemerintah maupun swasta, dengan persetujuan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Lembaga ini misalnya berbentuk koperasi yang memiliki database tentang potensi usaha yang sedang baik, resiko usaha, dan mempunyai akses informasi yang cepat dan akurat terhadap perkembangan pasar, serta memiliki sumber modal yang cukup kuat dalam menjamin keberlangsungan suatu usaha.
2. Alternatif lainnya adalah dengan melibatkan Badan Amil Zakat (BAZ) atau Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang amanah dan profesional sebagai penjamin usaha tersebut. Kita mengetahui potensi zakat di Indonesia mencapai sekitar Rp 20 trilyun/tahun. Potensi ini apabila dapat diserap dan dikelola dengan baik oleh BAZ dan LAZ di Indonesia, maka tentu sangat besar dampaknya bagi masyarakat. Dana zakat bisa saja disalurkan sebagai dana penjamin usaha dalam rangka memajukan suatu usaha yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan meminimalisir kemiskinan.
3. Dalam menjalankan usaha, sebaiknya dilakukan secara bersama atau kolektif. Jangan mempercayakan suatu usaha pada seorang atau satu pihak saja. Karena dengan kebersamaan, maka banyak manfaat yang dapat diperoleh darinya. Dalam menjalankan usaha perlu dibentuk suatu tim yang benar-benar paham atas usaha tersebut, dimana bank syariah bisa terlibat langsung dalam tim tersebut. Tim ini nanti bekerja secara amanah dan transparan, yang bisa diaudit dan dievaluasi secara berkala. Bukankah Allah SWT sangat mencintai hamba-Nya yang hidup secara berjamaah dan berjuang di jalan-Nya dalam barisan yang yang teratur dan kokoh. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT pada QS ash-Shaff : yang artinya: “Sesungguhnya Allah SWT sangat mencintai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kukuh.” .
4. Usaha yang dijalankan adalah di sektor riil, yang benar-benar dapat dirasakan manfaatnya langsung oleh masyarakat. Selama ini sektor non-riil lebih banyak dikembangkan dengan tingkat spekulasi yang tinggi. Padahal sektor riil dapat memajukan perekonomian umat.Sehingga, tingkat kesejahteraan masyarakat menjadi meningkat dengan baik. Selain itupun, usaha yang dijalankan harus mempunyai prospek yang cukup baik. Usaha-usaha yang sudah mengalami penurunan dan tingkat kejenuhan yang tinggi, sebaiknya tidak menjadi pilihan alternatif yang akan dijalankan. Bank syariah harus mempunyai sasaran dan target usaha yang jelas dan layak untuk dikembangkan. Tidak hanya sekedar adanya jaminan saja. Karena, jika usaha tersebut memang layak dan baik, maka akan berdampak positif pada perkembangan bank syariah itu sendiri.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Di masa perekonomian nasional sedang lesu, terbukti dengan jumlah pengangguran dan kemiskinan yang tinggi. Industri kreatif menjadi alternatif yang strategi bagi peningkatan kesejahteraan bangsa, terlebih dukungan keberagamana budaya yang menghasilkan kreasi, desain, motif, gaya dan corak yang berbeda memperkaya khazanah kreativitas di tanah air.
Dukungan pemerintah dengan memberikan kebijakan yang kondusif diperlukan dalam rangka mendukung perkembangan industri kreatif. Peran pemerintah sangat strategi terutama melalui pemberian pengurangan insentif pajak, membangun kawasan pengembangan industri kreatif, menyediakan sarana dan prasarana penunjang industri kreatif, seperti air, jalan, listrik, telpon dan teknologi, memfasilitas terbentuk jaringan antara industri kreatif dalam atau luar negeri dan mempermudah industri kreatif dalam memperoleh hak paten.
Industri kreatif membutuhkan pembiayaan dari bank untuk menjaga kesinambungan produksinya. Bank konvensional yang mengunakan bunga yang dibayarkan setiap bulan bersama cicililan pokok, serta penarik jaminan ketika memberikan pembiayaan kurang sesuai untuk mengembangkan industri kreatif yang bercirikan; independen, mengunakan bahan yang tersedia, mudah ditiru, persaingan ketat, minim pendanaan, dan rendahnya perlindungan hukum. Bila sistem bank konvesnional digunakan maka akan memberikan beban bagi produktivitas pelaku industri kreatif
Bank syariah mengunakan sistem tanpa bunga, menawarkan prinsip tanpa jaminan pada pengunaan produk bagi hasil, mudharabah dan musyarakah. Sementara itu, bank syariah juga menjaga komitmen pelaku industri kreatif dengan memberikan barang dan bukan uang pada produk jual beli; murabaha, salam dan istishna, dengan pengembalian margin tetap setiap bulan didasarkan atas kesepakatan akad anatara pihak bank syariah dengan pelaku industri kreatif.


Merujuk pada gejolak industri kreatif yang pro rakyat, maka tidak berlebihan jika penulis memprediksi bahwa sektor ini akan menjadi sentral kekuatan ekonomi rakyat . Belum dengan adanya Industri kreatif itu sendiri berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Departemen Perdagangan, PDB Industri kreatif telah menyumbang pada PDB nasional sebesar 6,3% atau setara dengan 154 Trilyun terhadap PDB dengan harga yang berlaku Implikasi dan ouput yang bisa diterima dari imbas ini sangat penting. Untuk semakin menumbukan kiprah pengusaha muslim di sektoor ini, Bank syariaf harus mulai berbenah. Sektor Industri kreatif yang tengah berjalan ini harus mampu menciptakan produk-produk Industri kreatif generasi umat. Islam mengkonsumsi produk yang hala. Dan inilah pembeda serta nilai tambah produk industry kreatif generasi umat dari semua produk yang dimiliki Industri kreatif.